Malari, Sejumlah Koran Dibredel dan Jurnalis Ditangkap
Jakarta ♼ Mochtar Lubis melewati pusat pertokoan Senen, Jakarta, yang telah hangus dilalap api. Sehari sebelumnya, sekelompok massa merusak dan membakar kawasan tersebut. Inilah 'Malapetaka 15 Januari' atau Malari yang Rabu esok genap 40 tahun.
Pagi itu, 16 Januari 1974, Pemimpin Redaksi Indonesia Raya tersebut akan terbang ke Paris, Prancis. Ia menuju bandar udara Kemayoran. Kendali atas koran diserahkan ke Wakil Pemimpin Redaksi Enggak Bahau'ddin.
Di hari-hari itu, tiras Indonesia Raya sekitar 30 ribu-40 ribu eksemplar. Kalah dari Merdeka (sekitar 80 ribu), Kompas dan Berita Yudha (masing-masing 75 ribu), dan Sinar Harapan (65 ribu). Tapi, Indonesia Raya dihormati karena liputan-liputan investigasi. Misalnya, menyangkut korupsi di Pertamina.
Saat Mochtar masih di Paris, 21 Januari 1974, Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Daerah (Kopkamtibda) Jakarta mencabut surat izin cetak (SIC) Indonesia Raya. Tak boleh terbit lagi. Koran ini dianggap telah mempublikasikan tulisan-tulisan yang dapat merusak kewibawaan pemerintah dan menghasut rakyat sehingga Malari meletus.
Beberapa bulan sebelum Malari, demo-demo mahasiswa telah marak. Mereka memprotes strategi pembangunan nasional, maraknya korupsi, dan keberadaan asisten presiden (Aspri) presiden yang dianggap menyimpang. Koran-koran memberitakan itu semua. Bahkan, dinilai memprovokasi.
Selanjutnya, juga dicabut SIC untuk Harian KAMI, Abadi, The Jakarta Times, Pemuda Indonesia, dan Wenang. Beberapa hari sebelumnya, Nusantara, Suluh Indonesia, dan Mahasiswa Indonesia juga diberangus. Setelah itu, Pedoman dan Ekspres juga menemui ajal di tangan penguasa.
Hal menarik, Ekspres dikenal dekat dengan kelompok Jenderal Ali Moertopo, salah seorang Aspri. Tapi, majalah itu pun tak lolos dari pembredelan. Padahal, kata sejumlah analis, pembredelan mengincar koran-koran yang dianggap berpihak ke Pangkopkamtib Jenderal Soemitro.
Saat mahasiswa membakar boneka Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka dan Aspri Jenderal Soedjono Humardani, pada 9 Januari 1974, Ekspres menulis, para mahasiswa dianggap telah "dimanipulir kekuatan-kekuatan luar anti-Soeharto."
Faktanya, Soemitro baru mengajukan pengunduran diri sebagai Pangkopkamtib pada 6 Maret 1974. Sementara, koran-koran itu dibredel pada Januari 1974 dan pihak yang melakukannya adalah Kopkamtibda--yang notabene di bawah komando Soemitro.
Permintaan maaf tak berlaku. 2 hari sebelum SIC-nya dicabut, Pedoman yang dipimpin Rosihan Anwar memuat maklumat berjudul "Penyesalan." Di sana, koran itu menyatakan penyesalan karena telah mengutip pernyataan mahasiswa IKIP Jakarta yang menyoal hubungan Tien Soeharto, Sang Ibu Negara, dengan sejumlah perusahaan.
Dalam otobiografinya, Menulis dalam Air (1983), Rosihan tak secara khusus membahas pembredelan Pedoman pasca-Malari. Ia hanya menyinggungnya sekilas di beberapa bab.
Rosihan menulis di sana, "Tetapi mengenai keadaan di zaman 'Post Malari', saya akan berbohong pada kalian bila mengatakan ada kemerdekaan pers. Kemerdekaan pers sekarang terbatas."
Menurut Menteri Penerangan Mashuri, segenap pembredelan itu mengakibatkan 417 jurnalis dan karyawan pers di Jakarta serta 87 orang di daerah kehilangan pekerjaan.
Secara total, buntut peristiwa Malari, 700 orang ditangkap. Pemerintah mengincar kader Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan Masyumi dan menyatakan mereka sebagai aktor intelektual Malari. Sejumlah jurnalis ditahan pula, bagian dari 45 orang yang harus meringkuk di bui.
Mochtar tiba kembali di Jakarta pada awal Februari 1974. Segera Mochtar menjalani pemeriksaan militer beberapa kali. Begitu pula dengan Enggak, yang akhirnya ditahan pada 21 Juni 1974 dan mendekam di sel selama 11 bulan tanpa pengadilan.
