Berikut Penuturan : Jenderal Kehormatan (Purn) GPH. Djatikusumo
☆ Pajurit dari kraton
Prajurit dari Kraton JANGKA JAYABAYA. BIDANG kemiliteran bukan hal baru buat saya. Sejak kecil penghuni keraton sudah dididik kemiliteran, antara lain lewat pertunjukan wayang kulit. Anak-anak diizinkan nonton sampai pukul 11 malam. Kami juga berlatih baris-berbaris. Di samping itu tentunya belajar pencak silat dan naik kuda. Saya dilahirkan dalam lingkungan yang dibayangi oleh sindrom Perang Diponegoro.
Pada 1897--empat tahun setelah ayah naik tahta sebagai Sri Susuhunan Paku Buwono X--beliau mengumpulkan orang-orang tua, menganjurkan mereka agar mempelajari mengapa kita selalu kalah dengan penyerbu-penyerbu asing. Bukankah Keraton Surakarta selain pernah dimasuki Belanda, juga pemah diduduki Lnggris (1811--1816). Bahkan Prancis pun pemah mencengkeram kita secara tidak langsung, yakni ketika Negeri Belanda dikuasai Prancis.
Dalam
pertemuan itu Bapak minta kepada para orang tua keraton untuk mencari
cara mengusir penjajah. Baru dua tahun kemudian, tahun 1899, mereka
menjawab. Di antara sejumlah saran, yang terpenting adalah kita harus
memiliki hanya satu pimpinan. Maksudnya, agar kita bisa mendirikan
negara yang bersatu semacam Majapahit. Tidak terpecah-belah dalam
beberapa pimpinan yang saling bersaing.
Pada
tahun 1905 Jepang mengalahkan Rusia. Ini meruntuhkan anggapan bahwa
orang kulit putih tidak bisa dikalahkan oleh kulit berwarna. Maka Bapak
mencoba mengirim kakaknya yang bernama Pangeran Kusumodiningrat ke
Jepang, agar mendapatkan latihan bidang ketentaraan. Tapi Jepang
menjawab, belum berpikir ke arah sana.
Ide
ini dilaksanakan Bung Kamo pada tahun 1942, ketika Jepang sudah
menduduki Indonesia. Mengapa Bapak menoleh ke Jepang? Tentunya tidak
terlepas dari pengetahuan orang Jawa tentang Jangka Jayabaya atau
Sabdo-Palon Noyo Genggong. Sabdo artinya sabda atau ucapan yang pasti.
Palon adalah yang digembleng. Noyo artinya sakti, atau bisa juga berarti
yang paling tua. Genggong, maksudnya bila ada daya pasti ada bahaya.
Ini sebuah filsafat atau pandangan hidup. Dalam Sabdo Palon dikatakan,
"Yang bisa mengusir kerbau bule adalah orang-orang cebol kepalang dari
utara, yang membawa tongkat tebu wulung. Mereka berada di sini hanya
seumur jagung.
"Dalam
lingkungan seperti itulah Subandono--nama kecil saya-- dilahirkan pada 1
Juli 1917 atau pada hari ke-11 Poso, bulan puasa, di kedaton Surakarta.
Ayah saya adalah Susuhunan Paku Buwono X. Dan Ibu bemama Kirono Rukmi,
garwa ampeyan Sri Susuhunan, bukan permaisuri. Ibu berasal dari Kajoran,
sebuah desa di selatan Klaten. Jadi saya ini punya darah desa. Kakek
ibu saya memang seorang bangsawan, tapi nenek orang desa. Kelak
lingkungan keraton dan suasana desa membentuk diri saya sebagai
bangsawan sekaligus rakyat. Bapak menanamkan tekad untuk mengusir
penjajah pada putra-putranya.
Untuk
itu modal penting yang harus kita miliki antara lain mengetahui
kekuatan musuh. Itulah sebabnya Bapak mengirim kami ke sekolah Belanda.
Mula-mula saya di sekolahkan di Europesche Lagere School--setingkat
sekolah dasar--di Solo (1921 - 1931). Hanya kalau libur saya pulang ke
Kajoran. Bapak hanya sekali tiga bulan ke Kajoran, ke pesanggrahan yang
dibangunnya. Agar kami lebih mengenal lawan, ada semacam tradisi baru di
keraton waktu itu. Selepas sekolah dasar kami, putra-putra Sri
Susuhunan, diharuskan keluar dari istana, hidup di lingkungan
orang-orang Belanda. Bahkan putra tertua langsung disekolahkan di Negeri
Belanda.
Akan
halnya saya, selepas sekolah dasar, saya dan adik saya dititipkan
kepada keluarga Belanda di Bandung. Di kota itu kami melanjutkan
pendidikan ke sekolah lanjutan Hogere Burger School (HBS) selama delapan
tahun. Hanya kalau libur saya pulang ke Surakarta. Keluarga Belanda ini
adalah keluarga seorang purnawirawan letnan kolonel yang tidak memiliki
anak. Ada seorang anak angkat, anak Ambon, tapi waktu itu anak angkat
itu sudah jadi dokter dan sudah berkeluarga. Dari keluarga Belanda itu
saya memperoleh pengetahun tentang tingkah laku, cara berpikir, dan
berbagai hal yang berkaitan dengan orang Belanda. Ternyata kemudian
nasihat Bapak know well your enemy itu memang sangat menunjang karier
militer saya. Oleh Bung Karno, saya diangkat menjadi kepala staf
angkatan darat yang pertama pada 1948, posisi yang begitu strategis
untuk berhadapan dengan musuh.
☆ PETA
Mungkin banyak yang bertanya-tanya, mengapa setelah menyelesaikan sekolah menengah di Bandung saya tidak melanjutkan pendidikan di sekolah militer. Sebenarnya ayah ingin memasukkan saya ke Akademi Militer Breda di Negeri Belanda seperti kakak saya, G.P.H. Purbonegoro. Saya tidak mau. Mengapa? Karena kalau lulus dari sana, saya harus mengangkat sumpah setia kepada Sri Ratu dan konstitusi Negeri Belanda. Padahal saya tahu, sebenarnya mereka adalah musuh saya. Maka saya memilih instituut Technologie Delf di Nederland (1936- 1939). Saya tidak menduga bahwa kemudian sumpah para siswa Akmil Breda tersebut bisa batal karena Belanda menyerah kepada Jepang, Maret 1942.
Waktu itu Panglima Tentara Belanda berkata, "Dengan ini tentara Koninklijk Nederlands Indische Leger (KNIL) dibubarkan." Maka para pemuda Indonesia lulusan Breda yang masuk KNIL, seperti Pak Suryadarma, yang kemudian menjadi KSAU itu, menyatakan sumpah tersebut batal. Memang ada usaha-usaha dari pihak Belanda untuk menuntut kembali kesetiaan itu setelah usai Perang Dunia II. Misalnya, ketika kakak saya Purbonegoro menjadi penasihat militer Pemerintah Republik Indonesia berada di kapal Renville. Ia didatangi Jenderal Spoor, yang pernah sekamar dengannya di Breda. Spoor mengingatkan bahwa lulusan Breda masih terikat sumpah setia kepada Sri Ratu. Kakak saya menjawab, "Itu kan sudah dibatalkan ketika Belanda menyerah kalah tanpa syarat kepada Jepang.
"Karena pecah Perang Dunia II, pada Januari 1940 saya kembali ke
Indonesia, meninggalkan Delf. Saya meneruskan pendidikan ke Institut
Teknologi Bandung, tahun 1940 sampai 1941. Sementara itu, Perang Pasifik
pecah. Belanda semakin banyak merekrut pemuda Indonesia untuk dijadikan
anggota milisi umum. Ketika itulah saya ingat tentang Sabdo Palon Noyo
Genggong bahwa "Jepang akan berada di sini seumur jagung." Ketika itu
saya sudah membayangkan saatnya tak lama lagi Jepang akan meninggalkan
Indonesia.
Pengetahuan
tentang Jangka Jayabaya ini sedikit-banyak telah memotivasi saya untuk
memasuki bidang kemiliteran. Maka, atas anjuran Ayah, saya masuk milisi
Corps Opleiding voor Reserve Officieren (CORO) di Bandung, tahun
1941-1942. Lembaga pendidikan militer bagi para milisi ini bertugas
mencetak perwira cadangan untuk KNIL. Saya memperoleh pangkat kopral.
Waktu itu di Indonesia sudah ada Akademi Militer Bandung, cabang Akademi
Militer Breda di Belanda. Cabang ini dibuka di tahun 1940, ketika
Belanda dicaplok Jerman. Setahu saya, yang pernah masuk di Akademi itu
antara lain Kartakusumah, A.H. Nasution, dan T.B. Simatupang. Saya
sendiri tidak pernah mengikuti pendidikan di situ. Belum sampai delapan
bulan saya di CORO, Jepang mendarat. Ketika itu taruna CORO ditempatkan
di Tasikmalaya, untuk menjaga lapangan terbang Cibeureum. Karena itulah
banyak perwira Belanda berhasil menyelamatkan diri dari kepungan Jepang.
Tanggai 2 Maret 1942 CORO dipindahkan ke Ciater, Subang, Jawa Barat.
Sesampai di sana, Senin sore, dor, dor, dor.... ternyata Jepang sudah menunggu. Sebagai kopral taruna CORO, tentu saja saya bertempur di pihak Belanda. Tanggal 8 Maret 1942 Belanda menyerah kepada Jepang. KNIL bubar.
Sesampai di sana, Senin sore, dor, dor, dor.... ternyata Jepang sudah menunggu. Sebagai kopral taruna CORO, tentu saja saya bertempur di pihak Belanda. Tanggal 8 Maret 1942 Belanda menyerah kepada Jepang. KNIL bubar.
Rakyat
Indonesia menyambut Dai-Nippon sebagai saudara tua dengan penuh
kekaguman. Suatu kali Bung Kamo pergi ke Negeri Sakura, minta supaya
Jepang melatih bangsa Indonesia di bidang kemiliteran. Kabarnya, di sana
Bung Karno disuguhi demonstrasi latihan perang-perangan oleh
siswa-siswa Akademi Miiiter Jepang, dan amat terkesan.
Maka, atas permintaan Sukarno, di akhir tahun 1943, dibentuklah PETA melalui O Samurai, semacam keputusan Presiden. Saya masuk PETA di Solo. Yang harus dicatat, PETA bukan bagian dari tentara Jepang. Sebelum masuk PETA, saya menganggur. Sehari-hari saya latihan setengah kemiliteran dengan bocah-bocah di Solo, sekadar melatih fisik dan mental untuk menyiapkan diri bila sewaktu-waktu diperlukan. Ini bukan kesatuan, cuma kumpulan anak-anak muda saja. Nah, ketika Bung Karno minta sukarelawan dari kalangan pemuda-pemuda Indonesia, dari kumpulan kami itu banyak yang masuk, termasuk saya.
Suatu hari saya bersama sekitar 15 pemuda Indonesia yang lain ditawari belajar di Akademi Militer Jepang. Saya menolak. Sebab, ini menurut pikiran saya waktu itu, kalau lulus lantas menjadi tentara siapa? Yang berangkat antara lain Pak Yoga Soegama, yang kemudian menjadi kepala Bakin dan sekarang rektor Universitas Persada, Jakarta. Jadi saya cuma masuk PETA, yang lengkapnya disebut Tentara Sukarela Pembela Tanah Air.
