Masih berusia 20 tahun. Sangat membenci polisi.
Seharian
bekerja Taufik rebah sejenak. Seluruh tubuhnya lelah. Bekerja sebagai
buruh bangunan di Jakarta Timur, dia melaju dari Beji Depok Jawa Barat.
Di situ mereka menyewa kamar. Kontrakan itu sempit. Tak banyak barang.
Ada dipan dan televisi kecil.
Sabtu 8 September 2012 itu jalanan sudah tak ramai. Hampir pukul 10 malam. Bersama Bagus Kuncoro, rekannya sesama buruh bangunan, Taufik asyik menonton televisi. Sesekali bersenda gurau. Cuma berdua mereka di kamar itu.
Sedang asyik menonton televisi itu, dua orang datang bertamu di kamar sebelah. Taufik dan Kuntoro tak kenal si tetangga itu. Di depan kamar sebelah itu ada spanduk Yayasan Yatim Piatu Pondok Pidara. Tapi mereka juga tidak pernah melihat ada anak-anak di situ.
Kedua tamu yang datang itu masing-masing menumpang motor. Salah satunya Honda Grand. Penghuni di seberang itu cuma seorang. Dan malam itu dia ada di kamar. Dua tamu itu masuk. Entah apa yang mereka lalukan. Taufik dan Kuncoro tetap memaku mata ke layar televisi.
Dua puluh menit berselang, salah seorang tamu itu bergegas keluar. Lalu lari terbirit-birit ke halaman. Bergerak cepat dia melompat pagar. Tamu yang satu lagi terburu-buru naik motor. Cepat-cepat menghidupkan mesin, lalu tancap gas. Ke jalan raya, lalu menghilang.
Pria yang berlari melompat pagar itu berteriak-teriak di jalanan seperti orang kesetanan. “Kiamat-kiamat.” Lalu Blarr. Dalam ingatan yang hampir saja punah, Taufik menyaksikan kontrakan itu nyaris kiamat. Atap porak-poranda. Jendela bolong. Kaca remuk bersiraman.
Dua buruh bangunan itu tak tahu apa yang harus dilakukan. Mereka terluka. Taufik luka di bahu dan paha. Beruntung warga sekitar segera datang. Membopong mereka ke klinik seberang jalan. Taufik mendapat 16 jahitan. Bagus juga belasan. Beruntung tak begitu parah.
Masih ada satu orang lagi di kamar yang babak belur itu. Taufik dan Kuncoro tak tahu siapa namanya. Belakangan polisi menyebutnya sebagai Mr X. Dia dipapah ke mobil bak terbuka oleh tetangga yang datang menolong.
Luka si Mr X ini parah. Tangan kanannya gosong. Leher luka berongga. Nafas satu-dua. Dia diangkut ke Rumah Sakit Bhakti Yuda. Para dokter di sana segera membantu. Mengobati luka-luka nan menggerikan itu.
Tak berapa lama berselang polisi datang. Lokasi itu dikurung garis polisi. Malam kian larut, lalu berganti hari. Neraka di jalan Nusantara itu gelap gulita. Dalam kegelapan itu polisi bekerja. Menyisir lokasi itu. Banyak unit yang ikut di situ.
Ada tim penjinak bahan peledak Gegana, Detasemen Khusus 88 Anti-Teror, tim identifikasi Indonesia Automatic Finger Print Indentification System (Inafis). Semuanya bekerja menelisik lokasi dan puing-puing yang berserak. Sejumlah polisi bersiaga. Mereka yang berjaga itu bersenjata laras panjang.
Jalan Nusantara, yang siang hari sangat hiruk pikuk itu, ditutup sementara. Areal steril di perluas. Semua telepon seluler di areal itu dimatikan. Di dalam kamar itu masih tersimpan berkilogram mesiu peledak.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) Ansyaad Mbai yang membesuk Mr X –yang kemudian dipindah ke RS Mitra Keluarga– melaju ke lokasi. Keluar dari kamar itu dia berujar, "Ada banyak bahan peledak. Belum ditimbang".
Selain
bahan peledak, juga ditemukan pistol yang mirip dengan milik Farhan,
terduga teroris yang tewas dalam baku tembak di Solo 31 Agustus lalu.