Anehnya, Mochtar baru ditahan pada 4 Februari 1975 selama dua setengah bulan di penjara Nirbaya, Jakarta. Juga tanpa proses pengadilan.
Pemimpin Redaksi Mahasiswa Indonesia, Rahman Tolleng, juga ditahan. Ia dibui selama 16 bulan. Lalu, dibebaskan, juga tanpa proses pengadilan. Tolleng merupakan aktivis 66 di Bandung. Belakangan, ia masuk Golkar bersama beberapa rekannya di Bandung seperti Rachmat Witoelar dan Sarwono Kusumaatmadja.
Namun, menurut penelitian Francois Raillon, banyak orang Golkar yang mencurigai Tolleng sebagai 'penyusup' dari PSI, partai yang didirikan Sutan Sjahrir. Terlebih, Mahasiswa Indonesia sangat keras mengkritik pemerintahan Orde Baru yang notabene didukung Golkar.
Tapi, Rosihan Anwar selamat. Padahal, pada masa sebelumnya, Pedoman dianggap berafiliasi dengan PSI. Rosihan juga mengaku sebagai pendukung ide-ide Sjahrir.
Beberapa bulan kemudian, pemerintah seperti melunak. Abadi diperbolehkan terbit lagi dengan nama Pelita. Seperti hanya Abadi, Pelita diasumsikan menjadi penyuara aspirasi kaum muslim. Lalu, muncul The Indonesia Times sebagai pengganti The Jakarta Times.
Koran-koran lain seperti Pedoman, Mahasiswa Indonesia, atau Indonesia Raya mati selamanya.
Perihal Mochtar, ia pernah didekati salah seorang petinggi Departemen Penerangan. Mochtar dibisiki: Mochtar bisa menerbitkan koran lagi asal namanya bukan Indonesia Raya. Alternatif lain, menerbitkan kembali Indonesia Raya tapi Mochtar tak boleh terlibat. Menulis secara anonim boleh.
Novelis tersebut menolak tawaran itu. Alasannya, seperti dikutip dari biografi Mochtar yang disusun David T. Hill, "...dia dan Indonesia Raya tidak pernah bertindak melawan hukum dan berkompromi sama saja mengaku bersalah."(Yus)
Jakarta ♼ Mochtar Lubis melewati pusat pertokoan Senen, Jakarta, yang telah hangus dilalap api. Sehari sebelumnya, sekelompok massa merusak dan membakar kawasan tersebut. Inilah 'Malapetaka 15 Januari' atau Malari yang Rabu esok genap 40 tahun.
Pagi itu, 16 Januari 1974, Pemimpin Redaksi Indonesia Raya tersebut akan terbang ke Paris, Prancis. Ia menuju bandar udara Kemayoran. Kendali atas koran diserahkan ke Wakil Pemimpin Redaksi Enggak Bahau'ddin.
Di hari-hari itu, tiras Indonesia Raya sekitar 30 ribu-40 ribu eksemplar. Kalah dari Merdeka (sekitar 80 ribu), Kompas dan Berita Yudha (masing-masing 75 ribu), dan Sinar Harapan (65 ribu). Tapi, Indonesia Raya dihormati karena liputan-liputan investigasi. Misalnya, menyangkut korupsi di Pertamina.
Saat Mochtar masih di Paris, 21 Januari 1974, Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Daerah (Kopkamtibda) Jakarta mencabut surat izin cetak (SIC) Indonesia Raya. Tak boleh terbit lagi. Koran ini dianggap telah mempublikasikan tulisan-tulisan yang dapat merusak kewibawaan pemerintah dan menghasut rakyat sehingga Malari meletus.
Beberapa bulan sebelum Malari, demo-demo mahasiswa telah marak. Mereka memprotes strategi pembangunan nasional, maraknya korupsi, dan keberadaan asisten presiden (Aspri) presiden yang dianggap menyimpang. Koran-koran memberitakan itu semua. Bahkan, dinilai memprovokasi.
Selanjutnya, juga dicabut SIC untuk Harian KAMI, Abadi, The Jakarta Times, Pemuda Indonesia, dan Wenang. Beberapa hari sebelumnya, Nusantara, Suluh Indonesia, dan Mahasiswa Indonesia juga diberangus. Setelah itu, Pedoman dan Ekspres juga menemui ajal di tangan penguasa.