Maka, atas permintaan Sukarno, di akhir tahun 1943, dibentuklah PETA melalui O Samurai, semacam keputusan Presiden. Saya masuk PETA di Solo. Yang harus dicatat, PETA bukan bagian dari tentara Jepang. Sebelum masuk PETA, saya menganggur. Sehari-hari saya latihan setengah kemiliteran dengan bocah-bocah di Solo, sekadar melatih fisik dan mental untuk menyiapkan diri bila sewaktu-waktu diperlukan. Ini bukan kesatuan, cuma kumpulan anak-anak muda saja. Nah, ketika Bung Karno minta sukarelawan dari kalangan pemuda-pemuda Indonesia, dari kumpulan kami itu banyak yang masuk, termasuk saya.
Suatu hari saya bersama sekitar 15 pemuda Indonesia yang lain ditawari belajar di Akademi Militer Jepang. Saya menolak. Sebab, ini menurut pikiran saya waktu itu, kalau lulus lantas menjadi tentara siapa? Yang berangkat antara lain Pak Yoga Soegama, yang kemudian menjadi kepala Bakin dan sekarang rektor Universitas Persada, Jakarta. Jadi saya cuma masuk PETA, yang lengkapnya disebut Tentara Sukarela Pembela Tanah Air.
Hanya
dalam 18 bulan, Jepang berhasil membentuk pasukan siap tempur dari para
prajurit PETA. Ini yang saya kagumi dari orang Jepang. Padahal
prajurit- prajuritnya direkrut dari orang-orang desa yang cuma sekolah
rakyat tiga tahun. Bayangkan, bagaimana melatih orang-orang desa yang
masih lugu? Mereka belum pernah memegang senapan, apalagi mortir.
Mungkin melihat saja baru waktu di PETA. Bagaimana mereka mengerti soal
trigonometri dan koniometri yang diperlukan untuk menembakkan mortir?
November, Desember 1944, sampai Januari 1945, saya mengikuti pendidikan
di Bo'ei Giyugun Kanbu Renseitai, pendidikan calon perwira PETA, di
Bogor. Kami dibagi dalam tiga kelompok. Kelompok pertama untuk calon
komandan batalyon. Di kelompok ini banyak kiainya.
Melihat para kiai sekonyong-konyong disuruh latihan baris-berbaris, ya aneh juga. Kelompok kedua, kelompok komandan kompi, termasuk saya. Dan ketiga, kelompok calon komandan peleton. Saya termasuk angkatan pertama yang berlatih di Bogor. Latihan calon perwira amat keras. Kena tempeleng itu biasa. Tapi saya belum pernah ditempeleng. Pagi, siang, malam, terus latihan. Praktis tidur cuma enam jam. Padahal waktu itu musim hujan. Mestinya kami berlatih selama enam bulan. Entah bagaimana, cuma dilangsungkan tiga bulan. Kalau saya bandingkan dengan latihan di CORO, latihan di PETA itu luar biasa hebat. CORO itu latihan militer untuk ndoro, priyayi. Lha, wong Jepang sudah sampai di Singapura, tapi latihannya itu-itu juga, baris-berbaris dan menghafal teori. Pelatihnya pun terdiri atas para perwira Londo, Belanda, yang belum pernah berperang. Makanya, waktu Jepang menyerang, ada komandan yang bunuh diri. Juga banyak komandan yang tidak mau lagi memimpin prajurit. Lha, ini komandan apa. PETA lain. Kami dilatih oleh perwira-perwira yang terlibat pertempuran di Cina. Hebat. Bayangkan, bila 17 Agustus 1945 tidak ada PETA yang jumlahnya 65 batalyon atau kira-kira 70.000 perajurit, mau apa kita?
Melihat para kiai sekonyong-konyong disuruh latihan baris-berbaris, ya aneh juga. Kelompok kedua, kelompok komandan kompi, termasuk saya. Dan ketiga, kelompok calon komandan peleton. Saya termasuk angkatan pertama yang berlatih di Bogor. Latihan calon perwira amat keras. Kena tempeleng itu biasa. Tapi saya belum pernah ditempeleng. Pagi, siang, malam, terus latihan. Praktis tidur cuma enam jam. Padahal waktu itu musim hujan. Mestinya kami berlatih selama enam bulan. Entah bagaimana, cuma dilangsungkan tiga bulan. Kalau saya bandingkan dengan latihan di CORO, latihan di PETA itu luar biasa hebat. CORO itu latihan militer untuk ndoro, priyayi. Lha, wong Jepang sudah sampai di Singapura, tapi latihannya itu-itu juga, baris-berbaris dan menghafal teori. Pelatihnya pun terdiri atas para perwira Londo, Belanda, yang belum pernah berperang. Makanya, waktu Jepang menyerang, ada komandan yang bunuh diri. Juga banyak komandan yang tidak mau lagi memimpin prajurit. Lha, ini komandan apa. PETA lain. Kami dilatih oleh perwira-perwira yang terlibat pertempuran di Cina. Hebat. Bayangkan, bila 17 Agustus 1945 tidak ada PETA yang jumlahnya 65 batalyon atau kira-kira 70.000 perajurit, mau apa kita?
Tentara
KNIL sudah dibubarkan. PETA-lah yang memegang peranan. Makanya kemudian
kita memilih Soedirman, anggota PETA, sebagai Panglima Besar. Dia tahu
kemampuan dan keterbatasan pasukan kita. Delapan belas bulan orang-orang
PETA tidur bersama-sama di bawah satu atap--sejak PETA dibentuk hingga
Jepang kalah perang. So we know well each other. Karena pengalaman
mengikuti PETA pula mengapa saya ditunjuk menjadi kepala staf angkatan
darat. Bung Hatta tidak puas terhadap lulusan dari Breda. "Jangan-jangan
mereka nanti mendidik perwira-perwira seperti di Breda, yang bisanya
cuma mundur, bubar," kata Bung Hatta waktu itu. Pak Harto juga orang
PETA. Beliau masuk dalam PETA khusus, yaitu pasukan yang dididik untuk
gerilya. Mereka dilatih di Jaga Monyet, Jakarta.
Sebelumnya mereka dilatih di Bogor. Pada 1945 itu boleh dikatakan ada tiga kelompok militer: PETA, bekas KNL, dan lasykar rakyat. Yang dari lasykar, misalnya Hizbullah, Pasukan Banteng, dan sebagainya. Para perwiranya terdiri atas mereka yang lulus dari Akademi Militer Mister Cornelis Jatinegara, seperti Pak Uripsoemohardjo, lalu dari Akademi Militer Breda, Akademi Militer Bandung, dan dari PETA. Dari merekalah TNI terbentuk.
Sebelumnya mereka dilatih di Bogor. Pada 1945 itu boleh dikatakan ada tiga kelompok militer: PETA, bekas KNL, dan lasykar rakyat. Yang dari lasykar, misalnya Hizbullah, Pasukan Banteng, dan sebagainya. Para perwiranya terdiri atas mereka yang lulus dari Akademi Militer Mister Cornelis Jatinegara, seperti Pak Uripsoemohardjo, lalu dari Akademi Militer Breda, Akademi Militer Bandung, dan dari PETA. Dari merekalah TNI terbentuk.
Itu
sebabnya pada 1947 kita mengadakan rekapitulasi dan rasionalisasi TNI
untuk menghasilkan tentara reguler yang lebih baik. Selepas kemerdekaan,
saya diminta oleh Pak Urip Sumahardjo (Kepala Badan Keamanan Rakyat)
membentuk satu batalyon BKR di Surakarta. Saya dipilih menjadi
komandannya. Belum lagi lima bulan (kalau tak salah pada bulan Oktober
1945) BKR kami dua kali diminta membantu dor-dor-an dengan Jepang di
Semarang. Di situ ada lelucon. Dulu sih tak terasa lucu, tapi sekarang
mungkin lucu.
Begini. Jepang mengusulkan gencatan senjata. Yang diutus oleh Pak Urip adalah Umar Slamet (ini bukan Slamet Riyadi, Iho). Mas Slamet juga bekas PETA dan Komandan BKR di Yogya. Kami pernah berlatih bersama di Bogor. Sekarang dia sudah almarhum. Sekitar pukul 18.30 saya dijemput Mas Slamet, padahal perundingan direncanakan pada pukul 12 malam. Dia rupanya ngeri sebab di markas Jepang ada senapan mesin Jepang. Akhirnya kami pergi bertiga--Mas Slamet, saya, dan Hadiwinangun (bekas Residen Cirebon) ke Jatingaleh--ke markas Jepang yang dijadikan tempat perundingan itu. Di markas Jepang terlihat banyak orang Jepang yang luka akibat pertempuran dengan anak-anak kita.
Sebaliknya, di pihak kami juga banyak korban. Saya berbisik kepada Mas Slamet sambil berjalan menuju ruang perundingan, "Mas, pokoknya kita harus selamat keluar dari sini." Perundingan dilakukan di ruangan komandan Jepang yang luas. Dia mempersilakan kami. Jleg! Kami duduk. Bulu kuduk saya berdiri sekaligus bangga karena bisa duduk sederajat dengan komandan Jepang. Tanpa banyak basa-basi kami segera membuka perundingan.
Mas Slamet minta agar Jepang menyerah kepada pemerintah Indonesia. Jepang langsung nggebrak! Dan Mas Slamet berbisik kepada saya, "Mas Djati, kalau kita mati di sini tidak ada orang tahu." Saya diam saja. Apa yang dikatakan Jepang? "Tidak ada ketentuan bahwa kami harus menyerah kepada Pemerintah Indonesia. Kami hanya akan menyerah kepada Tentara Sekutu." Perundingan gagal. Syukurlah, kami dapat keluar dengan selamat.
Begini. Jepang mengusulkan gencatan senjata. Yang diutus oleh Pak Urip adalah Umar Slamet (ini bukan Slamet Riyadi, Iho). Mas Slamet juga bekas PETA dan Komandan BKR di Yogya. Kami pernah berlatih bersama di Bogor. Sekarang dia sudah almarhum. Sekitar pukul 18.30 saya dijemput Mas Slamet, padahal perundingan direncanakan pada pukul 12 malam. Dia rupanya ngeri sebab di markas Jepang ada senapan mesin Jepang. Akhirnya kami pergi bertiga--Mas Slamet, saya, dan Hadiwinangun (bekas Residen Cirebon) ke Jatingaleh--ke markas Jepang yang dijadikan tempat perundingan itu. Di markas Jepang terlihat banyak orang Jepang yang luka akibat pertempuran dengan anak-anak kita.
Sebaliknya, di pihak kami juga banyak korban. Saya berbisik kepada Mas Slamet sambil berjalan menuju ruang perundingan, "Mas, pokoknya kita harus selamat keluar dari sini." Perundingan dilakukan di ruangan komandan Jepang yang luas. Dia mempersilakan kami. Jleg! Kami duduk. Bulu kuduk saya berdiri sekaligus bangga karena bisa duduk sederajat dengan komandan Jepang. Tanpa banyak basa-basi kami segera membuka perundingan.
Mas Slamet minta agar Jepang menyerah kepada pemerintah Indonesia. Jepang langsung nggebrak! Dan Mas Slamet berbisik kepada saya, "Mas Djati, kalau kita mati di sini tidak ada orang tahu." Saya diam saja. Apa yang dikatakan Jepang? "Tidak ada ketentuan bahwa kami harus menyerah kepada Pemerintah Indonesia. Kami hanya akan menyerah kepada Tentara Sekutu." Perundingan gagal. Syukurlah, kami dapat keluar dengan selamat.
