TEPIAN
Sungai Lasolo, Sulawesi Tenggara, menjelang dini hari 2 Februari 1965.
Dalam kegelapan, satu regu pasukan dari Batalyon 330 Kujang I, asal
Kodam Siliwangi, tersesat kehilangan arah. Beberapa jam sebelumnya,
kompas perlengkapan regu yang dipimpin Pembantu Letnan Satu Umar Sumarna
itu tiba-tiba rusak.
Para prajurit yang semua berasal dari Jawa Barat itu hanya tahu, mereka tengah berada di ketinggian. Sementara Sungai Lasolo, yang menjadi penanda arah, berada di lembah di bawah mereka. ''Kami benar-benar nyasar dan harus melakukan upaya survival,'' kata Ili Sadeli, kini 64 tahun, seorang anggota regu yang tersesat itu, kepada Sulhan Syafi'i dari Gatra.
Tiga puluh enam tahun telah berlalu. Tapi Sadeli, yang ditemui di rumahnya di Desa Sukamandi, Kecamatan Soreang, Kabupaten Bandung, masih mengingat jelas pengalamannya. Menurut Sadeli, ketika terang tanah, tiba-tiba saja pasukannya melihat di sungai ada beberapa orang tengah mencuci beras.
Yang lebih mengagetkan: muncul pula beberapa pria berpakaian hijau dan memanggul senjata.
Tahulah mereka bahwa tujuan perjalanan jauh mereka --dari Jawa Barat hingga Makassar-- telah makin dekat. Regu Umar Sumarna adalah bagian dari bantuan pasukan asal Kodam Siliwangi pada Komandan Operasi Kilat pemberantasan gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII)
Karena yakin yang terlihat itu adalah kelompok DI/TII Kahar Muzakkar, Umar memerintahkan 18 anggota pasukannya untuk menggelar strategi penyerangan ke perkampungan tempat kediaman kelompok itu. Ili Sadeli, yang ketika itu berpangkat kopral dua, bersama lima anak buahnya, ditugasi berjaga di sepanjang jalan setapak menuju sungai.
Rupanya, Umar berjaga-jaga jika ada anggota kelompok Kahar yang melarikan diri ke arah sungai. Ketika malam tiba, ke-13 prajurit regu Umar Sumarna mulai merangsek ke perkampungan pasukan DI/TII. Dini hari 3 Februari, terjadilah baku tembak antara regu Umar dan pasukan DI/TII. Ketika itulah, lima anak buah Ili Sadeli meninggalkan posnya di jalan setapak, untuk ikut menyerbu.
SADELI, yang sendirian dan masih bersembunyi di sebuah pohon besar dihalangi semak-semak, tiba-tiba mendengar suara tapak kaki yang melintas.
Tapi, orang pertama ini lewat melenggang. ''Saya tegang, senjata pun macet,'' kata Ili Sadeli. Tak berapa lama, terdengar satu lagi langkah kaki mendekati tempat Ili Sadeli. Kali ini, muncul sosok bertubuh tegap.
Ketika makin mendekat, terlihat jelas orang itu berkepala sedikit botak, berkacamata, dan raut mukanya bersih serta rambutnya ikal. ''Wah, wajahnya persis seperti terlihat di foto Kahar Muzakkar,'' bisik Sadeli. Semula Sadeli mau menyergapnya. Tapi, karena orang itu membawa granat, akhirnya Sadeli memilih memuntahkan peluru dari jarak dua meter.
Tiga peluru pun terlontar menembus dada. Orang itu langsung tersungkur di depan Ili Sadeli, tepat pukul 06.05 WIB. ''Kahar geus beunang... hoi, Kahar geus beunang (Kahar sudah tertangkap),'' Sadeli berteriak. Mendengar teriakan Sadeli yang berulang-ulang, regu Umar pun bergegas memeriksa mayat itu.
Di ransel kecil korban ditemukan beberapa dokumen DI/TII, yang menunjukkan bahwa jenazah itu adalah Kahar Muzakkar, yang selama ini dicari.
Tertangkapnya SM. Kartosuwiryo Pimpinan DI/TII Jawa Barat
Laporan dari Kompi II Batalyon 327, bahwa di kampung Pangupon Pacet Kabupaten Bandung telah terjadi penggarongan yang dilakukan oleh tujuh orang anggota gerombolan Kartosuwiryo, Batalyon 328 Para Kujang/Siliwangi di bawah pimpinan Letda Suhanda yang menerima laporan itu, minta izin kepada komandan Batalyonnya untuk mengikuti jejak gerombolan itu. Pada tanggal 3 Juni 1962, Kompi “C” 328 Kujang bergerak dari titik poros pemberangkatan menuju Gunung Rokutok.
Pada tanggal 4 Juni 1962 bekas-bekas jejak gerombolan terdeteksi, Peleton II melihat gubug-gubug pada jarak 50 meter, diperintahkan oleh Letda Suhanda untuk segera melepaskan tembakan serbuan, dalam tempo singkat pasukan sudah berada di kedudukan musuh, sehingga lawan tidak diberi kesempatan sama sekali untuk mengadakan perlawanan, kemudian komandan kompi memerintahkan untuk segera menyerah, tidak lama setelah itu seorang anggota gerombolan menampakkan dirinya dengan mengangkat tangan, orang tersebut adalah komandan pasukan pengawal SM. Kartosuwiryo yang bernama A. Mujahid alias Aceng Kurnia. Aceng Kurnia meminta agar Batalyon 327 menghentikan tembakan dan yang lainnya menyerah, tidak lama setelah itu 18 orang gerombolan menyerahkan diri. Kemudian Letda Suhanda menggeledah gubug A didalamnya terdapat orang yang sedang sakit keras, orang tersebut ternyata SM. Kartosuwiryo pemimpin tertinggi dari Angkatan Perang Negara Islam Indonesia.
