Ilustrasi Yonzipur 9 |
Bencana alam apapun bentuknya, selalu saja menyisakan sebuah cerita di negeri ini. Prajurit TNI juga memiliki segudang cerita suka dan duka pada saat menjalankan tugasnya dalam penanggulangan bencana. Kali ini Lettu Czi Budi Santoso, Danton alat berat Yonzipur 9 kembali membuka lembaran kisah pilu dari Pengandaran.
17 Juli 2006 sekitar pukul 15.16 WIB gempa bumi 5,8 - 6,8 Skala Richter mengguncang pesisir selatan pulau Jawa tepatnya di Pengandaran, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Gempa tersebut memicu terjadinya Tsunami yang memporak-porandakan pantai Pengandaran.
Tiga hari kemudian, batalyon zeni tempur ini menerima surat Telegram Rahasia Pangdiv I Kostrad untuk menyiapkan dan memerintahkan personil zipur BKO ke Kodam III Siliwangi, dalam rangka penanggulangan bencana alam Gempa Bumi dan Tsunami di wilayah Jabar, Banten dab sekitarnya.
Malam harinya, tepatnya pukul 22.00 WIB, Lettu Czi Budi Santoso pun menerima perintah dari komandannya. Bersama lima orang anggotanya berbekal satu Loader dan satu unit Dump Truck berangkat menuju Pangandaran sebagai tim aju. Tepat pukul 07.30 keesok harinya mereka tiba di Pangandaran dan melanjutkan perjalanan menuju Bulak Benda, Cimerak, 45 km selatan Pangandaran yang memiliki kerusakan paling parah. Setelah melakukan koordinasi dengan aparat terkait, akhirnya ditetapkanlah tugas utama mereka yakni membuka akses jalan menuju ke perkampungan yang terisolir karena tertutup puing-puing akibat gempa.
"Serda Haryanto selaku Danru Alber, saya perintahkan untuk membuka jalan-jalan yang terisolir. Pada waktu itu suasana Bulak Benda sangat mencekam dan sunyi. Hanya bau tak sedap yang menyengat, puing-puing yang berserakan, dan gemuruh ombak yang ada di depan kami. Pada saat itu juga saya harus menjemput tim berikutnya, sehingga dengan berat hati saya tinggalkan Serda Haryanto bersama empat orang prajurit lainnya," ungkap Letnan Satu Budi, melukiskan suasana Bulak Benda pasca Gempa dan Tsunami.
Sehari kemudian, ia berserta Tim II sebanyak 13 orang sampai di Pangandaran. Timnya membawa perlengkapan dua unit Dozer, dua Loader, dan tiga Dump Truck. Pengoperasian alat berat ini dibawah kendali Danyonzipur 3 Kodam III Siliwangi. "Selain kami, disana juga ada satuan lain yang ikut terlibat dalam penanggulangan bencana alam Pangandaran ini, seperti Yonzipur 3, Yonif 301/PKS, Yonif 323 Raider, Polda Jabar, Dinas PU dan tim relawan lainnya. Dengan serempak kami bahu membahu menyingkirkan puing-puing reruntuhan dan membersihkan lokasi bencana," katanya.
Selama membersihkan lokasi bencana tersebut tak sedikit hambatan yang harus dialami. Mulai hilir mudik kendaraan masyarakat yang ingin menyaksikan kehancuran pasca gempa yang dirasa cukup mengganggu, hingga keracunan makanan akibat mengkonsumsi ikan tongkol. "Semua kendala tersebut dapat segera kami atasi. Dengan semangat, saya dan tim melanjutkan membersihkan lokasi bencana. Tugas pun berhasil kami selesaikan dalam waktu seminggu. Saya bangga karena dapat menyelesaikan pekerjaan lebih cepat dari yang telah ditentukan Bapak Presiden RI," ungkapnya dengan mata berbinar. "Semua ini adalah hasil kerja keras tim serta berkat dukungan dan bantuan masyarakat sekitarnya. Pangandaran tak lagi porak-poranda, tapi terlihat bersih dan lebih rapi." tambahnya.
Tugas tidak berhenti disitu, Bersama timnya, ia lalau bergerak ke Kampung Bulak Benda, tempat tim pertama bertugas. Ketika bergerak ke lokasi tersebut, tidak sama semudah menggeser pasukan, mengingat alat berat yang ikut di bawa. "Dozer harus diangkut menggunakan alat angkut trailer yang sesuai medan. Pada waktu itu, Yonzipur 9 Kostrad memang memiliki alat angkut baru, tetapi tidak mampu melewati medan jalan yang sempit dan tikungan tajam. Akhirnya saya putuskan meminta bantuan pihak swasta untuk mengangkut Dozer ke Bulak Benda," jelasnya. Sehari kemudian, ia berserta tim II berikut alat berat tiba di lokasi.