☆ PERANG GURU YANG BAIK
SELESAI
Selesai
Perang Dunia II Belanda harus membangun kembali negaranya yang rusak.
Negeri Belanda itu rusak betul, Lho. Dari mana memperoleh uang. Tentunya
mereka berharap dari jajahan-jajahannya. Dan yang memasukkan devisa
paling besar waktu itu adalah perkebunan-perkebunan. Maka mereka
membonceng Sekutu memasuki Indonesia, untuk menjajah negeri ini kembali.
Letnan Gubernur Jenderai Van Mook, pemimpin tertinggi Belanda di
Indonesia setelah PD II, mengerahkan tentaranya ke Jawa dan Sumatera,
dua pulau yang memiliki banyak perkebunan. Tentu saja van Mook tahu
daerah-daerah mana yang perlu diprioritaskan. Sebab, dia adalah Direktur
Departemen Urusan Ekonomi di Batavia sebelum PD II. Tapi Jenderal
Spoor, yang memimpin tentara Belanda di Indonesia, harus menghadapi
kenyataan yang sama sekali di luar dugaannya. Rakyat Indonesia melawan
dengan gigih. Kepala intelejen Belanda di Australia rupanya memperoleh
laporan yang salah. Intel-intelnya melaporkan bahwa keadaan Indonesia
belum berubah. Spoor mengira bila Belanda mendarat, mereka akan diterima
dengan baik oleh rakyat. Dia tidak memahami bahwa selama Belanda pergi
ada yang namanya PETA yang jumlahnya 65 batalyon atau kira-kira 70 ribu
personel. Kalau jumlah tentara PETA dijadikan divisi, maka jumlahnya 7
divisi (1 divisi adalah 9 batalyon). Jumlah TNI kita memang 7 divisi.
Bulan
November-- sebulan setelah bertempur melawan Jepang di Semarang--Pak
Urip memanggil saya lagi. Dia bilang, "Kamu jadi panglima divisi. Pilih
yang mana?" Maka, sejak 1 November 1945 sampai 1 Juni 1945 saya menjabat
sebagai Panglima Divisi IV Tentara Republik Indonesia (TRI), bermarkas
di Salatiga. Wilayah pertahanan saya meliputi Keresidenan Pekalongan,
Semarang, dan Pati. Di daerah-daerah itu Sekutu sudah masuk.
Ha... waktu itulah saya berhadapan dengan Sekutu yang berintikan tentara Inggris di dataran tinggi Rawa Pening dan Semarang. Saya pernah pula menjadi delegasi perundingan genjatan sejata di Semarang. Sekutu memang pernah mencoba memasuki Jawa Tengah lewat Magelang, tapi kami dorong lagi ke Ambarawa dan Semarang, lalu akhirnya ke Surabaya.
Ha... waktu itulah saya berhadapan dengan Sekutu yang berintikan tentara Inggris di dataran tinggi Rawa Pening dan Semarang. Saya pernah pula menjadi delegasi perundingan genjatan sejata di Semarang. Sekutu memang pernah mencoba memasuki Jawa Tengah lewat Magelang, tapi kami dorong lagi ke Ambarawa dan Semarang, lalu akhirnya ke Surabaya.
Begitu
bersemangatnya perlawanan rakyat dan tentara kita. Banyak yang berkata,
"Pak, habiskan itu Inggris." Saya jawab, "Mereka habis, kita juga
habis." Lha, mereka lebih terlatih ketimbang kita, kok. Persenjataannya
pun lebih lengkap, canggih lagi. Nganggo montor mabur, nggago mortir,
nganggo panser, nganggo reno-reno (memakai pesawat terbang, mortir,
panser, dan macam- macam). Lagi pula kebanyakan dari tentara Inggris itu
orang India dan Pakistan, yang disebut Gurkha. "Mereka itu kawan kita.
Bukankah India dan Pakistan sendiri ingin merdeka? Mengapa harus kita
bunuh? Dorong saja ke Surabaya," kata saya. Tentara Inggris sendiri
tampaknya tak terlalu bersemangat bertempur dengan kami. Sebab, tugas
mereka sebenarnya adalah melucuti tentara Jepang, bukan bertempur
melawan bangsa Indonesia. Jepang sudah dilucuti, jadi apalagi? Mungkin
itulah yang mendorong Inggris mengajak kita mengadakan perjanjian
gencatan senjata di Semarang, kalau saya tidak lupa, pada bulan Maret
1946. Lalu mereka mundur ke Surabaya. Praktis di Jawa Tengah dan Jawa
Timur Sekutu hanya berada di daerah pesisir, seperti Surabaya.
Seingat saya, kota di pedalaman yang bisa dimasuki Sekutu adalah Bandung. Saya nggak pemah mengerti mengapa mereka berhasil memasuki Bandung. Padahal medannya lebih berat ketimbang Jawa Timur. Untuk mencapai Bandung kan harus melalui daerah bergunung-gunung. Mengapa pasukan kita tidak menggugurkan gunung-gunung itu untuk menghambat Sekutu? Atau menghancurkan jembatan-jembatan besar yang curam itu.
Seingat saya, kota di pedalaman yang bisa dimasuki Sekutu adalah Bandung. Saya nggak pemah mengerti mengapa mereka berhasil memasuki Bandung. Padahal medannya lebih berat ketimbang Jawa Timur. Untuk mencapai Bandung kan harus melalui daerah bergunung-gunung. Mengapa pasukan kita tidak menggugurkan gunung-gunung itu untuk menghambat Sekutu? Atau menghancurkan jembatan-jembatan besar yang curam itu.
Juni
1946 terjadi reorganisasi di jajaran tentara. Saya ditunjuk menjadi
Panglima Divisi V (1 Juni 1946 - 1 Maret 1948). Wilayah teritorial saya
meliputi Bojonegoro, Pati, dan Muncung. Divisi V disebut juga dengan
Divisi Ronggolawe, ini nama seorang senopati Majapahit yang berhasil
menangkal ekspedisi tentara Kubilai Khan. Anggota pasukan saya antara
lain Sudharmono (sekarang wakil presiden) dan Ismail Saleh (menteri
kehakiman).
Mula-mula markas saya berada di Mantingan, persis di tengah hutan jati. Di masa itulah, dan di hutan jati pula, saya mengawini Raden Ayu Suharsi, tepatnya pada tahun 1947. Aneh juga, Wong, manten anyar (pengantin baru), kok di tengah hutan. Kelak, kami dikaruniai tiga orang anak dan lima cucu. Aksi polisionil Belanda I pecah tahun 1947.
Waktu itu saya sudah Panglima Divisi V Ronggolawe. Perlawanan rakyat berkecamuk di Jawa Timur. Dulu saya khawatir Belanda menyerang saya. Ternyata mereka tidak terlalu peduli pada hutan jati yang menyebar luas dari sebelah timur Bojonegoro sampai Kedung Jati, dan ke sebelah selatan hingga Ngawi. Kami tidak berdiam diri. Saya mengerahkan pasukan ke sektor Gresik-Lamongan. Dalam suasana seperti itu ternyata banyak perwira dan taruna kita yang rewel. Ada yang maju-mundur untuk turun ke medan pertempuran.
"Kita harus ikut bertempur," begitu saya tegaskan kepada perwira-perwira dan taruna-taruna itu. Mereka berkata, "Kalau gugur bagaimana?" Saya jawab, "Lho, perang kok tanya kalau gugur. Kalau prajurit- prajurit biasa boleh gugur, apa kamu tak boleh gugur? ini pelajaran, guru perang terbaik adalah perang itu sendiri. Sekarang ada kesempatan untuk perang, ada musuh di depan mata. Cari musuh itu susah, mahal". Agustus 1947 saya memindahkan markas ke Cepu tempat minyak. Situasinya sudah berubah. Pertempuran dengan Belanda mereda.
Mula-mula markas saya berada di Mantingan, persis di tengah hutan jati. Di masa itulah, dan di hutan jati pula, saya mengawini Raden Ayu Suharsi, tepatnya pada tahun 1947. Aneh juga, Wong, manten anyar (pengantin baru), kok di tengah hutan. Kelak, kami dikaruniai tiga orang anak dan lima cucu. Aksi polisionil Belanda I pecah tahun 1947.
Waktu itu saya sudah Panglima Divisi V Ronggolawe. Perlawanan rakyat berkecamuk di Jawa Timur. Dulu saya khawatir Belanda menyerang saya. Ternyata mereka tidak terlalu peduli pada hutan jati yang menyebar luas dari sebelah timur Bojonegoro sampai Kedung Jati, dan ke sebelah selatan hingga Ngawi. Kami tidak berdiam diri. Saya mengerahkan pasukan ke sektor Gresik-Lamongan. Dalam suasana seperti itu ternyata banyak perwira dan taruna kita yang rewel. Ada yang maju-mundur untuk turun ke medan pertempuran.
"Kita harus ikut bertempur," begitu saya tegaskan kepada perwira-perwira dan taruna-taruna itu. Mereka berkata, "Kalau gugur bagaimana?" Saya jawab, "Lho, perang kok tanya kalau gugur. Kalau prajurit- prajurit biasa boleh gugur, apa kamu tak boleh gugur? ini pelajaran, guru perang terbaik adalah perang itu sendiri. Sekarang ada kesempatan untuk perang, ada musuh di depan mata. Cari musuh itu susah, mahal". Agustus 1947 saya memindahkan markas ke Cepu tempat minyak. Situasinya sudah berubah. Pertempuran dengan Belanda mereda.
☆ MENJADI JEMBATAN PIKIRAN
TAHUN 1948
Pemerintah Republik memanggil saya ke Yogya. Waktu itu sudah Kabinet Hatta, menggantikan Kabinet Syahrir. Sejak saat itu saya semakin dekat dengan Bung Kamo. Saya berkenalan dengan beliau pada tahun 1947, ketika Panglima Besar Soedirman mengajak saya menghadiri sidang-sidang Dewan Siasat Militer, lembaga yang dipimpin langsung oleh Bung Kamo. Di situ ternyata saya cukup diperlukan. Terus terang saja, di antara kawan-kawan militer yang lancar berbahasa Inggris dan Belanda kan saya. Pak Dirman sendiri mengenal Bung Kamo baru setelah Pak Dirman menjadi Panglima Besar, Iho. Nah, untuk menghadapi orang-orang pintar, seperti Bung Hatta, Syahrir, Bung Kamo, dan menteri-menteri, Pak Dirman membawa saya. Mungkin karena beliau merasa sebagai orang desa, guru sekolah Muharnmadiyah, yang agak sulit memahami cara berpikir tokoh-tokoh brilyan di kabinet. Saya sendiri mengakui bahwa Bung Kamo, Bung Hatta, dan lain-lain adalah orang hebat yang berpikir secara modern dan pernah belajar di mana-mana. Sebaliknya, banyak anggota kabinet yang tidak memahami jalan pikiran Pak Dirman, Gatot Subroto, dan para pemimpin militer yang umumnya dari desa. Itu sebabnya saya juga dipercayai oleh anggota kabinet dan pemimpin-pemimpin militer untuk menjembatani mereka. Sekali waktu, seusai sidang Dewan Siasat Militer, Bung Kamo bilang pada saya, "Lain kali jangan mengajak Gatot Subroto." Saya tanya kenapa. "Aku ndak mengerti pikirannya," jawab Bung Karno. Lha, Gatot itu blak-blakan. Dia pernah bilang, "Aku iki wong bodo. Sekolah dasar wae ora rampung." (Aku ini orang bodoh. Sekolah Dasar saja tidak selesai.) Memang komandan-komandan resimen umumnya dari desa. Ada guru Taman Siswa, guru Muhammadiyah, ada kiai, dan sebagainya.
