Australia telah merusak catatan hak asasi manusianya dengan terus menerus meremehkan perlindungan atas pengungsi, termasuk lewat kebijakan “kejam” mengirimkan para pencari suaka ke kamp terpencil.
Human Rights Watch, dalam laporan tahunan terakhir mengatakan pemerintah Australia selama ini lebih memprioritaskan politik domestik dibanding kewajiban hukum internasional terkait para pencari suaka, yang menghadapi “kebijakan baru Australia yang kejam” dengan memindahkan mereka ke negara ketiga.
“2013 benar-benar mewakili titik rendah terbaru dalam perlakuan atas para pengungsi dan pencari suaka di Australia,“ kata direktur HRW Australia Elaine Pearson saat meluncurkan laporan ini di Jakarta.
Komentarnya ini muncul menyusul diberlakukannya “Operasi Kedaulatan Perbatasan” di bawah pemerintah konservatif Australia, yang mencegat para pencari suaka di tengah lautan lepas dan mengusir mereka kembali ke Indonesia.
Pemerintahan partai buruh kiri-tengah yang berkuasa sebelumnya, yang kalah dalam pemilu September lalu, telah memulai program pengiriman para pencari suaka ke Papua Nugini dan Nauru untuk diproses, dengan mengetatkan aturan pada 2013 untuk menegaskan bahwa tak ada yang bisa tinggal di Australia, meski mereka dianggap sebagai pengungsi asli.
“Ada sesuatu yang sangat mengganggu dan tidak bermoral dari negara paling kaya di wilayah ini, yang menyodorkan beban mereka ke negara-negara yang lebih miskin dan kekurangan,” kata Pearson.
Pearson mengatakan bahwa Australia mempertaruhkan diri ”karena kini dibandingkan dengan negara lain yang juga punya banyak masalah dan catatan buruk dalam soal penjara lepas laut – dan tentu saja saya yang saya bicarakan ini adalah Amerika Serikat dengan Guantanamonya“.
Abaikan kritik
Perdana Menteri Tony Abbott hari Selasa lalu membela kebijakan soal pencari suaka ini, dengan menganggap enteng ketegangan dengan Jakarta terkait pengakuan angkatan laut Australia yang berulangkali melanggar wilayah dan memasuki perairan Indonesia selama operasi pencegatan para pencari suaka di laut lepas.
Berbicara dari Swiss, Abbott menggambarkan hubungan dengan Indonesia, secara umum, bahwa Indonesia adalah Negara paling penting bagi Australia dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono adalah ”kawan Australia yang sangat baik”.
“Dari itu semua, bagi kami, menghentikan kapal-kapal (pengungsi) adalah masalah kedaulatan dan Presiden Yudhoyono dari semua orang seharusnya bisa memahami, dan dia paham, tentang seberapa serius negara-negara menjaga kedaulatan mereka,” kata Abbott di Davos.
“Jadi kami akan terus melakukan apa yang kami sebut sebagai mengamankan perbatasan kami.”
HRW mengkritik kebijakan penahanan wajib yang diberlakukan Australia kepada mereka yang tiba di negara itu tanpa visa.
Badan PBB yang mengurusi masalah pengungsi, UNHCR, berulangkali mengekspresikan keprihatian mereka terkait penahanan wajib dan tanpa batas bagi para pencari suaka di pusat-pusat penahanan lepas pantai, yang kondisinya keras dan tidak memuaskan di mana para individu hanya memperoleh bantuan sedikit untuk mendapat hak mereka,” kata laporan itu.
UNHCR tahun lalu merilis sebuah review keras mengenai fasilitas bagi para pencari suaka Australia yang ditempatkan di kepulauan Manus Papua Nugini dan Nauru, mengatakan bahwa kondisi di sana tidak memenuhi standar internasional.
Badan itu mengatakan kamp-kamp pengungsi, yang menampung ratusan pencari suaka, melakukan penahanan sewenang-wenang dengan melanggar hukum internasional dan gagal menyediakan sistem yang efisien untuk memastikan hak bagi para pengungsi serta keselamatan dan kondisi yang manusiawi.
Canberra menolak laporan itu dan menyebutnya “cukup berlebihan”.(ab/hp (ap,afp,rtr)
Menkopolhukam Geram, Perairan RI Dilanggar Militer Australia
Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Djoko Suyanto, geram atas aksi kapal Angkatan Laut Australia, yang beberapa waktu lalu menerobos perairan Indonesia saat mengusir perahu yang ditumpangi para pencari suaka. Pelanggaran batas wilayah itu diakui sendiri oleh pemerintah Australia pekan lalu.
"Pemerintah Australia di bawah pimpinan Perdana Menteri Tonny Abbot juga harus paham dan mengerti apa arti kedaulatan RI, yang dilanggar begitu saja oleh AL Australia," kata Djoko di Jakarta, Rabu 22 Januari 2014.
Menurut Djoko, pengembalian pencari suaka yang sudah masuk wilayah negara manapun, termasuk Australia seharusnya diurus bersama Komisi PBB untuk Urusan Pengungsi (UNHCR) dan Organisasi Migrasi Internasional (IOM). Kerjasama itu diatur dalam amanat Perserikatan Bangsa-Bangsa.
"Indonesia akan terus meningkatkan patroli keamanan laut untuk mencegah kejadian serupa terulang kembali," kata dia.
Sebelumnnya, Komandan Operasi Perbatasan Kedaulatan Australia, Letnan Jenderal Angus Campbell, menyatakan pelanggaran tersebut terjadi secara tidak sengaja. Campbell menjamin Australia tak akan mengulangi kesalahan yang sama.
