BUMN Pembuat Bahan PeledakRhan 122 ●
Nama PT Dahana (Persero) bisa jadi belum begitu akrab di telinga masyarakat. Meski begitu, peran BUMN ini dalam urusan pertahanan sangat strategis.
Dahana merupakan perusahaan yang khusus membuat bahan peledak alias bom. Selama ini, Dahana lebih banyak berfokus pada bisnis bahan peledak komersial yang lumrah dipakai untuk industri tambang. Kini, Dahana juga menggarap berbagai proyek pengembangan roket dan berbagai jenis bom.
Roket yang dikembangkan yakni Roket Rhan 122 dengan daya jelajah 35 km, Roket R-Han 450 dengan daya jelajah 100 km, serta Blast Effect Bomb untuk bom yang diluncurkan dari pesawat F-16 dan Bom P-Live 100 untuk pesawat Suhkoi.
Direktur Utama Dahana, Budi Antono, bicara panjang lebar perjalanan bisnis Dahana mulai dari membuat bom untuk kepentingan komersial, sampai persenjataan untuk keperluan pertahanan yang jarang diketahui masyarakat, dalam wawancara khusus dengan detikFinance, di Menara MTH, Cawang, Jakarta, Jumat (3/3/2017).
Bagaimana kondisi Dahana saat masih menjadi BUMN 'sakit' ?
Bukan sakit, tapi zaman Dahana statis. Karena memang monopoli enggak bisa berkembang, malah kalau ada tantangan kita kurang, jangan sampai lagi, tambah terlena. Contohnya orang Dahana dulu zaman monopoli kerjaan baca koran, konsumen datang sendiri. Kalau sekarang kita ke mana-mana harus cari.
Saat semua bahan peledak penjualan dimonopoli Dahana, revenue kita rata-rata di bawah Rp 300 miliar sebelum 2004. Sekarang dengan persaingan terbuka, revenue kita selalu di atas Rp 1 triliun, tahun lalu Rp 1,3 triliun. Kalau dulu mostly trading dan jual izin saja. Tapi 2004 kita mulai mandiri, tak hanya jualan bahan peledak, tapi menjadi kontraktor tambang langsung. Kita masuk ke jasa full service peledakan terintegrasi, tak hanya jualan saja.
Dahana pernah dapat Penyertaan Modal Negara (PMN) ?
Tidak ada sejak kita lahir dapat PMN, minta juga enggak pernah, karena untung terus jadi enggak dapat PMN.
Bagaimana pangsa pasar Dahana saat ini ?
Untuk bahan peledak, di kuari dan konstruksi, pangsa kita 76%. Sementara bahan peledak untuk migas 74%, dan pertambangan umum 14% saja.
Harga batu bara belum membaik, bagaimana dampaknya ke produksi bom Dahana ?
Pasar bahan peledak batu bara tetap, seperti kue, kue kecil tapi yang merebut banyak, paling baik efisiensi. Dari bahan baku, substitusi bahan baku yang lebih murah, tender AN (Amonium Nitrate/bahan baku peledak) yang harganya murah, efisiensi di lapangan. Misalnya dulu pakai mobil operasionalnya 5 sekarang 3. Jadi banyak sekali efisiensi di Dahana.
Rencana Dahana ke depan, mungkin akan bangun pabrik ?
Kita lagi buat pabrik AN selesainya 2019 akhir. Dengan pabrik AN berarti revenue tambah kira-kira Rp 2,5 triliun, dengan catatan AN bisa dipasarkan ke tambang-tambang besar seperti Newmont dan Freeport. Banyak sekali kerja sama yang ditindaklajuti. Investasi pabrik detonator baru, belum lagi buat propelan untuk bahan baku roket.
Dahana sudah mulai garap pasar jasa peledakan di luar negeri ?
Penetrasi ke luar negeri ada kerja sama di Darwin (Australia), nanti kita nyebar ke seluruh Australia dan Selandia Baru. Yang dipasarkan di sana bahan peledak Dahana dan OSP (On Site Plant/pabrik di lokasi tambang). Kalau orang luar negeri ke Indonesia tawarkan jasa eksplosif, giliran orang Indonesia yang ke sana.
Kalau bisnis bom untuk militer bagaimana prospeknya ?
Kalau senjata secara khusus itu di Pindad, kita kebagian memproduksi roket, propelan (bahan baku roket), dan bom pesawat. Bom yang sudah tahap produksi itu P-100 Live, Blast Effect Bomb, dan Roket R-Han 122.
Kalau pabrik propelan untuk roket sudah sejauh mana ?
Itu kita menunggu pemerintah, investasinya besar sampai Rp 9 triliun. Kalau pakai uang Dahana sendiri, itu tidak mungkin. Jadi kita ajukan ke pemerintah skema Goverment Own Company Operated atau GOCO. Pemerintah yang memiliki pabrik propelan, kita yang mengoperasikan.
Selama ini propelan harus impor ?