Kolanel
Sungkono (sebelum Rekapitulasi berpangkat Mayor Jenderal, lalu
diturunkan menjadi Kolonel), Panglima Divisi VI Jawa Timur,
pendidikannya cuma sampai sekolah dasar. Tapi harus dicatat, di kalangan
rakyat yang didengar justru orang-orang militer ini. Pak Sungkono,
Gatot Subroto, Pak Dirman, misalnya. Makanya sering saya katakan PETA
adalah satria bambangan--satria dari desa. Seumpama mereka bukan dari
desa, kami tak akan mendapat dukungan orang desa. Mereka mendukung
karena anak-anak mereka menjadi prajurit kami. Rakyat pula yang
menyediakan logistik untuk tentara.
Dalam
Dewan Siasat Militer sering dibicarakan kemungkinan Belanda menyerang
kembali. Dan kami yakin itu akan terjadi. Kami pun bersiap-siap dan
berbagai alternatif sudah dipikirkan. Misalnya, ada rencana Bung Kamo
dan Bung Hatta akan diungsikan luar negeri bila Belanda menyerang.
Alternatif lain, para pemimpin negara, termasuk Bung Karno dan Bung
Hatta, akan ikut bergerilya bersama-sama militer dan rakyat. Dewan juga
telah merencanakan untuk membentuk Pemerintahan Darurat Republik
Indonesia (PDRI), untuk membuktikan pada dunia bahwa Pemerintah Republik
yang sah masih ada. Di samping itu diputuskan pula untuk membentuk
wadah setiap angkatan, termasuk angkatan darat. Nah, Bung Karno
mengusulkan agar kepala staf angkatan adalah orang yang mengenal lawan
dan kawan. Kebetulan saya dianggap memenuhi syarat menduduki jabatan
kepala staf angkatan darat (KSAD) yang pertama (1 Maret 1948 -1 Mei
1950).
Belanda
akhirnya benar-benar menyerang Yogyakarta, 19 Desember 1948. Hari itu
juga Dewan Siasat Militer bersidang. Bung Karno, Bung Hatta, dan
sejumlah anggota kabinet lainnya tetap tinggal di istana. Diputuskan
juga untuk membentuk PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia) di
Bukittinggi dan sebagian lagi di Aceh. Teman-teman PDRI yang masih hidup
antara lain Jenderal Hidayat, Jenderal Askari. Semula di Jawa juga ada
anggota Kabinet PDRI, misalnya, Menteri Soepeno yang kemudian gugur. Di
New Delhi, India, juga dibentuk wakil Pemerintah di luar negeri. Mengapa
Bung Karno dan anggota kabinet tidak lari ke luar negeri atau ikut
bergerilya? Bila mereka ke luar negeri, Belanda tentu punya alasan untuk
menyatakan Republik sudah tenggelam, dan menyatakan perlawanan rakyat
Indonesia adalah tindakan kriminal. Kalau mere ka ikut bergerilya, siapa
yang bisa menjamin keselamatan mereka? Belanda tentu akan berusaha
membunuh mereka, sedangkan kemampuan pasukan kita belum cukup tangguh.
Dengan adanya PDRI dan wakil pemerintah Republik di luar negeri,
ekslstensi negara Indonesia tetap ada. Dan ketika Bung Karno dan Bung
Hatta ditangkap Belanda, mereka hanyalah warga negara Indonesia biasa.
Dengan
demikian Belanda tidak bisa menyatakan Republik telah tenggelam karena
kita masih memiliki Pemerintah Darurat. Hampir seluruh anggota kabinet
hadir daiam sidang Dewan Siasat Militer itu Tapi, sepengetahuan saya
tidak ada yang dari TNI. Meskipun Panglima Besar Soedirman, T.B.
Simatupang, Suryadharma, ada di istana waktu itu. Waktu itu A.H.
Nasution berada di jawa Timur. Lapangan Terbang Maguwo (sekarang
Adisucipto) sudah jatuh ke tangan Belanda. Saya tidak tahu mengapa
Nasution tidak memasuki kota (Yogyakarta), melainkan ke Batu Ceper.
Padahal jarak antara Yogya dan Batu Ceper paling-paling cuma 40
kilometer. Bisa saja ditempuh dengan 12 jam jalan kaki. Waktu itu,
sebagai KSAD, saya berkantor di kantor Menteri Pengairan, di selatan
Maguwo. Selain sebagai KSAD waktu itu saya juga bertanggung jawab atas
keselamatan para taruna. Jumlahnya tak banyak, kira-kira 150 orang.
Mereka ini adalah calon perwira pengganti.
Saya juga tidak hadir dalam sidang Dewan Siasat Militer itu. Latif Hendraningrat, Panglima Komando Militer Yogyakarta Kota, dua kali menelepon saya. Dia bilang, "Kau dipanggil Bung Kamo ke istana." Saya jawab, "Sidang Kabinet toh akan jalan tanpa saya. Kalau saya pergi dari sini, para taruna ini akan buyar." Saya juga titip pesan kepada Latief agar disampaikan kepada Bung Karno, "Kalau sampai pemerintah dan kepala negara ke luar negeri, kita bisa dinyatakan tenggelam." Mengapa saya tidak ke istana dan memilih bertahan di markas? Perhitungan saya, kalau saya pergi ke Istana, para taruna akan buyar Asrama itu terletak tidak jauh dari marka Brigade Soeharto.
Saya juga tidak hadir dalam sidang Dewan Siasat Militer itu. Latif Hendraningrat, Panglima Komando Militer Yogyakarta Kota, dua kali menelepon saya. Dia bilang, "Kau dipanggil Bung Kamo ke istana." Saya jawab, "Sidang Kabinet toh akan jalan tanpa saya. Kalau saya pergi dari sini, para taruna ini akan buyar." Saya juga titip pesan kepada Latief agar disampaikan kepada Bung Karno, "Kalau sampai pemerintah dan kepala negara ke luar negeri, kita bisa dinyatakan tenggelam." Mengapa saya tidak ke istana dan memilih bertahan di markas? Perhitungan saya, kalau saya pergi ke Istana, para taruna akan buyar Asrama itu terletak tidak jauh dari marka Brigade Soeharto.
Sebelum
19 Desember saya sudah melihat gelagat bahwa Belanda akan menyerang.
Saya bilang kepada para taruna, "Sekarang kita ke luar kota, menghadang
Belanda di Semaki." Ketika itulah Pak Harto datang. Dia menanyakan
langkah-langkah apa yang harus diambil.
Saya tanya, pasukannya di mana? Menurut perintah Panglima Besar Soedirman, pasukan Brigade Soeharto ditempatkan di sepanjang jalan antara Karanganyar (Bagelen) dan Wates (Yogyakarta). Jadi di dalam kota hnya ada salu kompi. Satu peleton di Maguwo, dua peleton di sebelah barat. Saya bilang kepada Pak Harto, "Saya mau menghadang Belanda di Semaki." Sesampai di Semaki, saya bertemu dengan satu regu CPM. Saya bertanya kepada mereka, "Mana batalyon yang mestinya di sini?" Mereka menjawab, "Sudah berangkat tadi malam." Seluruh pasukan Siliwangi yang berada di Semaki (satu balyon) dan di Jembatan Gajah Wong (dua batalyon) sudah pergi.
Saya tanya, pasukannya di mana? Menurut perintah Panglima Besar Soedirman, pasukan Brigade Soeharto ditempatkan di sepanjang jalan antara Karanganyar (Bagelen) dan Wates (Yogyakarta). Jadi di dalam kota hnya ada salu kompi. Satu peleton di Maguwo, dua peleton di sebelah barat. Saya bilang kepada Pak Harto, "Saya mau menghadang Belanda di Semaki." Sesampai di Semaki, saya bertemu dengan satu regu CPM. Saya bertanya kepada mereka, "Mana batalyon yang mestinya di sini?" Mereka menjawab, "Sudah berangkat tadi malam." Seluruh pasukan Siliwangi yang berada di Semaki (satu balyon) dan di Jembatan Gajah Wong (dua batalyon) sudah pergi.
Praktis
Yogyakarta kosong. Yang tinggal hanya satu kompi Brigade Soeharto, dua
kompi taruna di bawah tanggung jawab saya, dan sejumlah lasykar.
Praktis, sewaktu memasuki Yogyakarta, Belanda tidak memperoleh
perlawanan. Seandainya pasukan Siliwangi tidak pergi, keadaannya mungkin
akan lain. Mungkin bisa ramai. Selesai berperang, saya katakan kepada
mantan Kepala Staf Divisi Belanda di Jawa Tengah. "You hebat betul." Dia
menjawab dengan agak heran, "Sebetulnya kami menurunkan satu atau dua
kompi pasukan payung hanya untuk mengacau saja. Kami sudah perhitungkarn
mereka akan habis. Tapi ketika kami mendarat kok tidak ada perlawanan?"
Teryata pesawat Belanda sedikit. Lha, wong yang menerjunkan pasukan
payung itu hanya tiga pesawat Dakota DC-2 yang diterbangkan dari Andir,
Bandung. Sesuai menerjunkan pasukan di Yogya, pesawat-pesawat ini pula
yang diperintahkan ke Semarang untuk mengangkut batalyon cadangan ke
Maguwo. Dan tiba di Yogya 20 Desember, sehari setelah awal penyerbuan.
Belanda juga melancarkan serangan melalui darat. Belanda masuk ke
Yogyakarta kan menyusup melalui Boyolali, daerahnya Slamet Riyadi.
Slamet-lah yang bertugas menahan Belanda di daerah itu. Namun,
pertahanan Slamet bobol. Maklum, pasukan Slamet paling-paling cuma satu
batalyon sedangkan Belanda dua batalyon. Belanda kemudian menyerbu
Kaliurang, ke markas Komisi Tiga Negara (KTN), tidak langsung ke kota
(Yogyakarta).
Memang
sasaran Belanda adalah Kaliurang, untuk mengisolasi tim KTN (Komisi
Tiga Negara) yang ditugaskan oleh PBB. Setelah perjanjian Renville, PBB
memang sudah mengambil alih penanganan atas konflik Indonesia-
Belanda--hal yang belum dilakukan setelah Perjanjian Linggarjati. Dengan
isolasi tersebut KTN tidak bisa berhubungan dengan Dewan Keamanan PBB
utuk melaporkan tindakan Belanda yang menyerang Yogyakarta tanpa restu
PBB. Posisi saya tidak diserang, karena Belanda memang tidak punya
pasukan. Baru setelah saya pindah ke utara, Belanda sering mengadakan
patroli, tapi tidak berhasil menduduki markas. Sekali-sekali terjadi
pertempuran kecil-kecilan Menjelang KMB, Konperensi Meja Bundar, saya
masih bolak-balik Jakarta-Yogya. Saya menjadi anggota Gencatan Senjata
Pusat di Jakarta, khusus di bidang militer. Ketuanya Pak Wongsonegoro.