Saat menginjakan diri untuk kedua kalinya, ia pun teringat kondisi yang sama di Pangandaran seminggu yang lalu. Ia disambut oleh aroma tak sedap yang sangat menyengat. Bahkan sangat sulit membedakan antara bau bangkai manusia dan bau bangkai ikan. Suasana sangat sepi dan masyarakat masih tinggal di perbukitan serta tempat-tempat pengungsian. Sambil mengamati keadaan sekitar, ia pun mencari tim pertamanya.
"Saya senang sekali pada saat melihat sosok Serda Haryanto. Akhirnya saya berkumpul kembali dengan prajurit saya setelah kurang lebih seminggu berpisah untuk bertugas di tempat lain," ungkap Danton Alber ini.
Ia kemudian mendengarkan laporan Serda Haryanto tentang kondisi terakhir di Bulak Benda. Bersama empat prajurit lainnya, Serda Haryanto telah berhasil membuka jalan menuju kampung-kampung yang terisolir karena akses jalan tertutup sampah dan bebatuan besar.
Perjalanan terus berlanjut dengan menyusuri rute-rute akses menuju lokasi bencana. Meski dengan segala keterbatasan alat dan terutama kekurangan logistik, ia dan personil timnya terus berusaha membuka akses jalan. "Pada saat pertama kali menginjakan kaki di Bulak Benda, kami mengalami kesulitan logistik. Kami tidak mungkin mengambil sebungkus nasi ke Posko Pangandaran yang berjarak 45 kilometer. Kamipun berusaha mencari alternatif lain dan bersyukur ketika melihat pohon-pohon kelapa yang masih berdiri kokoh di sepanjang jalan menuju tempat yang terisolasi. Saat terasa lapar dan haus, kami makan kelapa," ungkapnya dengan riang.
"Itulah pengalaman yang sangat berkesan bagi saya. Dan beruntungnya kondisi tersebut hanya berlangsung selama tiga hari. Lalu datang bantuan dari relawan dan masyarakat yang menyalurkan logistik hingga ke lokasi bencana, mengingat sebagian akses jalan sudah berhasil kami buka," katanya menambahkan.
Setelah adanya penambahan personil dan peralatan dari Pangandaran, ia dan timnya melanjutkan membuka jalan di empat kampung sepanjang pantai. Kegiatan yang ia lakukan tak jauh berbeda dengan kegiatan yang sudah dilakukan sebelumnya, yaitu membuka jalan dan membersihkan puing-puing. Salah satunya Tempat Pelelangan Ikan yang menjadi sentral ekonomi masyarakat setempat. Di sekitar lokasi tersebut, satu-satunya jembatan yang menjadi penghubung dua kampung juga longsor, Para prajurit Yonzipur 9 Kostrad itu kemudian menimbun jembatan tersebut dengan puing-puing, sehingga untuk sementara waktu bisa dilalui. "Berbagai pengalaman seru selalu saja kami alami saat membersihkan puing-puing bangunan yang rata dengan tanah. Salah satu contohnya, ketika buldozer yang kami pakai terperosok ke dalam septitank yang sangat besar, sehingga kami harus terlebih dahulu mencuci buldozer dari kotoran manusia itu," katanya sambil tersenyum.
Perjalanan kemudian sampai di Mercusuar yang bangunannya tinggal separuh saja. Menurut warga sekitar di belakang mercusuar, ada satu kampung yang rata dengan tanah. Ia pun berpikir tentang kemungkinan masih adanya korban disana, sehingga diputuskan untuk melihat lokasi tersebut. Ketika kampung ia datangi, ternyata bangunan-bangunan rumah yang ada disana hanya tinggal pondasinya saja. Ia dan timnya segera membuka jalan-jalan menuju kampung tersebut, hingga akhirnya benar dugaaannya, bahwa personil dari TNI dan PMI yang bergerak ke kampung itu berhasil mengevakuasi mayat-mayat yang memang banyak tertimbun di bawah reruntuhan bangunan.
Bersama rekan-rekannya, ia terus berusaha memberikan bantuan yang dibutuhkan korban bencana. Posko bantuan dan tenda-tenda pengungsian didirikan, akses jalan dbuka dan Pangandaran yang porak-poranda di bersihkan. Perjalanan demi perjalanan dialaminya, suka dan duka dialaminya sehingga tugas pun usai. Rasanya sangat berat untuk meninggalkan kampung yang dirundung duka itu. Namun prajurit Zipur 9 Kostrad ini merasa bangga karena Pangandaran yang tadinya seperti kampung mati kini telah hidup kembali.
(dikutip dari Majalah Defender, Desember 2008)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.