Propelan kita ada pabriknya di LAPAN, tapi kecil sekali. Lokasinya di LAPAN, tapi kita yang kerjakan. Nah untuk bahan bakunya dari impor. Ini yang coba kita akan buat pabriknya sendiri.
Kendala membangun pabrik bahan baku roket atau propelan ?
Jadi propelan itu dipakai untuk MKB (Munisi Kaliber Besar) untuk roket, dan MKK (Munisi Kaliber Kecil) untuk munisi. Itu belum ada pabriknya, kita baru punya pabrik NG (Nitroglyceryn) di Subang, tapi kita butuh NC (Nitrocellulose), dan spherical powder. Jadi bahan bakunya impor, bahan bakunya kita proses jadi propelan di LAPAN. (idr/wdl)
Pasok Peledak ke Perusahaan Tambang
Kebutuhan produk bahan peledak di Indonesia masih tinggi. Permintaan bahan peledak komersial datang dari perusahaan tambang batu bara, tambang mineral, semen, dan kontraktor minyak. Permintaan bahan peledak setiap tahun sebesar 400.000 ton, bahkan mencapai 500.000 ton saat booming batu bara.
Direktur Utama PT Dahana (Persero), Budi Antono, mengatakan permintaan bahan peledak tersebut paling besar datang dari PT Freeport Indonesia dan PT Newmont Nusa Tenggara (Sekarang PT Amman Mineral Nusa Tenggara), namun Dahana kesulitan masuk ke dua tambang besar tersebut.
"Kemudian memang sangat susah masuk pertambangan asing, karena mereka sudah terjadi harmonisasi dengan pengusaha peledak asing, tetap kita harus masuk," kata Budi kepada detikFinance di Menara MTH, Cawang, Jakarta, pekan lalu.
Dia menuturkan, dari nilai pasar industri bahan peledak sekitar Rp 5 Triliun, sekitar 60% diserap oleh perusahaan tambang skala besar. Sementara pangsa pasar Dahana sebesar Rp 1,3 triliun.
Meski tak mudah, Dahana tetap berupaya masuk ke dua perusahaan tambang itu dengan membangun pabrik AN (Amonium Nitrate/bahan baku peledak) baru di Bontang, Kalimantan Timur.
"Bagaimana kita mau tawarkan bahan peledak ke Newmont (Amman Mineral) dan Freeport, caranya melengkapi bahan peledak, aksesoris sudah diproduksi semua di Subang, tinggal AN. Kita sedang bangun dengan kapasitas 150.000 ton, investasinya US$ 140 juta dan selesai di 2019," ungkap Budi. (idr/hns)
Nama PT Dahana (Persero) bisa jadi belum begitu akrab di telinga masyarakat. Meski begitu, peran BUMN ini dalam urusan pertahanan sangat strategis.
Dahana merupakan perusahaan yang khusus membuat bahan peledak alias bom. Selama ini, Dahana lebih banyak berfokus pada bisnis bahan peledak komersial yang lumrah dipakai untuk industri tambang. Kini, Dahana juga menggarap berbagai proyek pengembangan roket dan berbagai jenis bom.
Roket yang dikembangkan yakni Roket Rhan 122 dengan daya jelajah 35 km, Roket R-Han 450 dengan daya jelajah 100 km, serta Blast Effect Bomb untuk bom yang diluncurkan dari pesawat F-16 dan Bom P-Live 100 untuk pesawat Suhkoi.
Direktur Utama Dahana, Budi Antono, bicara panjang lebar perjalanan bisnis Dahana mulai dari membuat bom untuk kepentingan komersial, sampai persenjataan untuk keperluan pertahanan yang jarang diketahui masyarakat, dalam wawancara khusus dengan detikFinance, di Menara MTH, Cawang, Jakarta, Jumat (3/3/2017).
Bagaimana kondisi Dahana saat masih menjadi BUMN 'sakit' ?
Bukan sakit, tapi zaman Dahana statis. Karena memang monopoli enggak bisa berkembang, malah kalau ada tantangan kita kurang, jangan sampai lagi, tambah terlena. Contohnya orang Dahana dulu zaman monopoli kerjaan baca koran, konsumen datang sendiri. Kalau sekarang kita ke mana-mana harus cari.
Saat semua bahan peledak penjualan dimonopoli Dahana, revenue kita rata-rata di bawah Rp 300 miliar sebelum 2004. Sekarang dengan persaingan terbuka, revenue kita selalu di atas Rp 1 triliun, tahun lalu Rp 1,3 triliun. Kalau dulu mostly trading dan jual izin saja. Tapi 2004 kita mulai mandiri, tak hanya jualan bahan peledak, tapi menjadi kontraktor tambang langsung. Kita masuk ke jasa full service peledakan terintegrasi, tak hanya jualan saja.
Dahana pernah dapat Penyertaan Modal Negara (PMN) ?
Tidak ada sejak kita lahir dapat PMN, minta juga enggak pernah, karena untung terus jadi enggak dapat PMN.
Bagaimana pangsa pasar Dahana saat ini ?
