C-295 |
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Pertahanan, Purnomo Yusgiantoro,
menyatakan pesawat angkut ringan TNI AU jenis Fokker 27 dengan nomor
ekor 2708 sebenarnya sudah akan diganti dengan pesawat lainnya. Terlebih
lagi usianya yang sudah cukup tua.
“Di Kemhan sudah
menandatangani kontrak dan sedang dikerjakan 10 pesawat CN 295,” katanya
saat memberikan keterangan pers di kediaman Wakil Presiden, Boediono,
Kamis (21/6).
Purnomo mengatakan dua pesawat pertama akan didatangkan pada tahun
ini. Selanjutnya akan dikerjakan oleh PT Dirgantara Indonesia.
Penggantian
ini bukan tanpa alasan. Sebab, pesawat tersebut masuk dan menjadi
bagian dari kekuatan Skuadron II penerbang pada 9 Februari 1977.
Artinya, pesawat tersebut sudah berusia 35 tahun.
Pesawat Fokker
27 buatan pabrik Fokker Netherland dengan engine 2 EA Rolls Royce Dart
MK 536-7R itu memiliki rentang sayap 18 meter, panjang badan 15.154
meter, tinggi 6,31 meter, dan berat maksimum 7.450 kg. Pesawat ini
mempunyai daya angkut 40 orang penumpang dan mampu menjelajah selama
enam jam.(Republika)
Lima Pesawat Fokker Tersisa Harus Dievaluasi
CN-295 promosi d Indonesia |
Pemerintah pun akan mengevaluasi keberadaan lima pesawat pabrikan Belanda tahun pembuatan 1977 itu apakah masih akan dioperasikan atau di-grounded (tidak boleh terbang).
"Apakah pesawat Fokker akan diperpanjang atau tidak itu akan dievaluasi," kata Kepala Pusat Komunikasi Publik Kementerian Pertahanan (Kemenhan) Brigjen TNI Hartind Asrin saat dihubungi, Jumat (22/6).
"Yang pasti jenis pesawat ini (Fokker) tidak akan didatangkan lagi dan diganti dengan CN 295. CN dipilih karena memiliki teknologi modern dan kita ingin menuju kemandirian alutsista (alat utama sistem senjata) itu buatan dalam negeri. Sehingga dalam kerja sama, juga ada transfer teknologi antara Airbus Military Spanyol dan PT DI (Dirgantara Indonesia)."
Ia menambahkan evaluasi terhadap lima pesawat Fokker tersisa dibutuhkan agar tidak ada lagi korban jiwa dari pasukan TNI maupun sipil. Pasalnya, sumber daya manusia (SDM) merupakan aset berharga yang penting dilindungi dan menjadi prioritas utama.
Hartind juga berharap semua pihak mendukung rencana strategis (renstra) TNI untuk meningkatkan alutsista, baik itu mengganti, meremajakan, dan menambah yang baru. Karena minimnya alutsista memiliki dampak yang sangat besar, baik dalam skala nasional hingga pasukan TNI itu sendiri.
Peningkatan alutsista kadang terhambat di Dewan Perwakilan Rakyat. Semua yang telah disusun dalam renstra menjadi molor dan terhambat. Anggaran alutsista, lanjut Hartind, semestinya tidak menjadi alasan karena disesuaikan dengan ekonomi negara.
“Di parlemen kadang-kadang prosesnya lama. Padahal sudah ada blue print perencanaan 2010-2014, misalnya mau beli alutsista apa, pesawat, senjata, tank, dan lain-lain. Semua sudah disusun terstruktur dan terencana. DPR boleh kritis tapi jangan menghambat pembangunan renstra alutsista TNI," ujarnya.
Ia pun mencontohkan renstra 2005-2009 yang cuma tercapai 50 persen akibat kendala birokrasi, DPR, dan lainnya. Semua elemen, kata dia, seharusnya memiliki semangat dan tujuan yang sama untuk mendukung akselerasi pengadaan alutsista. (*/OL-15)(Media Indonesia)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.