Human Rights Watch, dalam laporan tahunan terakhir mengatakan pemerintah Australia selama ini lebih memprioritaskan politik domestik dibanding kewajiban hukum internasional terkait para pencari suaka, yang menghadapi “kebijakan baru Australia yang kejam” dengan memindahkan mereka ke negara ketiga.
“2013 benar-benar mewakili titik rendah terbaru dalam perlakuan atas para pengungsi dan pencari suaka di Australia,“ kata direktur HRW Australia Elaine Pearson saat meluncurkan laporan ini di Jakarta.
Komentarnya ini muncul menyusul diberlakukannya “Operasi Kedaulatan Perbatasan” di bawah pemerintah konservatif Australia, yang mencegat para pencari suaka di tengah lautan lepas dan mengusir mereka kembali ke Indonesia.
Pemerintahan partai buruh kiri-tengah yang berkuasa sebelumnya, yang kalah dalam pemilu September lalu, telah memulai program pengiriman para pencari suaka ke Papua Nugini dan Nauru untuk diproses, dengan mengetatkan aturan pada 2013 untuk menegaskan bahwa tak ada yang bisa tinggal di Australia, meski mereka dianggap sebagai pengungsi asli.
“Ada sesuatu yang sangat mengganggu dan tidak bermoral dari negara paling kaya di wilayah ini, yang menyodorkan beban mereka ke negara-negara yang lebih miskin dan kekurangan,” kata Pearson.
Pearson mengatakan bahwa Australia mempertaruhkan diri ”karena kini dibandingkan dengan negara lain yang juga punya banyak masalah dan catatan buruk dalam soal penjara lepas laut – dan tentu saja saya yang saya bicarakan ini adalah Amerika Serikat dengan Guantanamonya“.
Abaikan kritik
Perdana Menteri Tony Abbott hari Selasa lalu membela kebijakan soal pencari suaka ini, dengan menganggap enteng ketegangan dengan Jakarta terkait pengakuan angkatan laut Australia yang berulangkali melanggar wilayah dan memasuki perairan Indonesia selama operasi pencegatan para pencari suaka di laut lepas.
Berbicara dari Swiss, Abbott menggambarkan hubungan dengan Indonesia, secara umum, bahwa Indonesia adalah Negara paling penting bagi Australia dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono adalah ”kawan Australia yang sangat baik”.
“Dari itu semua, bagi kami, menghentikan kapal-kapal (pengungsi) adalah masalah kedaulatan dan Presiden Yudhoyono dari semua orang seharusnya bisa memahami, dan dia paham, tentang seberapa serius negara-negara menjaga kedaulatan mereka,” kata Abbott di Davos.
“Jadi kami akan terus melakukan apa yang kami sebut sebagai mengamankan perbatasan kami.”
HRW mengkritik kebijakan penahanan wajib yang diberlakukan Australia kepada mereka yang tiba di negara itu tanpa visa.
Badan PBB yang mengurusi masalah pengungsi, UNHCR, berulangkali mengekspresikan keprihatian mereka terkait penahanan wajib dan tanpa batas bagi para pencari suaka di pusat-pusat penahanan lepas pantai, yang kondisinya keras dan tidak memuaskan di mana para individu hanya memperoleh bantuan sedikit untuk mendapat hak mereka,” kata laporan itu.
UNHCR tahun lalu merilis sebuah review keras mengenai fasilitas bagi para pencari suaka Australia yang ditempatkan di kepulauan Manus Papua Nugini dan Nauru, mengatakan bahwa kondisi di sana tidak memenuhi standar internasional.
Badan itu mengatakan kamp-kamp pengungsi, yang menampung ratusan pencari suaka, melakukan penahanan sewenang-wenang dengan melanggar hukum internasional dan gagal menyediakan sistem yang efisien untuk memastikan hak bagi para pengungsi serta keselamatan dan kondisi yang manusiawi.
Canberra menolak laporan itu dan menyebutnya “cukup berlebihan”.(ab/hp (ap,afp,rtr)
Menkopolhukam Geram, Perairan RI Dilanggar Militer Australia
Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Djoko Suyanto, geram atas aksi kapal Angkatan Laut Australia, yang beberapa waktu lalu menerobos perairan Indonesia saat mengusir perahu yang ditumpangi para pencari suaka. Pelanggaran batas wilayah itu diakui sendiri oleh pemerintah Australia pekan lalu.
"Pemerintah Australia di bawah pimpinan Perdana Menteri Tonny Abbot juga harus paham dan mengerti apa arti kedaulatan RI, yang dilanggar begitu saja oleh AL Australia," kata Djoko di Jakarta, Rabu 22 Januari 2014.
Menurut Djoko, pengembalian pencari suaka yang sudah masuk wilayah negara manapun, termasuk Australia seharusnya diurus bersama Komisi PBB untuk Urusan Pengungsi (UNHCR) dan Organisasi Migrasi Internasional (IOM). Kerjasama itu diatur dalam amanat Perserikatan Bangsa-Bangsa.
"Indonesia akan terus meningkatkan patroli keamanan laut untuk mencegah kejadian serupa terulang kembali," kata dia.
Sebelumnnya, Komandan Operasi Perbatasan Kedaulatan Australia, Letnan Jenderal Angus Campbell, menyatakan pelanggaran tersebut terjadi secara tidak sengaja. Campbell menjamin Australia tak akan mengulangi kesalahan yang sama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.