Sebuah pistol Pietro Baretta buatan Italia yang bertuliskan "Property
Philippines National Police." Ada juga senjata laras panjang dengan
peredam, granat manggis, amunisi dan sejumlah perlengkapan pembuat bom.
Mengapa Meledak ?
Pria
yang lari terbirit-birit, lalu berpekik ketakutan itu adalah Muhammad
Toriq. Nama yang sudah santer diberitakan sebelum kos sempit itu
meledak. Orang inilah pemilik setumpuk bahan peledak di Tambora Jakarta
Barat. Di Depok kabur, di Tambora juga begitu.
Mengaku rindu dengan anak dan istri, Toriq kemudian menyerahkan diri. Saat berserah diri itu dia membawa senjata dan bahan peledak. Dari Toriq inilah komplotan ini ditelusuri. Beberapa orang sukses ditekuk.
Rekan Toriq yang kabur menumpang motor di Depok itu bernama Yusuf bin Hasan. Si Yusuf ini mengoleksi banyak nama samaran. Antara lain Yusuf Rizaldi dan Abu Toto. Empat hari sesudah ledakan di Depok itu, Yusuf juga menyerahkan diri. Dia menyerahkan diri nun jauh di Langkat Sumatera Utara.
Sedang pria yang disebut Mr X dan sekarat itu adalah Wahyu Ristanto. Dia juga punya nama samaran, Anwar. Luka di sekujur tubuh itu kemudian merengut jiwanya. Wahyu meninggal 12 September 2012.
Kelompok Depok itu, kata polisi, masih satu jaringan dengan kelompok yang sebelumnya beraksi di Solo. Ya, kelompoknya si Farhan itu. Setelah beraksi di kota yang dipimpin Joko Widodo itu, gerombolan ini kemudian beraksi di Jakarta. Siapa dibelakang mereka masih ditelusuri. Tapi mereka yang beraksi di lapangan ini berusia muda. Rata-rata berusia 20 tahun.
Ledakan di Depok, begitu cerita Toriq kepada polisi, terjadi secara tidak sengaja. Sebuah kecelakaan belaka. Malam itu Wahyu sedang meracik bahan peledak. Ramuan laknat itu adalah adonan banyak unsur. Ada asam nitrat dicampur urea. Belerang dan sejumlah zat lain, yang sebaiknya tidak ditulis di sini.
Adonan itu dimasukkan ke dalam plastik. Lalu bungkusan itu dimasukan ke dalam sebuah tabung yang sudah dimodifikasi. Sesudah itu dimasukan ke dalam tas gendong. Lalu tinggal menunggu tanggal main. Tanggal mainnya adalah 10 September 2012.
Tapi niat jahat itu tak kesampaian. Saat dimasukan ke dalam tas terjadi kebocoran. Toriq dan Yusuf mengetahui kebocoran itu lantaran bau gas menusuk hidung. Wahyu lalu nekat membawa adonan bom itu ke kamar mandi. Dia menyiram tabung itu berkali-kali. Didesak kabur dia tak mau. Toriq dan Yusuf memilih ngacir. Dalam hitungan menit bom meletup.
Jaringan Siapa ?
Toriq,
Yusuf dan Wahyu. Dari tiga nama itulah polisi menggali jaringan dan
rencana kelompok ini. Toriq, kata polisi, berencana menjadi pelaku bom
bunuh diri. Ada empat lokasi yang dijadikan target. Salah satunya
adalah Markas Komando Brimob di Kepala Dua Depok. Tak begitu jauh dari
lokasi ledakan.
Selain itu mereka juga mengincar Pos Polisi di Salemba Jakarta Pusat, kantor Densus 88 Polri, dan komunitas masyarakat Buddha. Menurut keterangan Toriq kepada polisi, rencana menyerang komunitas Budha itu demi membela etnis Rohingya di Myanmar.
Sebelum beraksi Toriq sudah menulis surat untuk kedua orang tuanya. "Dia menyampaikan permintaan maaf, kepada ibu dan keluarga. Ingin masuk surga dan mendapatkan ridha Allah," ujar Kepala Biro Penerangan Masyarakat Brigjen Pol Boy Rafli Amar.