Hal menarik, Ekspres dikenal dekat dengan kelompok Jenderal Ali Moertopo, salah seorang Aspri. Tapi, majalah itu pun tak lolos dari pembredelan. Padahal, kata sejumlah analis, pembredelan mengincar koran-koran yang dianggap berpihak ke Pangkopkamtib Jenderal Soemitro.
Saat mahasiswa membakar boneka Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka dan Aspri Jenderal Soedjono Humardani, pada 9 Januari 1974, Ekspres menulis, para mahasiswa dianggap telah "dimanipulir kekuatan-kekuatan luar anti-Soeharto."
Faktanya, Soemitro baru mengajukan pengunduran diri sebagai Pangkopkamtib pada 6 Maret 1974. Sementara, koran-koran itu dibredel pada Januari 1974 dan pihak yang melakukannya adalah Kopkamtibda--yang notabene di bawah komando Soemitro.
Permintaan maaf tak berlaku. 2 hari sebelum SIC-nya dicabut, Pedoman yang dipimpin Rosihan Anwar memuat maklumat berjudul "Penyesalan." Di sana, koran itu menyatakan penyesalan karena telah mengutip pernyataan mahasiswa IKIP Jakarta yang menyoal hubungan Tien Soeharto, Sang Ibu Negara, dengan sejumlah perusahaan.
Dalam otobiografinya, Menulis dalam Air (1983), Rosihan tak secara khusus membahas pembredelan Pedoman pasca-Malari. Ia hanya menyinggungnya sekilas di beberapa bab.
Rosihan menulis di sana, "Tetapi mengenai keadaan di zaman 'Post Malari', saya akan berbohong pada kalian bila mengatakan ada kemerdekaan pers. Kemerdekaan pers sekarang terbatas."
Menurut Menteri Penerangan Mashuri, segenap pembredelan itu mengakibatkan 417 jurnalis dan karyawan pers di Jakarta serta 87 orang di daerah kehilangan pekerjaan.
Secara total, buntut peristiwa Malari, 700 orang ditangkap. Pemerintah mengincar kader Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan Masyumi dan menyatakan mereka sebagai aktor intelektual Malari. Sejumlah jurnalis ditahan pula, bagian dari 45 orang yang harus meringkuk di bui.
Mochtar tiba kembali di Jakarta pada awal Februari 1974. Segera Mochtar menjalani pemeriksaan militer beberapa kali. Begitu pula dengan Enggak, yang akhirnya ditahan pada 21 Juni 1974 dan mendekam di sel selama 11 bulan tanpa pengadilan.
Anehnya, Mochtar baru ditahan pada 4 Februari 1975 selama dua setengah bulan di penjara Nirbaya, Jakarta. Juga tanpa proses pengadilan.
Pemimpin Redaksi Mahasiswa Indonesia, Rahman Tolleng, juga ditahan. Ia dibui selama 16 bulan. Lalu, dibebaskan, juga tanpa proses pengadilan. Tolleng merupakan aktivis 66 di Bandung. Belakangan, ia masuk Golkar bersama beberapa rekannya di Bandung seperti Rachmat Witoelar dan Sarwono Kusumaatmadja.
Namun, menurut penelitian Francois Raillon, banyak orang Golkar yang mencurigai Tolleng sebagai 'penyusup' dari PSI, partai yang didirikan Sutan Sjahrir. Terlebih, Mahasiswa Indonesia sangat keras mengkritik pemerintahan Orde Baru yang notabene didukung Golkar.
Tapi, Rosihan Anwar selamat. Padahal, pada masa sebelumnya, Pedoman dianggap berafiliasi dengan PSI. Rosihan juga mengaku sebagai pendukung ide-ide Sjahrir.
Beberapa bulan kemudian, pemerintah seperti melunak. Abadi diperbolehkan terbit lagi dengan nama Pelita. Seperti hanya Abadi, Pelita diasumsikan menjadi penyuara aspirasi kaum muslim. Lalu, muncul The Indonesia Times sebagai pengganti The Jakarta Times.
Koran-koran lain seperti Pedoman, Mahasiswa Indonesia, atau Indonesia Raya mati selamanya.
Perihal Mochtar, ia pernah didekati salah seorang petinggi Departemen Penerangan. Mochtar dibisiki: Mochtar bisa menerbitkan koran lagi asal namanya bukan Indonesia Raya. Alternatif lain, menerbitkan kembali Indonesia Raya tapi Mochtar tak boleh terlibat. Menulis secara anonim boleh.
Novelis tersebut menolak tawaran itu. Alasannya, seperti dikutip dari biografi Mochtar yang disusun David T. Hill, "...dia dan Indonesia Raya tidak pernah bertindak melawan hukum dan berkompromi sama saja mengaku bersalah."(Yus)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.