Para prajurit yang semua berasal dari Jawa Barat itu hanya tahu, mereka tengah berada di ketinggian. Sementara Sungai Lasolo, yang menjadi penanda arah, berada di lembah di bawah mereka. ''Kami benar-benar nyasar dan harus melakukan upaya survival,'' kata Ili Sadeli, kini 64 tahun, seorang anggota regu yang tersesat itu, kepada Sulhan Syafi'i dari Gatra.
Tiga puluh enam tahun telah berlalu. Tapi Sadeli, yang ditemui di rumahnya di Desa Sukamandi, Kecamatan Soreang, Kabupaten Bandung, masih mengingat jelas pengalamannya. Menurut Sadeli, ketika terang tanah, tiba-tiba saja pasukannya melihat di sungai ada beberapa orang tengah mencuci beras.
Yang lebih mengagetkan: muncul pula beberapa pria berpakaian hijau dan memanggul senjata.
Tahulah mereka bahwa tujuan perjalanan jauh mereka --dari Jawa Barat hingga Makassar-- telah makin dekat. Regu Umar Sumarna adalah bagian dari bantuan pasukan asal Kodam Siliwangi pada Komandan Operasi Kilat pemberantasan gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII)
Karena yakin yang terlihat itu adalah kelompok DI/TII Kahar Muzakkar, Umar memerintahkan 18 anggota pasukannya untuk menggelar strategi penyerangan ke perkampungan tempat kediaman kelompok itu. Ili Sadeli, yang ketika itu berpangkat kopral dua, bersama lima anak buahnya, ditugasi berjaga di sepanjang jalan setapak menuju sungai.
Rupanya, Umar berjaga-jaga jika ada anggota kelompok Kahar yang melarikan diri ke arah sungai. Ketika malam tiba, ke-13 prajurit regu Umar Sumarna mulai merangsek ke perkampungan pasukan DI/TII. Dini hari 3 Februari, terjadilah baku tembak antara regu Umar dan pasukan DI/TII. Ketika itulah, lima anak buah Ili Sadeli meninggalkan posnya di jalan setapak, untuk ikut menyerbu.
SADELI, yang sendirian dan masih bersembunyi di sebuah pohon besar dihalangi semak-semak, tiba-tiba mendengar suara tapak kaki yang melintas.
Tapi, orang pertama ini lewat melenggang. ''Saya tegang, senjata pun macet,'' kata Ili Sadeli. Tak berapa lama, terdengar satu lagi langkah kaki mendekati tempat Ili Sadeli. Kali ini, muncul sosok bertubuh tegap.
Ketika makin mendekat, terlihat jelas orang itu berkepala sedikit botak, berkacamata, dan raut mukanya bersih serta rambutnya ikal. ''Wah, wajahnya persis seperti terlihat di foto Kahar Muzakkar,'' bisik Sadeli. Semula Sadeli mau menyergapnya. Tapi, karena orang itu membawa granat, akhirnya Sadeli memilih memuntahkan peluru dari jarak dua meter.
Tiga peluru pun terlontar menembus dada. Orang itu langsung tersungkur di depan Ili Sadeli, tepat pukul 06.05 WIB. ''Kahar geus beunang... hoi, Kahar geus beunang (Kahar sudah tertangkap),'' Sadeli berteriak. Mendengar teriakan Sadeli yang berulang-ulang, regu Umar pun bergegas memeriksa mayat itu.
Di ransel kecil korban ditemukan beberapa dokumen DI/TII, yang menunjukkan bahwa jenazah itu adalah Kahar Muzakkar, yang selama ini dicari.
4 Juni 1962
Tertangkapnya SM. Kartosuwiryo Pimpinan DI/TII Jawa Barat
Laporan dari Kompi II Batalyon 327, bahwa di kampung Pangupon Pacet Kabupaten Bandung telah terjadi penggarongan yang dilakukan oleh tujuh orang anggota gerombolan Kartosuwiryo, Batalyon 328 Para Kujang/Siliwangi di bawah pimpinan Letda Suhanda yang menerima laporan itu, minta izin kepada komandan Batalyonnya untuk mengikuti jejak gerombolan itu. Pada tanggal 3 Juni 1962, Kompi “C” 328 Kujang bergerak dari titik poros pemberangkatan menuju Gunung Rokutok.
Pada tanggal 4 Juni 1962 bekas-bekas jejak gerombolan terdeteksi, Peleton II melihat gubug-gubug pada jarak 50 meter, diperintahkan oleh Letda Suhanda untuk segera melepaskan tembakan serbuan, dalam tempo singkat pasukan sudah berada di kedudukan musuh, sehingga lawan tidak diberi kesempatan sama sekali untuk mengadakan perlawanan, kemudian komandan kompi memerintahkan untuk segera menyerah, tidak lama setelah itu seorang anggota gerombolan menampakkan dirinya dengan mengangkat tangan, orang tersebut adalah komandan pasukan pengawal SM. Kartosuwiryo yang bernama A. Mujahid alias Aceng Kurnia. Aceng Kurnia meminta agar Batalyon 327 menghentikan tembakan dan yang lainnya menyerah, tidak lama setelah itu 18 orang gerombolan menyerahkan diri. Kemudian Letda Suhanda menggeledah gubug A didalamnya terdapat orang yang sedang sakit keras, orang tersebut ternyata SM. Kartosuwiryo pemimpin tertinggi dari Angkatan Perang Negara Islam Indonesia.
[sumber Gatra]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.