Dari Toriq itulah anggota jaringan ini diurai. Dia mengaku pernah bertemu dengan Firman, terduga teroris Solo yang kabur ke Jakarta. Firman itu kemudian dibekuk Densus 88 di Perumahan Taman Anyelir Dua Depok, 5 September 2012. Firman, kata polisi, berperan penting dalam serangkaian aksi terror di Solo. Dia menentukan target, survei, hingga aksi penyerangan.
Sesudah rumahnya di Tambora terkuak polisi, Toriq kabur ke Bojong, Bogor. Dia bermalam di sana. Dari sana kemudian meluncur ke Beji. Lalu kabur dan menjerit ketakutan karena bom hendak meledak. Dia kemudian menyerahkan diri.
Nama kedua adalah Yusuf alias si Abu Toto itu. Dia sempat buron setelah bom meledak di Beji. Peran Yusuf, kata polisi, cukup penting. Menyediakan akomodasi. Dialah yang mengontrak kamar di Depok itu. Kepada polisi dia mengaku sebagai anak buah Toriq.
Nama terakhir adalah Wahyu Ristanto. Dia disebut polisi memiliki kemampuan merakit bom. Wahyu sudah berencana meledakan bom sebelum peristiwa di Depok itu. Persiapan sudah enam bulan. Dari komplotan Depok ini, orang ini yang “kiamat”.
Semua anggota jaringan ini, kini mendekam di penjara. Toriq, Yusuf, Bayu dan Firman. Jadi jelas bahwa mereka yang beraksi di Solo, Depok dan Tambora, kata Ansyaad, adalah satu kelompok.
Soal satu kelompok itu juga dituturkan Bayu kepada polisi. Menurut Bayu ada enam orang sudah siap beraksi. Empat orang sudah dibekuk. Tinggal dua orang. "Jangan-jangan sedang merakit bom lagi," kata Ansyaad. Dua orang itu terus diburu.
Selain membekuk terduga teroris di Jakarta, polisi juga membekuk sejumlah orang di Ambon. Enam terduga teroris dibekuk di Ambon dan seorang lagi dibekuk di Maluku Tenggara.
Apakah kelompok Ambon itu terkait dengan jaringan Depok? "Ambon masih dicari link-nya dengan yang di Depok. Tapi link dengan kelompok besar saya tegaskan tetap satu," kata Ansyaad. Siapa kelompok besar itu memang masih ditelusuri. Tapi mereka yang dibekuk di Ambon itu diduga juga sudah menyiapkan rencana aksi.
Selain Ambon, kelompok ini juga bersiap di Poso. Di Poso itu mereka menggelar latihan. Bahkan sudah sembilan angkatan. Mereka yang berlatih di sana, kata Ansyaad, berasal dari sejumlah daerah. Ada yang dari Bima, Medan, Jakarta, Kalimantan, dan Maluku.
Yang berbahaya, lanjutnya, mereka yang dilatih ini sudah kembali ke daerah masing-masing. Orang-orang ini bisa membentuk sel baru. Tapi tetap satu link dengan teman-teman yang berlatih di Poso itu. Ansyaad mengaku sudah mengingatkan pejabat-pejabat di sana agar mewaspadai aksi teror.
Kelompok ini juga fasih berkomunikasi lewat internet. Perintah penyerangan dari panglima disampaikan lewat internet. Tidak ada sesi upacara terbuka di lapangan untuk memberi perintah.
Dalam merekrut anggota baru, kata Ansyaad, ada beberapa modus yang dilakukan. Salah satunya adalah merekrut sesama alumni sekolah. Rekrutmen juga bisa berdasarkan tali-temali darah dan perkawinan.
Contoh yang paling tepat soal rekrutmen berdasarkan darah itu, kata Ansyaad, adalah Farhan yang tewas di Solo itu. Orangtua Farhan yang bernama Sutarno, merupakan tersangka teroris yang mau membunuh Menteri Pertahanan Matori Abdul Djalil. Farhan ketika itu masih berusia 6 tahun.
Sutarno gagal beraksi. Dia tewas dikeroyok massa setelah mencoba mencuri motor tukang ojek. Istri Sutarno lalu dinikahi Abdullah Umar atau Abu Omar, pria yang juga sudah menghuni jeruji besi. "Abu Omar tertangkap karena dia memasukkan senjata dari Filipina ke Indonesia," kata Ansyaad.