PERISTIWA
17 OKTOBER TAHUN 1950 berlaku Undang-Undang Dasar Republik Indonesia
Serikat (UUD RIS) yang bersifat liberal demokratis. RIS memang telah
dibubarkan pada Agustus 1950. Tetapi UUD-nya tetap jalan. Baru kemudian
diganti dengan UUD Sementara yang juga liberal demokratis. Ya, dengan
segala hommat pada rekan-rekan politisi, waktu itu usia kabinet
rata-rata hanya 18 bulan. Bagaimana mereka sempat memikirkan program
kerja dan pembangunan. Banyak menteri yang tidak tahu harus melakukan
apa. Kekuasaan formal memang di tangan kabinet. Tetapi nyatanya yang
didengar hanya Bung Karno.
Rakyat jadi tidak tahu di mana letak kekuasaan itu sebenarnya. Pernah sekali waktu terjadi peristiwa lucu yang sebenarnya sangat serius. Partai-partai politik tidak bisa membentuk kabinet. Akhirnya Bung Kamo mengeluarkan Surat Keputusan yang bunyinya begini "Presiden Republik Indonesia, Sukarno. Dengan ini menunjuk warga negara Indonesia Sukarno untuk membentuk kabinet." Sekarang kita boleh tertawa. Tetapi dulu itu masaiah serius. Lalu pemimpin-pemimpin partai politik dikumpulkan di istana. Saya lupa, di Istana Bogor atau istana Merdeka. "Sudah, sekarang bentuk kabinet," kata Bung Kamo. "Nanti dulu, Bung. Kami perlu bicara dengan pimpinan partai lainnya," jawab orang-orang partai. "Lho, katanya kamu itu pemimpin rakyat. Kok, begini saja mesti mengadakan pembicaraan dulu. Boleh. Silakan," Bung Kamo menyahut. Mereka angkat telepon. Padahal semua telepon sudah diputus. Akhimya terbentuk kabinet Ali Sastroamidjojo (PNI), minus Masyumi. Sesudah itu keluar lagi Surat Keputusan Soekamo.
"Dengan Ini warga negara Soekarno menyerahkan kembali tugasnya kepada Presiden Republik Indonesia Soekarno." Coba, coba, bayangkan. Kacau. Dalam setting kekacauan kabinet itulah peristiwa 17 Oktober 1952 terjadi. Saya memang aktif dalam gerakan tersebut. Ketika itu saya perwira tinggi di Kementerian Pertahanan. Jabatan saya Kepala Biro Perancang Operasi merangkap Kepaia Biro Pendidikan Pusat (1 Juii 1950--1 November 1952). Sayalah yang mula-mula mengambil inisiatif mengumpulkan para pimpinan TNI (AU, AD, AL) di aula Hankam sekarang. Saya bilang, "Mbok ya sekarang kita kembali saja ke UUD 1945. At least kita bisa tahu siapa yang harus bertanggung jawab atas kekuasaan yang ada menurut UUD 1945 itu. Sebab, kenyataannya, rakyat hanya mendengar Bung Kamo, Presiden. Padahal ada Perdana Menteri selaku pemegang kekuasaan pemerintahan." Tidak tercapai konsensus dalam pertemuan itu. Entah bagaimana ceritanya, apa yang telah saya mulai itu dioper oleh Markas Besar Angkatan Darat, yang KSAD-nya waktu itu A.H. Nasution. Sementara itu, suara-suara dari kaum politisi tentu saja menentang. Mereka tetap menginginkan liberalisme. Tapi bagaimana kita bisa membangun kalau sebentar-sebentar kabinet diganti? Bagaimana membicarakan kembalinya Irian Barat kaiau setiap 18 bulan ada kabinet baru? Hubungan miiiter dengan sipil memang tak enak. Kami begitu mendongkol pada oknum-oknum partai. Mau tidak mau, peristiwa lama diungkit pula: waktu perang gerilya kaiian di mana? Ketika itu tidak ada orang-orang partai yang turun ke tengah rakyat, membantu gerilya. Yang pemah saya jumpai cuma Jaksa Agung Kasman Singodimedjo. Beliau dua kali berjalan dari Jawa Barat ke Jawa Timur, bolak-balik. Maklum, beliau itu kan bekas PETA. Jadi, tidak takut. Politisi lainnya? tidak ada. Jangankan membantu, memberi semangat kepada rakyat saja tidak. Pada hari kejadian (17 Oktober) saya baru minum kopi bersama sejumlah perwira senior, seperti T.B. Simatupang, Dan Yahya, dan lain-lain di Kementerian Pertahanan. Di luar terdengar ramai-ramai demonstrasi. Tak lama kemudian kami mendapat telepon dari Istana, disuruh datang. Dalam perjalanan ke Istana, saya melihat meriam, tank, panser nongkrong di kantor telepon dekat Istana. Sampai di Istana, ternyata sudah ada KASAD Nasution dan perwira-perwira senior lainnya. Bung Kamo dan Bung Hatta juga sudah ada. Saya dan T.B. Simatupang bergabung. Di situlah perwira-perwira TNI mengusuikan untuk kembali ke UUD 1945 dan agar parlemen dibubarkan dalam waktu dekat ini. Ada kejadian lucu lagi.
Sesudah usul TNI disampaikan, kami omong-omong santai. Kawilarang mau merokok. Dia berada di sebelah saya. Saya sederet dengan Askari dan Kawilarang. Asbak ada di depan saya. Saya berikan kepada Askari supaya diteruskan kepada Kawilarang. Waktu dipegang Askari, mrucut, jatuh ke lantai dan pecah, derr. Wartawan-wartawan di luar mengira ada apa-apa. Mereka pikir keadaan di dalam tegang betul. Padahal cuma asbak jatuh. Ada anggapan kekacauan itu disebabkan karena Partai Sosialis Indonesia (PSI) ke tubuh TNI.
Sebenarnya tidak begitu. Yang menjadi Sekretaris Jenderal Pertahanan waktu itu adalah Ali Budiardjo. Dia itu PSI. Simatupang juga dituduh PSI karena istrinya adalah adik Ali Budiardjo. Tapi, sepengetahuan saya, tidak. Simatupang memang banyak didengar oleh orang-orang PSI karena dia memang brilyan. Tapi keliru kalauu dia disebut sebagai PSI. Nasution juga bukan. Waktu itu dia sudah tidak punya kekuatan apa-apa. Orang-orang partai menghendaki dibentuknya tentara profesional meniru Barat. Sebagian kecil perwira militer pun berpikir begitu. Haa, mungkin ini yang dimaksud adanya orang partai yang menyusup ke militer. Tapi sebagian besar TNI menolak. Karena kalau kami meniru Barat berarti mengkhianati rakyat. Sebab, sejarah TNI tidak terlepas dari peranan rakyat.
Rakyat-lah yang membantu dalam perang gerilya. Militer-lah yang didengar rakyat ketika para politisi tidak bisa menjalankan pemerintahan. TNI bukan hanya sekadar alat politisi sipil Apalagi kalau sipilnya semau gue. Cekcok terus. Sampa akhimya konflik di mana-mana. Kalau nasi sudah jadi bubur, militer yang disuruh menyelesaikan. Lihat peristiwa DI-TII, PRRI-Permesta. Militer disuruh menembak bangsa sendiri. Siapa yang senang menembaki bangsa sendiri? Mereka sebagai politisi, enak. Kalau sudah tidah bisa menyelesaikan masalah bisa mundur. Lha, militer? Masa, tentara dibubarkan? Kan tak mungkin.
Rakyat jadi tidak tahu di mana letak kekuasaan itu sebenarnya. Pernah sekali waktu terjadi peristiwa lucu yang sebenarnya sangat serius. Partai-partai politik tidak bisa membentuk kabinet. Akhirnya Bung Kamo mengeluarkan Surat Keputusan yang bunyinya begini "Presiden Republik Indonesia, Sukarno. Dengan ini menunjuk warga negara Indonesia Sukarno untuk membentuk kabinet." Sekarang kita boleh tertawa. Tetapi dulu itu masaiah serius. Lalu pemimpin-pemimpin partai politik dikumpulkan di istana. Saya lupa, di Istana Bogor atau istana Merdeka. "Sudah, sekarang bentuk kabinet," kata Bung Kamo. "Nanti dulu, Bung. Kami perlu bicara dengan pimpinan partai lainnya," jawab orang-orang partai. "Lho, katanya kamu itu pemimpin rakyat. Kok, begini saja mesti mengadakan pembicaraan dulu. Boleh. Silakan," Bung Kamo menyahut. Mereka angkat telepon. Padahal semua telepon sudah diputus. Akhimya terbentuk kabinet Ali Sastroamidjojo (PNI), minus Masyumi. Sesudah itu keluar lagi Surat Keputusan Soekamo.
"Dengan Ini warga negara Soekarno menyerahkan kembali tugasnya kepada Presiden Republik Indonesia Soekarno." Coba, coba, bayangkan. Kacau. Dalam setting kekacauan kabinet itulah peristiwa 17 Oktober 1952 terjadi. Saya memang aktif dalam gerakan tersebut. Ketika itu saya perwira tinggi di Kementerian Pertahanan. Jabatan saya Kepala Biro Perancang Operasi merangkap Kepaia Biro Pendidikan Pusat (1 Juii 1950--1 November 1952). Sayalah yang mula-mula mengambil inisiatif mengumpulkan para pimpinan TNI (AU, AD, AL) di aula Hankam sekarang. Saya bilang, "Mbok ya sekarang kita kembali saja ke UUD 1945. At least kita bisa tahu siapa yang harus bertanggung jawab atas kekuasaan yang ada menurut UUD 1945 itu. Sebab, kenyataannya, rakyat hanya mendengar Bung Kamo, Presiden. Padahal ada Perdana Menteri selaku pemegang kekuasaan pemerintahan." Tidak tercapai konsensus dalam pertemuan itu. Entah bagaimana ceritanya, apa yang telah saya mulai itu dioper oleh Markas Besar Angkatan Darat, yang KSAD-nya waktu itu A.H. Nasution. Sementara itu, suara-suara dari kaum politisi tentu saja menentang. Mereka tetap menginginkan liberalisme. Tapi bagaimana kita bisa membangun kalau sebentar-sebentar kabinet diganti? Bagaimana membicarakan kembalinya Irian Barat kaiau setiap 18 bulan ada kabinet baru? Hubungan miiiter dengan sipil memang tak enak. Kami begitu mendongkol pada oknum-oknum partai. Mau tidak mau, peristiwa lama diungkit pula: waktu perang gerilya kaiian di mana? Ketika itu tidak ada orang-orang partai yang turun ke tengah rakyat, membantu gerilya. Yang pemah saya jumpai cuma Jaksa Agung Kasman Singodimedjo. Beliau dua kali berjalan dari Jawa Barat ke Jawa Timur, bolak-balik. Maklum, beliau itu kan bekas PETA. Jadi, tidak takut. Politisi lainnya? tidak ada. Jangankan membantu, memberi semangat kepada rakyat saja tidak. Pada hari kejadian (17 Oktober) saya baru minum kopi bersama sejumlah perwira senior, seperti T.B. Simatupang, Dan Yahya, dan lain-lain di Kementerian Pertahanan. Di luar terdengar ramai-ramai demonstrasi. Tak lama kemudian kami mendapat telepon dari Istana, disuruh datang. Dalam perjalanan ke Istana, saya melihat meriam, tank, panser nongkrong di kantor telepon dekat Istana. Sampai di Istana, ternyata sudah ada KASAD Nasution dan perwira-perwira senior lainnya. Bung Kamo dan Bung Hatta juga sudah ada. Saya dan T.B. Simatupang bergabung. Di situlah perwira-perwira TNI mengusuikan untuk kembali ke UUD 1945 dan agar parlemen dibubarkan dalam waktu dekat ini. Ada kejadian lucu lagi.