Untuk bahan peledak, di kuari dan konstruksi, pangsa kita 76%. Sementara bahan peledak untuk migas 74%, dan pertambangan umum 14% saja.
Harga batu bara belum membaik, bagaimana dampaknya ke produksi bom Dahana ?
Pasar bahan peledak batu bara tetap, seperti kue, kue kecil tapi yang merebut banyak, paling baik efisiensi. Dari bahan baku, substitusi bahan baku yang lebih murah, tender AN (Amonium Nitrate/bahan baku peledak) yang harganya murah, efisiensi di lapangan. Misalnya dulu pakai mobil operasionalnya 5 sekarang 3. Jadi banyak sekali efisiensi di Dahana.
Rencana Dahana ke depan, mungkin akan bangun pabrik ?
Kita lagi buat pabrik AN selesainya 2019 akhir. Dengan pabrik AN berarti revenue tambah kira-kira Rp 2,5 triliun, dengan catatan AN bisa dipasarkan ke tambang-tambang besar seperti Newmont dan Freeport. Banyak sekali kerja sama yang ditindaklajuti. Investasi pabrik detonator baru, belum lagi buat propelan untuk bahan baku roket.
Dahana sudah mulai garap pasar jasa peledakan di luar negeri ?
Penetrasi ke luar negeri ada kerja sama di Darwin (Australia), nanti kita nyebar ke seluruh Australia dan Selandia Baru. Yang dipasarkan di sana bahan peledak Dahana dan OSP (On Site Plant/pabrik di lokasi tambang). Kalau orang luar negeri ke Indonesia tawarkan jasa eksplosif, giliran orang Indonesia yang ke sana.
Kalau bisnis bom untuk militer bagaimana prospeknya ?
Kalau senjata secara khusus itu di Pindad, kita kebagian memproduksi roket, propelan (bahan baku roket), dan bom pesawat. Bom yang sudah tahap produksi itu P-100 Live, Blast Effect Bomb, dan Roket R-Han 122.
Kalau pabrik propelan untuk roket sudah sejauh mana ?
Itu kita menunggu pemerintah, investasinya besar sampai Rp 9 triliun. Kalau pakai uang Dahana sendiri, itu tidak mungkin. Jadi kita ajukan ke pemerintah skema Goverment Own Company Operated atau GOCO. Pemerintah yang memiliki pabrik propelan, kita yang mengoperasikan.
Selama ini propelan harus impor ?
Propelan kita ada pabriknya di LAPAN, tapi kecil sekali. Lokasinya di LAPAN, tapi kita yang kerjakan. Nah untuk bahan bakunya dari impor. Ini yang coba kita akan buat pabriknya sendiri.
Kendala membangun pabrik bahan baku roket atau propelan ?
Jadi propelan itu dipakai untuk MKB (Munisi Kaliber Besar) untuk roket, dan MKK (Munisi Kaliber Kecil) untuk munisi. Itu belum ada pabriknya, kita baru punya pabrik NG (Nitroglyceryn) di Subang, tapi kita butuh NC (Nitrocellulose), dan spherical powder. Jadi bahan bakunya impor, bahan bakunya kita proses jadi propelan di LAPAN. (idr/wdl)
Pasok Peledak ke Perusahaan Tambang
Kebutuhan produk bahan peledak di Indonesia masih tinggi. Permintaan bahan peledak komersial datang dari perusahaan tambang batu bara, tambang mineral, semen, dan kontraktor minyak. Permintaan bahan peledak setiap tahun sebesar 400.000 ton, bahkan mencapai 500.000 ton saat booming batu bara.
Direktur Utama PT Dahana (Persero), Budi Antono, mengatakan permintaan bahan peledak tersebut paling besar datang dari PT Freeport Indonesia dan PT Newmont Nusa Tenggara (Sekarang PT Amman Mineral Nusa Tenggara), namun Dahana kesulitan masuk ke dua tambang besar tersebut.
"Kemudian memang sangat susah masuk pertambangan asing, karena mereka sudah terjadi harmonisasi dengan pengusaha peledak asing, tetap kita harus masuk," kata Budi kepada detikFinance di Menara MTH, Cawang, Jakarta, pekan lalu.
Dia menuturkan, dari nilai pasar industri bahan peledak sekitar Rp 5 Triliun, sekitar 60% diserap oleh perusahaan tambang skala besar. Sementara pangsa pasar Dahana sebesar Rp 1,3 triliun.
Meski tak mudah, Dahana tetap berupaya masuk ke dua perusahaan tambang itu dengan membangun pabrik AN (Amonium Nitrate/bahan baku peledak) baru di Bontang, Kalimantan Timur.
"Bagaimana kita mau tawarkan bahan peledak ke Newmont (Amman Mineral) dan Freeport, caranya melengkapi bahan peledak, aksesoris sudah diproduksi semua di Subang, tinggal AN. Kita sedang bangun dengan kapasitas 150.000 ton, investasinya US$ 140 juta dan selesai di 2019," ungkap Budi. (idr/hns)
★ detik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.