Abu Omar itu, lanjut Ansyaad, juga terkait kasus temuan senjata di sekitar hutan Universitas Indonesia, Depok. Senjata yang digunakan Farhan saat baku tembak dengan polisi itu juga diketahui berasal dari Filipina. Darimana Farhan mendapat senjata? Kata Ansyaad, dari Filipina dengan modal jaringan sang ayah.
Selain jaringan ke sejumlah daerah itu, pola aksi teroris semakin bervariasi. Serangan terhadap polisi semakin sering terjadi. Alasannya, polisilah yang menembak teman-teman mereka. "Kebencian mereka terhadap polisi luar biasa," kata Ali Fauzi, adik Amrozi dan Ali Imron, dalam perbincangan dengan VIVAnews. Noor Huda Ismail, Direktur Eksekutif Yayasan Prasasti Perdamaian, yayasan para kombatan dan alumnus Afghanistan dan Moro, menilai bahwa tidak ada yang berubah dalam pola serangan para teroris. “Lebih kepada variasi serangan saja,”kata alumni Pesantren Ngruki ini dalam perbincangan dengan VIVAnews.com di Semarang.
Target Teroris Mulai Bergeser, Mengapa ?
Aksi teroris tak melulu soal keyakinan, berbalut dendam pribadi.
Dua pelaku penembakan polisi di Solo terekam CCTV |
Dari pos itu, dia menelepon putranya, Hani Tri Prajakuta. Jarum jam menunjuk 20.45 WIB. Setengah jam berselang, jam 21.15 WIB, dua orang berboncengan dengan motor berhenti di depan pos. Satu dari mereka mendekati Dwi, dor..dor..dor..dor.
Dwi tersungkur, bersimbah darah. Tembakan itu melubangi tubuhnya di empat titik. Penembak lantas kabur. Warga yang mengejar, dihentikan dua tembakan ke udara. Dwi kemudian dibawa ke rumah sakit. Nahas, dia kemudian tewas.
Sehari berselang, Jumat 31 Agustus 2012 malam, pasukan Densus 88 beradu tembakan dengan dua pria di Jalan Veteran, Solo. Satu anggota Densus, Bripda Suherman, tewas.
Dua orang yang disebut polisi sebagai teroris, Farhan dan Muchsin, juga tewas. Belakangan, polisi menyebut keduanya sebagai penembak Dwi. Mereka juga disebut sebagai pelaku teror pada 17 dan 18 Agustus 2012.
Modus kelompok Farhan beda dengan serangan teroris sebelumnya. Mereka tidak meledakkan bom. Termasuk bom bunuh diri. Mereka melakukan penembakan. Sasarannya juga khusus, polisi.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Ansyaad Mbai, menganggap serangan untuk polisi itu wajar. Sebab, polisi menjadi penghalang utama terorisme. “Di seluruh dunia, polisi pasti korban utama. Di Saudi Arabia, di Afganistan, baru mendaftar polisi saja sudah dihajar bom bunuh diri,” ujar Ansyaad.
Fenomena itu dikonfirmasi oleh pengakuan anggota komplotan Farhan yang berhasil dibekuk, Bayu Setiono. Dalam rekaman yang ditampilkan Polri, Bayu mengaku dendam pada polisi karena telah menangkap dan membunuh teman-temannya.
“Salah satu pimpinan kami, mengutip dari buku karangan Ustad Abdurrahman, dia bilang, bunuhlah aparat polisi,” sebut Bayu.
Dalam
surat yang diklaim polisi ditemukan di tas Farhan juga tertulis
kekecewaan mereka kepada pemerintah dan kepolisian. Farhan dan
kelompoknya menuntut balas perlakuan polisi terhadap teman-temannya.
Menurut
pengamat terorisme, Ali Fauzi, kebencian kelompok Solo kepada polisi
sangat dalam. Adik Amrozi, terpidana mati bom Bali, menyebut dendam itu
tumbuh dari masa lalu mereka. Farhan adalah anak Sartono yang tewas
setelah berupaya membunuh Matori Abdul Djalil pada tahun 2000, kala itu
Matori mejabat Menteri Pertahanan.
Ibu
Farhan kemudian dinikahi oleh Abu Omar. Celakanya, saat itu Omar sedang
diburu polisi. Farhan ikut dalam pelarian, berpindah-pindah tempat.