Sesudah usul TNI disampaikan, kami omong-omong santai. Kawilarang mau merokok. Dia berada di sebelah saya. Saya sederet dengan Askari dan Kawilarang. Asbak ada di depan saya. Saya berikan kepada Askari supaya diteruskan kepada Kawilarang. Waktu dipegang Askari, mrucut, jatuh ke lantai dan pecah, derr. Wartawan-wartawan di luar mengira ada apa-apa. Mereka pikir keadaan di dalam tegang betul. Padahal cuma asbak jatuh. Ada anggapan kekacauan itu disebabkan karena Partai Sosialis Indonesia (PSI) ke tubuh TNI.
Sebenarnya tidak begitu. Yang menjadi Sekretaris Jenderal Pertahanan waktu itu adalah Ali Budiardjo. Dia itu PSI. Simatupang juga dituduh PSI karena istrinya adalah adik Ali Budiardjo. Tapi, sepengetahuan saya, tidak. Simatupang memang banyak didengar oleh orang-orang PSI karena dia memang brilyan. Tapi keliru kalauu dia disebut sebagai PSI. Nasution juga bukan. Waktu itu dia sudah tidak punya kekuatan apa-apa. Orang-orang partai menghendaki dibentuknya tentara profesional meniru Barat. Sebagian kecil perwira militer pun berpikir begitu. Haa, mungkin ini yang dimaksud adanya orang partai yang menyusup ke militer. Tapi sebagian besar TNI menolak. Karena kalau kami meniru Barat berarti mengkhianati rakyat. Sebab, sejarah TNI tidak terlepas dari peranan rakyat.
Rakyat-lah yang membantu dalam perang gerilya. Militer-lah yang didengar rakyat ketika para politisi tidak bisa menjalankan pemerintahan. TNI bukan hanya sekadar alat politisi sipil Apalagi kalau sipilnya semau gue. Cekcok terus. Sampa akhimya konflik di mana-mana. Kalau nasi sudah jadi bubur, militer yang disuruh menyelesaikan. Lihat peristiwa DI-TII, PRRI-Permesta. Militer disuruh menembak bangsa sendiri. Siapa yang senang menembaki bangsa sendiri? Mereka sebagai politisi, enak. Kalau sudah tidah bisa menyelesaikan masalah bisa mundur. Lha, militer? Masa, tentara dibubarkan? Kan tak mungkin.
Sesudah
peristiwa 17 Oktober itu Nasution diberhentikan sebagai KSAD,
digantikan oleh Bambang Sugeng. Gatot Subroto (wakil Kasad) juga
dicopot. Saya sendiri disuruh ke Amerika, ke Port Levenberg. Saya
bilang, saya tidak mau. Sebab, Levenberg itu jatah untuk Panglima
Divisi. Saya ini bekas Kasad. Akhirnya, saya disuruh ke Bandung, menjadi
Komandan Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (SSKAD, sekarang
Seskoad), menggantikan Mokoginta. Di situ saya menjabat sejak 1 November
1952 sampai 13 Februari 1955. Sedangkan yang disuruh ke Levenberg
adalah Mokoginta. Dia paling aktif menyiapkan peristiwa 17 Oktober itu.
Gatot Subroto pulang ke Ungaran. Saya disebut-sebut sebagai calon
pengganti Nasution sebagai Kasad. Kalau itu benar, saya nggak akan mau.
"Wong Jowo iku ora ilok mbaleni sego wadang." (Tidak pantas bagi orang
Jawa memakan kembali nasi basi). Dulu saya pernah Kasad. Lagi pula saya
ini termasuk biang keladi 17 Oktober. Mana mungkin Bung Karno memilih
saya. Kemudian saya menjadi Direktur Zeni Angkatan Darat (29 Februari
1955-24 Juni 1958). Di dalam pasukan Zeni itu ada Try Soetrisno (Pangab
sekarang) dan 51 orang yang memiliki kemampuan rata-rata sama. Misalnya,
Dirjen Imigrasi sekarang, Rony Sikap Sinuraya. Beberapa di antara
mereka ada yang menjadi gubernur. Semasa menjadi Direktur Zeni saya
pernah membantu Panglima Jamin Ginting menyelesaikan PRRI/Permesta. Saya
ada di Sumatera kira-kira lima bulan. Saya berusaha agar konflik
tersebut dapat diselesaikan tanpa meninggaikan rasa sakit hati. Boleh
dikatakan saya bertindak sebagai penengah antara pihak Jamin Ginting
(pemerintah) dan Kolonel Simbolon (PRRI). Saya bilang kepada orang PRRI,
"Kalau memang Pemerintah tidak becus melaksanakan pembangunan, dengan
cara kalian ini pelaksanaan pembangunan akan lebih jauh lagi." Saya juga
ingin menunjukkan kepada dunia luar bahwa PRRI adalah persoalan dalam
negeri yang bisa diselesaikan dengan baik.
Negara lain tak usah campur tangan. Anda tahu kan, AS ketika itu diduga terlibat membantu PRRI.
Negara lain tak usah campur tangan. Anda tahu kan, AS ketika itu diduga terlibat membantu PRRI.
☆ KONFRONTRASI
INDONESIA-MALAYSIA
BUNG Karno menunjuk saya sebagai duta besar luar biasa dan berkuasa penuh di Malaya (1 Juni 1963--25 Agustus 1963). Jadi sebelum sempat terbentuk Malaysia, saya sudah ditarik pulang. Saya ini bangsawan, orang keraton. Bung Karno tahu yang paling berkuasa di Maldya juga keluarga bangsawan. Suatu malam diadakan pertunjukan kesenian Indonesia.
Saya dipersilakan duduk di kursi yang biasanya dipakai oleh Yang Dipertuan Agung, kepala negara Malaya. Kawan-kawan duta besar dari negara sahabat mengomel, "Mengapa you, Duta Besar Indonesia, duduk di tempat yang cuma diperuntukkan Yang Dipertuan Agung?" Sambil bergurau saya menjawab, "Begini. Rakyat Malaya itu separuh kepunyaan Yang Dipertuan Agung, separuh lagi kepunyaan saya. Soalnya, Yang Dipertuan Agung itu keturunan Bugis." Orang sering tidak tahu apa yang dihasilKan oleh Kabinet Dwikora.
Ketika itu saya ikut menyusun Deklarasi Malaya, Filipina, Indonesia (Maphilindo)-suatu kawasan damai di Asia Tenggara. Indonesia dan Malaya mengakui Mindanao sebagai bagian integral dari Filipina. Tetapi Indonesia dan Malaya minta otonomi yang seluas-luasnya untuk wilayah itu. Yang penting lagi adalah Malaya, Filipina, Indonesia tidak akan menerima pangkalan asing. Apabila masih ada pangkalan asing di kawasan ini, sifatnya hanya sementara. Pangkalan asing itu juga tidak boleh dipakai untuk melancarkan subversib ke negara tetangganya. Ternyata Malaya merasa keberatan melaksanakannya. Tentara Inggris masih berada di negara itu. Bung Karno tidak suka. Inilah yang mempertajam konfrontasi. Maklum, selain sedang dilanda gelombang anti-Barat, kita masih mencurigai Inggris. Bung Karno menghendaki agar pemerintah Malaya tidak memberi izin kepada Inggris membangun pangkalannya di sana. Tetapi pemerintah Malaya mempertahankannya. Kata Pemerintah Malaya, "Apa sih Indonesia maunya? Kalau Inggris keluar dari sini, saya harus menghadapi kaum komunis Cina. Indonesia enak. Kaum komunisnya orang Indonesia sendiri." Bung Karno tidak menerima alasan tersebut.
Hubungan Indonesia-Malaya pun semakin runcing. Saya dipanggil pulang dan didudukkan menjadi Penasihat Presiden untuk urusan konfrontasi. Praktis, saya menjadi Dubes di Malaya hanya kira-kira 100 hari. Sebagai penasihat, saya mencoba menyadarkan Bung Karno bahwa desakannya--agar Malaya mengusir Inggris--momentumnya tidak tepat. Kalau dipaksakan justru akan menyulitkan Malaya karena persoalan komunis Cina itu. Di tengah suasana runcing itu datang Jaksa Agung Amerika Bob Kennedy, adik Presiden Amerika Robert Kennedy. Bob menyarankan agar Bung Karno membubarkan Dwikora dan mengadakan gencatan senjata. Bung Karno segera mengadakan sidang, dihadiri para menteri Kabinet Dwikora, membahas saran Bob itu. Saya juga hadir. "Bagaimana pendapat saudara-saudara?" kata Bung Karno. Saya memberikan pendapat: "Katanya kita ini tidak perang dengan Malaya. Mengapa sekarang kita akan mengadakan cease-fire? Artinya, kita mengakui perang dengan Malaya?" Bung Karno menggebrak meja. Brak! Pokoknya, saya perintahkan cease-fire (gencatan senjata).
Menjelang meletusnya G30S-PKI, Bung Karno memang sudah menunjukkan sikap yang cenderung keras, ingin selalu didengar. Fisiknya sudah tidak baik. Sepuluh hari setelah peristiwa G30S-PKI, saya berangkat ke Kerajaan Maroko sebagai duta besar luar biasa dan berkuasa penuh. Saya tidak tahu persis kejadian-kejadian yang berkaitan dengan G30S-PKI. Selama di Maroko saya tidak banyak tahu perkembangan Indonesia. Rakyat Maroko, sepengetahuan saya, tidak mengikuti perkembangan terakhir di Indonesia. Mereka tidak mengikuti peristiwa G30S-PKI dan pergantian kehasaan yang terjadi--saya tidak mau mengatakan Bung Karno jatuh atau dijatuhkan. Walaupun di sana ada taman yang bernama Sukamo. Jadi sebenamya negeri kita dikenal di sana. Sebab, ketika Maroko baru saja merdeka, yang membiayai perjuangannya di PBB adalah Indonesia. Saya hanya setahun di Maroko - Duta Besar. Kemudian pindah ke Prancis - Duta Besar RI berkuasa penuh untuk Prancis merangkap Duta Besar RI berkuasa penuh untuk Kerajaan Spanyol, merangkap Kepala Perwakilan tetap RI pada markas besar United Nation Educational, Scentific, and Cultural Organization (UNESCO) di Paris. Tugas Duta Besar waktu itu sangat berat, karena negara baru dilanda krisis politik. Peralihan kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru. Dari Presiden Soekarno kepada Presiden Suharto.
Selanjutnya,
sebagai purnawirawan, saya menjadi anggota Penqurus Besar Persatuan
Pumawirawan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Pepabri) dari 1970-
978. Lalu, dari 1978-1983 menjadi Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Agung.
Zaman Bisnis BERSAMAAN waktunya ketika saya diangkat menjadi anggota
DPA, Pak Harto meminta saya untuk duduk di Tim P-7, sampai sekarang.
Siapa bilang tim ini tidak penting? Tim Penasihat Presiden mengenai
Pelaksanaan Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Tim P-7) adalah
satu-satunya lembaga yang bisa omong dengan bebas dengan Presiden. Siapa
yang bisa bicara blak-biakan dengan Pak Harto selain Tim P-7? Siapa?
Apa ada menteri yang berani blak-blakan? Ora wani--tak berani. Secara
rutin Tim P-7 sekali dua bulan atau sekali tiga bulan berbicara dengan
Pak Harto. Setiap kali pertemuan berlangsung rata-rata sekitar satu
setengah jam. Apa yang dibicarakan, itu rahasia kami.