Farhan tak nyaman. “Dia merasa teraniaya, dendam itu tumbuh,” kata Ali
yang mengaku pernah berjumpa Farhan kecil.
Tren global
Secara
global pola serangan kelompok teroris memang bergeser. Targetnya tidak
melulu fasilitas Amerika Serikat dan sekutunya. Mereka juga menyerang
aparat karena dianggap melindungi kepentingan Barat. Kelompok teroris
berfikir sulit melawan negara Barat tanpa menghancurkan aparat.
“Jadi,
aparat mereka sikat. Dalam hal ini dicari yang paling lemah, yakni
Polantas yang berada di pos polisi dan tidak bersenjata,” kata Ali Fauzi
yang pernah aktif dalam konflik Afganistan, Moro, Filipina, dan Ambon
ini.
Serangan kepada polisi lazim dipakai di negara
yang dikenal sebagai basis jaringan teroris. Kalangan militan di Iraq,
Afganistan, Mesir, dan Filipina, terlebih dahulu menerapkan. Jaringan
teroris di Indonesia meniru belakangan. “Mereka sebetulnya hanya
mengadopsi saja tipikal-tipikal operasi yang di luar negeri itu,” kata
Ali Fauzi.
Menurut Karopenmas Polri, Brigjen Pol Boy
Rafli Amar, sejak tahun 2006 mulai bermunculan kelompok-kelompok yang
menebar kebencian terhadap aparat negara. “Ini fakta dan realitas yang
ditemukan dalam penyidikan termasuk dokumen yang ditemukan," Boy
menambahkan.
Pola itu telah dipraktikkan beberapa kali
di Indonesia. Pada 22 September 2010, teroris menyerbu Polsek Hamparan
Perak, Deli Serdang, Sumatera Utara. Mei 2011, kelompok teroris juga
menyerang polisi di BCA Palu dan Mapolres Cirebon. Yang terbaru,
serangan kelompok Farhan di Solo ini.
Pengamat
terorisme, Noor Huda Ismail, mengatakan serangan di Solo itu bukan pola
baru. Cara ini hanya variasi dari sekian pola yang dipelajari. Di kamp
latihan, anggota teroris diajari berbagai cara penyerangan, dengan bom,
menembak, hingga racun. “Jika kemarin muncul yang memiliki sertifikasi
bom, kini yang muncul adalah yang spesialis tembak,” kata alumni Ponpes
Al Mukmin, Ngruki ini.
Menurut Ali Fauzi, sebenarnya
Solo bukan basis kelompok Farhan. Basisnya utamanya ada di Jabodetabek.
Usai penyergapan Farhan, memang sejumlah komplotannya ditangkap di
wilayah ini. Farhan dan kelompoknya beraksi di Solo karena satu alasan.
“Farhan tahu medan di Solo,” ujar Ali Fauzi.
Dalam
menyerang, kelompok Solo menerapkan pola hit and run. Menyerang target,
lalu lari. Pola ini butuh penguasaan lapangan yang bagus.
Uniknya,
kelompok ini tidak lari ke daerah lain setelah beraksi. Menurut analisa
Ali Fauzi, kelompok Farhan sengaja bertahan di Solo dengan tujuan
tertentu. “Kalau ke daerah lain, pasti ada yang menampung. Para
penampung ini akan ditangkap juga. Mereka ingin meminimalisir korban di
pihaknya.”
Selain itu, tambah dia, kelompok Farhan
sudah siap mati dan bergerilya di dalam Kota Solo. Itu terlihat dari
surat yang ditulis. “Mereka sebenarnya sudah siap suatu saat akan
ditangkap, ditembak oleh polisi,” kata Ali.
Polri
mengaku siap mengatasi perubahan pola serangan itu. Polri telah lama
menginstruksikan agar anggotanya bertugas secara berkelompok. Mereka
juga meningkatkan kewaspadaan. “Kami meningkatkan patroli, meningkatkan
penjagaan di pusat-pusat penjagaan. Itu upaya-upaya Polri,” kata Boy.
Yang
tak kalah penting, tambah Boy, adalah tindakan intelijen dan
partisipasi masyarakat. “Masyarakat harus mengenali gerak-gerik
mencurigakan di lingkungannya. Tokoh masyarakat juga diimbau turut
memberikan penyuluhan,” Boy menambahkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.