Selain di Tim P-7, saya menjalankan apa saja yang mau saya jalankan. Bisnis. Sekarang ini orang kan harus bisnis. Sekarang ini zaman economic built up. Saya bergerak di bidang apa saja. Macam-macam. Bidang pariwisita, perkayuan, bidang pendidikan teknik dan teknologi, dan bidang teknik sipil. Saya ini kan pernah menjadi Direktur Zeni, Menteri Pariwisata, dan Telekomunikasi. Sekolah saya teknik sipil. Nah, sekarang bagaimana memanfaatkan pengetahuan dan pengalaman itu untuk berbisnis membantu terciptanya economic built up. Dulu, sebagai anggota DPA, kita tidak boleh bisnis. Sekarang saya bukan DPA lagi. Maka apa salahnya saya menjalankan bisnis? Pensiun jenderal tidak cukup. Cuma Rp 300 ribu.
Selain di Tim P-7, saya menjalankan apa saja yang mau saya jalankan. Bisnis. Sekarang ini orang kan harus bisnis. Sekarang ini zaman economic built up. Saya bergerak di bidang apa saja. Macam-macam. Bidang pariwisita, perkayuan, bidang pendidikan teknik dan teknologi, dan bidang teknik sipil. Saya ini kan pernah menjadi Direktur Zeni, Menteri Pariwisata, dan Telekomunikasi. Sekolah saya teknik sipil. Nah, sekarang bagaimana memanfaatkan pengetahuan dan pengalaman itu untuk berbisnis membantu terciptanya economic built up. Dulu, sebagai anggota DPA, kita tidak boleh bisnis. Sekarang saya bukan DPA lagi. Maka apa salahnya saya menjalankan bisnis? Pensiun jenderal tidak cukup. Cuma Rp 300 ribu.
ANAK-ANAK DIDIK DJATIKUSUMO di PASUKAN T RONGGOLAWE/PASUKAN T SAD
Anggota Pasukan T Ronggolawe yang gugur pada perang kemerdekaan :
Soekandar, 21 tahun
Gugur
ditembak di jembatan bengawan solo di cepu dalam pertempuran di Cepu
antara batalyon Ronggolawe melawan pasukan-pasukan PKI yang lebih besar,
Oktober 1948. Dimakamkan di TMP Cepu.
Hadi Tjahjono, 23 tahun
Gugur
waktu menjabat wedana militer jakenan. Ia disergap dan ditembak pasukan
Belanda di Kecamatan Puncakwangi, Kabupaten Pati. Dimakamkan di TMP
Semaki Yogya.
Soewarsono, 21 tahun
Gugur sewaktu menjabat wedana militer kayen Januari 1949 dimakamkan di TMP Pati.
Kisbandi, 20 tahun
Tertembak
sewaktu pertempuran dengan patroli anjing Nica di dekat Salman Magelang
Januari 1949. Dimakamkan di TMP Girilaya Magelang.
Waluyo Hadisaputro, 20 tahun.
Ditembak
Belanda di tepi Kali Progo, dekat jembatan Plikon, Megelang. Jenazahnya
tidak ditemukan dan menjadi rahasia deru air Kali Progo.
Harsono, 20 tahun.
Ditembak patroli anjing Nica di dekat Desa Nganti sebelah timur kota Magelang. Dimakamkan di TMP Girilaya Magelang.
Perjalanan Anggota Pasukan T Ronggolawe yang tidak gugur pada perang kemerdekaan, antara lain:
Ir. Hermawan Kartowisastro
Lahir
8 April 1930 di Semarang. Sebagai pelajar Angkatan Perang menyelesaikan
studi dalam jurusan Bangunan Mesin (S1) di University of Birmingham
Inggris tahun 1957, untuk kemudian bertugas di Angkatan Laut Republik
Indonesia (ALRI). Selesai pendidikan Sekolah Staf dan Komando Angkatan
Laut (SESKOAL) Angkatan VIII tahun 1971, ditugaskan di perusahaan dok
dan galangan kapal PT. Pelita Bahari Persero, sebagai pimpinannya.
Perusahaan ini pada tahun 1980 menjadi galangan kapal yang termodern dan
memelopori pembangunan kapal dengan sistem blok di Indonesia.
Aman Suyitno, BA, Kol. CPM (purn)
Lahir
25 Desember 1927 di Kendal. Melanjutkan kariernya di Kepolisian
Militer, dengan penugasan di luar jawa, antara lain di Sulawesi Selatan.
Kemudian menjelang pensiunnya pada tahun 1983, di tugaskaryakan di
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Rinto Suleiman, Kol. Kav (purn)
Lahir
17 Juni 1930 di Lhoksumawe. Menyelesaikan pendidikan militernya di
Koninklijke Militaire Akademie (KMA), Breda Negeri Belanda, dalam
kesenjataan kaveleri, lulus tahun 1995. Rinto Suleiman pada tahun 1963
menjadi anggota Kontingen Indonesia Garuda II, ke Kongo, dan pada tahun
1968-1971 menjadi Liason Officer RI untuk Kucing, Serawak di Malaysia.
Soewondo, SH, Kol. CKH (purn)
Lahir
1 November 1928. Melanjutkan kariernya di Angkatan Darat, Soewondo
mengikuti pendidikan pada Akademi Hukum Militer (AHM), untuk kemudian
menyelesaikan studi kesarjanaan (SH) pada Universitas Diponegoro
(Undip). Jabatan terakhir yang dipegang adalah Inspektur Jenderal
Departemen Pertanian RI tahun 1983 -1988.
Kartono S. Hamidjojo, Kol. Art (purn)
Lahir
11 November 1929. Melanjutkan karier di bidang militer melalui
pendidikan di Sekolah calon perwira artileri di Cimahi tahun 1952,
dilanjutkan ke Scholl of Artillery, Sydney Australia tahun 1963. Pada
tahun 1968 beralih tugas ke bidang non militer di lingkungan Sekretariat
Negara/Menko Kesra, hingga pensiun tahun 1990.
dr. Susilo Wibowo, Marsma TNI (purn)
Lahir
30 Desember 1930. Menyelesaikan studinya sebagai dokter di Universitas
Indonesia pada tahun 1960. Menjadi dokter AURI dan mengkhususkan dalam
“Aerospce Medicine” di Leningrad Rusia, pada tahun 1964 dan kemudian
menjadi Spesialis Jantung dan Pembuluh Darah, tahun 1978. Setelah
pensiun tahun 1985, menggeluti masalah Gerontologi.
Susatmoko
Lahir
27 Mei 1926 di Tegal. Meniti karir di Pertamina sejak tahun 1995.
Susatmoko menyelesaikan pendidikan Ahli Minyak pada tahun 1985. Bertugas
di instalasi perminyakan Pertamina di berbagai tempat dan sebelum
pensiun tahun 1987, menjabat sebagai Kepala Pabrik Aspal, Unit
Pengolahan Pertamina di Wonokromo.
Prof. Dr. Kardono Darmoyuwono
Lahir
25 Oktober 1928. Menyelesaikan studinya di jurusan geografi, Fakultas
Sastra dan Kebudayaan, Universitas Gadjah Mada pada tahun 1957.
Membaktikan dirinya di UGM dan diangkat sebagai Dekan Fakultas Geografi
UGM tahun 1971-1975. Kardono adalah juga Deputi Ketua Badan Koordinasi
Survey dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) tahun 1970-1984.
Prof. Dr. Setijadi (Nong)
Lahir
18 April 1929. Setelah lulus tahun 1950 didemobilisasi, melanjutkan di
Universitas Gadjah Mada (UGM), di bidang Paedagogi dan menyelesikan
studinya S3 pada Cornell University, Ithaca, Amerika Serikat, pada tahun
1964. Setelah menjabat Kepala Badan Litbang Depdikbud, Setiadi
ditugaskan untuk merintis mendirikan Universitas Terbuka (UT). Dari
tahun 1984-1992 ia menjabat rektor pertama (founding rector) Universitas
Terbuka.
Prof. Suwondo B. Sutedjo, Dipl. Ing
Lahir
2 Juni 1928 di Pekalongan. Setelah tahun 1950 ia melanjutkan studinya
di Technische Hogeschool di Delf, Nederland, jurusan Bouwkunde
(Arsitektur) dan karena ada gejolak politik pada waktu itu, ia terpaksa
pindah ke Jerman dan menyelesaikan studinya (Dipl. Ing) pada Technische
Hochshule di Hanover Jerman. Sekembali ke Indonesia Bismo dikenal
sebagai Suwondo B. Sutedjo, mengajar di Institute Teknologi Bandung
(ITB) dan kemudian pada Fakultas Teknik Universitas Indonesia. Dari
tahun 1972-1978 menjadi ketua jurusan Arsitektur dan kemudian diangkat
menjadi Dekan Fakultas Teknik Universitas Indonesia (1974-1978).
Mardiono, Laksda TNI (purn)
Lahir 27 November 1927 di Bogor. Pada tahun 1947, Mardiono bersama Sularso dan Rochani Syamsudin ditangkap Belanda sewaktu bertugas combat intelligence di daerah Demak. Sebagai hasil kelanjutan Konferensi Meja Bundar (KMB) Desember 1949, mereka dibebaskan dari penjara Nusakambangan. Setelah menamatkan SMA, ia mendaftarkan diri pada Institute Angkatan Laut, Morokrembangan Surabaya sebagai kadet pelaut Angkatan ke 2. Pada tahun 1961 ia dikirim ke Vladivostok, Rusia, untuk mengikuti pendidikan kapal selam. Pada tahun 1962, masa TRIKORA, dengan kapal selam "Tjandrasa" yang ia komandoi, ia berhasil memasuki teluk tanah merah, barat laut kota Holandia (Jayapura sekarang), untuk mendaratkan sepasukan RPKAD. Atas keberhasilan operasi yang penuh resiko itu, Mardiono dan seluruh ABK KS "Tjandrasa" dianugerahi Bintang Sakti oleh Negara. Pada tahun 1963 ia mengikuti SESKO AL di Leningrad Rusia. Dari tahun 1974-1976 ia menjabat komandan Eskader, untuk kemudian menjadi Gubernur AKABRI bagian laut 1977-1983.
Lahir 27 November 1927 di Bogor. Pada tahun 1947, Mardiono bersama Sularso dan Rochani Syamsudin ditangkap Belanda sewaktu bertugas combat intelligence di daerah Demak. Sebagai hasil kelanjutan Konferensi Meja Bundar (KMB) Desember 1949, mereka dibebaskan dari penjara Nusakambangan. Setelah menamatkan SMA, ia mendaftarkan diri pada Institute Angkatan Laut, Morokrembangan Surabaya sebagai kadet pelaut Angkatan ke 2. Pada tahun 1961 ia dikirim ke Vladivostok, Rusia, untuk mengikuti pendidikan kapal selam. Pada tahun 1962, masa TRIKORA, dengan kapal selam "Tjandrasa" yang ia komandoi, ia berhasil memasuki teluk tanah merah, barat laut kota Holandia (Jayapura sekarang), untuk mendaratkan sepasukan RPKAD. Atas keberhasilan operasi yang penuh resiko itu, Mardiono dan seluruh ABK KS "Tjandrasa" dianugerahi Bintang Sakti oleh Negara. Pada tahun 1963 ia mengikuti SESKO AL di Leningrad Rusia. Dari tahun 1974-1976 ia menjabat komandan Eskader, untuk kemudian menjadi Gubernur AKABRI bagian laut 1977-1983.
Sudharmono, SH, Letjen TNI (purn)
Lahir
12 Maret 1927 di Cerme Gresik. Sudharmono menempuh Pendidikannya dari
SD, SMP, SLTA, Akademi Hukum Militer (1956) dan Perguruan Tinggi Hukum
Militer (lulus tahun 1962) serta SESKOAD. Kariernya dimulai dengan
Komandan Pasukan T SAD ( ex Divisi Ronggolawe) (Clash ke-2 1949),
Perwira Staf Pusdik Perwira AD (1950-1952), Jaksa Tentara, merangkap
Perwira Staf Penguasa Perang Pusat, Medan (1957-1961), Jaksa Tentara
Tinggi, merangkap Perwira Staf Penguasa Perang Tertinggi (Peperti),
Asisten Bidang Sosial Sekretariat Pembantu Pimpinan Revolusi, Wakil
Ketua II Gabungan 5 Koti, Ketua Tim Penertiban Personil Pusat
(1962-1966), Sekretaris Kabinet, merangkap Sekretaris Dewan Stabilisasi
Ekonomi (1966-1972), Menteri Sekretaris Negara (1973-1988), Wakil
Presiden RI (1988-1993). Sudharmono meninggal dunia pada tanggal 25
Januari 2006 pukul 19.40 setelah menjalani perawatan selama dua pekan di
Rumah Sakit Metropolitan Medical Center (MMC), Jakarta akibat infeksi
paru-paru dan komplikasi penyakit lain. Jenazahnya dimakamkan sekitar
pukul 10.00 pada hari Kamis 26 Januari 2006 di Taman Makam Pahlawan
Kalibata, Jakarta Selatan
Drs. Adiwoso (Peppy) Abubakar
Lahir
15 Agustus 1925 di Semarang. Pada tahun 1947, sewaktu Pasukan T
Ronggolawe resmi di bentuk di Cepu, Peppy Adiwoso ditunjuk sebagai
Komandan Pasukan T Ronggolawe. Setelah tahun 1950 ia menyelesaikan
studinya di Akademi Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, dan
selanjutnya berkarier di Departemen Luar Negeri. Jabatan-jabatan penting
sebelum ia pensiun, antara lain: Dubes RI di Brazil, Dirjen Sekretariat
Nasional ASEAN, DUBES RI untuk Kanada.
Soesatijo (Lippy)
Lahir
29 Juli 1925. Selesai latihan Opsir Tjadangan di Salatiga (1946), pada
tahun 1947 ia mendaftarkan diri ke AURI untuk menjadi penerbang. Akhir
tahun 1947, bersama 20 kader AURI lainnya diterbangkan ke India dengan
RI-002, dengan pilot Bob Freeberg, co-pilot Petit Moeharto dan
telegrafis Budiardjo, tetapi karena cuaca terpaksa mendarat di Changi
Singapore. Para calon penerbang baru sampai ke India pada bulan Mei
1948. Lippy dan 3 kadet penerbang lainnya dipilih dan ditarik ke Birma
untuk menjadi pilot Indonesian Airways dan langsung menerbangkan Dakota
RI-001 Seulawah. Lippy baru kembali ke Indonesia tahun 1950 setelah
Konferensi Meja Bundar (KMB) dan langsung masuk skwadron bomber B-25
AURI untuk terbang operasi. Tahun 1954 pindah ke penerbangan sipil
sebagai pilot instruktur/Captain Dakota bangsa Indonesia yang pertama di
Sekolah Penerbangan Curug.
dr. R Sunaryo, Marsda (purn)
Lahir
4 September 1925 di Magelang. Pada akhir 1947, sewaktu masih bertugas
di Divisi Ronggolawe, Sunaryo dipanggil ke Yogya dan diperbantukan
kepada AURI, dalam rangka tugas penyelundupan ke luar negeri. Ia sempat
terdampar di Singapura. Menyelundup kembali ke Sumatera, kemudian oleh
pimpinan AURI di ACEH diangkat menjadi OMU-1 (Opsir Muda Udara). Pada
1949 ia kembali ke Jawa, membantu Local Joint Committee (JLC). Lulus
dokter dari Universitas Indonesia tahun 1956 dan menjadi dokter
pangkalan AU di Kalijati Malang dan Jakarta. Jabatan sebelum pensiun:
Direktur Lembaga Kesehatan Penerbangan dan Ruang Angkasa (Lakespra),
Kapuslitbang AU, Kapuslitbang Hankam dan Direktur Lembaga Penerbangan
dan Antariksa Nasional (LAPAN).
Slamet (Gebod) Danusudirdjo, Mayjen TNI (purn)
Lahir
4 April 1925. Melanjutkan kariernya di Angkatan Darat. Tahun 1950 ia
dikirim ke Belanda untuk mengikuti pendidikan pada sekolah infanteri dan
artileri, kemudian dilanjutkan pada Ecole d"Aartillerie Anti Airienne
(Sekolah Artileri Pertahanan Udara) di Lombardzyde Belgia. Pendidikan
Sesko ditempuh pada Woyena Akademia M.W.Frunze, Moskwa Uni Soviet pada
tahun 1963. Pernah menjabat antara lain: Dirjen Bea Cukai Departemen
Keuangan RI 1972, Ketua Team Walisongo, Sekjen Dephub RI tahun
1973-1976, Deputy Ketua Bappenas, Anggota DPA tahun 1983-1988 dan Rektor
Institute Kesenian Jakarta (IKJ). Slamet Danudirdjo juga seorang
penulis novel dengan nama samaran Pandir Kelana. Novelnya antara lain:
Kadarwati; Ibu Sinder; Suro Buldog; Kereta Api Terakhir, ada beberapa
diantaranya telah dibuat film.
Soelarso, Mayjen TNI (purn)
Lahir
11 April 1929 di Semarang. Tahun 1947 bersama Mardiono dan Rochani
Syamsudin ditangkap Belanda waktu bertugas combat intelegence di Demak.
Dibebaskan dari Penjara Nusakambangan Desember 1949 berdasarkan
kelanjutan hasil Konferensi Meja Bundar. Sularso melanjutkan karier
militernya, masuk ke Koninklijke Militaire Akademie (KMA) di Breda
Nederland taman 1954. Jabatan yang pernah di emban: Atase Militer RI di
Moskow (1971-1974), Pangdam III/17 Agustus (1979-1981) dan Pangdam
V/Brawjijaya (1983-1985), AsPam Kasad, dan kemudian Gubernur KDH Jawa
Timur dan Duta Besar RI di Ankara, Turki.
Rochani (Hanny) Syamsudin, SH, Kol. Inf. (purn)
Pada
tahun 1947, Hanny bersama Sularso dan Mardiono ditangkap Belanda
sewaktu bertugas combat intelligence di daerah Demak. Sebagai hasil
kelanjutan Konferensi Meja Bundar (KMB) Desember 1949, mereka dibebaskan
dari penjara Nusakambangan. Setelah menamatkan SMA, ia melanjutkan
pendidikan perwira di Pusat Infanteri dan kemudian menjadi
guru/instruktur di pusat infanteri itu. Ia berhasil meraih gelar
kesarjanaannya di Perguruan Tinggi Hukum Militer (PTHM). Pada tahun
1970, Hanny di karyakan ke Departemen Pariwisata dan sebelum pensiun
menjabat Ka Kanwil Pariwisata DI Yogyakarta.
Hardijono, Brigjen TNI (purn)
Lahir
7 Desember 1929 di Kendal. Melanjutkan karier militer di Angkatan
Darat. Di didik menjadi perwira ahli radar dan fire control di Akademi
Teknik Artileri Pertahanan Udara di Leningrad, Rusia (1962-1963).
Menjabat Asisten Direktur Research dan Pengujian Materiel (Resumat)
Angkatan Darat, Atase Militer RI di Paris (1971-1974), Kepala Pusat
Pengolahan Data Hankam (1983-1985) dan jabatan terakhir sebelum pensiun,
Kepala Badan Pengembangan Industri dan Teknologi (BPPIT) Hankam
(1983-1988)
Slamet Sukardi, Mayjen Pol (purn)
Lahir
14 Mei 1927 di Purwokerto. Setelah tahun 1950, mengawali karier di
Kepolisian RI melalui pendidikan di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian
(PTIK), taman tahun 1953. Mengikuti pelatihan Company Advance Course di
Front Benning USA. Jabatan terakhir: Komandan Jenderal Komando Logistik
(Danjen Kolog).
Soejitno Soetopo, Brigjen TNI (purn)
Lahir
21 September 1926. Pada waktu Pasukan T Ronggolawe dibentuk tahun 1947,
Soejitno diangkat menjadi wakil komandan Pasukan T Ronggolawe. Setelah
tahun 1950 meniti karier di kesenjataan Zeni Angkatan Darat. Menjadi
Atase Pertahanan RI di Manila, Filipina (1971-1974), Direktur Pendidikan
di Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas) (1975-1981), dan kemudian
diangkat menjadi Deputi Ketua Lembaga Administrasi Negara (LAN) tahun
1981-1986.
Krishnamurti Samil
Lahir
3 September 1928 di Tanjungkarang. Setelah tahun 1950 ia meniti karie
di bidang sipil. Pada tahun 1978-1988 ia menjabat Sekretaris
Menteri/Sekretaris Negara. Kemudian pada tahun 1988 dianggkat sebagai
anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk masa jabatan lima tahun.
Entjung Abdullah Sadjadi, Brigjen TNI (purn)
Lahir
31 Juli 1929. Setelah latihan opsir cadangan salatiga (1946), ia
menjadi komandan TP Purowokerto, Batalyon 400. Setelah tahun 1950
melanjutkan kariernya di TNI Angkatan Darat, khususnya di bidang
penerangan. Jabatan terakhir: Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) Hankam
(1983).
Ismail Saleh, SH Letjen TNI (purn)
Lahir
di Pati, Jawa Tengah, 7 September 1926. Setelah lulus HIS tahun 1941,
Ismail masuk ke Sekolah Menengah Pertanian. Kemudian melanjutkan ke SMA
dan tamat tahun 1950. Setelah itu ia masuk Akademi Hukum Militer dan
Perguruan Tinggi Hukum Militer. Ismail mengawali karirnya sebagai
anggota Intel Tentara Divisi III, Yogyakarta, anggota Pasukan Ronggolawe
Divisi V di Pati dan Wonosobo (1948-1949), Direktorat Kehakiman
Angkatan Darat (1952), Perwira Penasihat Hukum Resimen 16, Kediri
(1957-1958), Jaksa Tentara di Surabaya (1959-1960), Jaksa Tentara
Pengadilan Tentara Daerah Pertempuran Indonesia Timur dan Manado
(1960-1962), Oditur Direktorat Kehakiman AD (1962), dan Perwira Menengah
Inspektorat Kehakiman AD (1964-1965).Sekretariat Presidium Kabinet
(1967-1968).Wakil Sekretaris Kabinet/Asisten Sekneg Urusan Administrasi
Pemerintahan (1972). Sekretaris Kabinet (1978). Direktur LKBN Antara
(1976-1979).Pj. Ketua BKPM, Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal
(1979-1981)Jaksa Agung (1983-1988). Menteri Kehakiman Kabinet
Pembangunan V (1988-1993). Meninggal dunia Selasa malam (21 Oktober
2008), pukul 22.30 WIB di RSCM Jakarta dalam usia 82 tahun, karena sakit.
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.