RUU Kamnas menemui jalan buntu di DPR. Kontroversi pemberangusan prinsip kebebasan sipil sangat kuat dalam RUU ini. Anehnya, pemerintah tak hanya sekali mengajukan RUU serupa.
TB Hasanuddin duduk di ruangannya. Kepalanya masih panas. Sudah berbulan-bulan debat Rancangan Undang-Undang Keamanan Nasional (RUU Kamnas) belum menemukan
titik temu, alias buntu.
Senin 1 Oktober 2012, tamu yang diharapkan TB Hasanuddin akhirnya datang. Purnomo Yusgiantoro, berbaju safari datang ke ruangannya. Pertemuan tak resmi digelar, sekadar mencairkan RUU yang dibawa atas nama pertahanan republik.
TB Hasanuddin duduk di fraksi oposisi, PDIP. Kata tak sedap memang ia keluarkan untuk menolak RUU ini, tetapi yang membuat kepalanya panas adalah keinginan pemerintah untuk terus meloloskan RUU ini.
Namun pertemuan itu benar-benar mencairkan ketegangan, Purnomo mengibarkan bendera putih. Pemerintah bermaksud menarik RUU Kamnas.
“RUU Kamnas resistensinya tinggi. Saya ketemuan dan ngobrol nonformal dengan Menhan. Ya, begini tidak diteruskan,” ungkapnya ketika ditemui di gedung Nusantara I DPR, Senayan, Jakarta Pusat.
Memang perjalanan RUU Kamnas sarat protes. Setidaknya 5 pasal RUU Kamnas rentan penyalahgunaan kekuasaan. Pasal itu adalah Pasal 54e (kuasa khusus berupa penyadapan, penangkapan, dan pemeriksaan), Pasal 59 (penghapusan UU), Pasal 22 jo 23 (kewenangan kepada intelijen/BIN sebagai penyelenggaraan Kamnas), pasal 10 jo 15 jo 34 (darurat sipil), Pasal 17 ayat 4 (kewenangan ancaman potensial melalui Keppres), dan Pasal 17 ayat 2 (kewenangan diskonsepsional perumusan legislasi dan regulasi).
Deras protes RUU Kamnas tak hanya muncul dari DPR. Imparsial mencium bau tak sedap dalam pengajuan RUU ini. RUU semacam ini tak hanya muncul sekali.
Tahun 2001, pemerintah menghadirkan RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya. RUU ini mentah ketika datang ke DPR.
Tahun 2005, pemerintah menghadirkan RUU Keamanan Nasional. Imparsial mencatat RUU ini memiliki kesamaan substansi dengan RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya. DPR lagi-lagi menolak RUU ini.
RUU Kamnas sendiri sudah muncul pada tahun 2006 di Kementerian Pertahanan. Substansinya juga sama dengan dua perundangan sebelumnya. RUU ini masuk ke DPR sejak pertengahan 2012.
Substansi RUU ini menyerahkan berbagai kewenangan penegakan hukum dan kewenangan pada sektor pertahanan dan intelijen, TNI dan BIN. Direktur Imparsial, Al Araf khawatir RUU ini membawa kelompok kepentingan untuk menekan kebebasan sipil seperti pada masa Orde Baru.
“Saya melihat tidak ada perubahan secara substansi dari RUU sebelumnya. Bisa dibilang RUU ini usang dan tidak jelas peruntukannya,” jelasnya.
Majalah detik mencatat, RUU Kamnas sebelumnya telah dikoordinasikan dengan Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Kemenko Polhukam) sejak Februari 2007. Kementerian Pertahanan bermaksud untuk melakukan koordinasi dalam manajemen keamanan antara Polisi dengan TNI. Pertimbangannya, wilayah Indonesia terlampau luas.
Tahun 2008, draf RUU Kamnas kembali dibahas di Lembaga Ketahanan Nasional. Ketika selesai disusun, RUU ini direpresentasikan kepada Menko Polhukam dan diserahkan ke Kementerian Pertahanan untuk disusun sebagai RUU.
Menteri Pertahanan yang kala itu dijabat oleh Juwono Sudarsono menganggap peranan bersama antara TNI, Polri, Kementerian Dalam Negeri, Bea Cukai, dan Imigrasi adalah dalam hal penanganan keamanan.
Pansus RUU Kamnas yang merupakan gabungan antara Komisi I (Pertahanan) dan Komisi III DPR (Hukum) sendiri pesimis jika RUU ini akan lolos dalam pembahasan. Sejumlah substansi RUU bertabrakan dengan RUU lainnya, seperti UU Kepolisian, Pertahanan, MA, dan lainnya.
“Draf yang sekarang ada itu bisa mengganggu prinsip yang harus dipegang teguh yaitu supremasi sipil, penegakan hukum, hak asasi manusia dan demokrasi,” tutur Ketua Pansus RUU Kamnas, Agus Gumiwang.
Pansus berencana mengembalikan RUU Kamnas kepada pemerintah. Pengembalian ini dilakukan dalam rapat pembahasan bersama antara pansus dengan pemerintah. Informasi yang diterima oleh majalah detik, pengembalian dilakukan pada 16 Oktober 2012 ini.
Surut di DPR ternyata tak menundukkan sikap pemerintah. Wakil Menteri Pertahanan, Sjafrie Sjamsoeddin masih berharap agar RUU ini dapat lolos. Legislasi keamanan hanya memiliki satu dasar hukum, yakni UU No. 6 Tahun 1946 tentang Keamanan Nasional yang diperbarui dengan Perpu 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya.
“Jadi UU ini sudah lama dan hanya bisa berlaku untuk negara otoritarian, tidak sesuai dengan negara demokrasi. Maka secara legal, historis dan politis, dapat dilihat latar belakang kenapa UU Kamnas ini harus dibentuk,” keluhnya.
Harapan ini disambut oleh koalisi pemerintah dalam Sekretariat Gabungan (Setgab). Pertemuan yang mereka gelar pada Kamis 4 Oktober 2012 lalu memberikan dukungan keberlanjutan RUU Kamnas. Namun langkah teknis atas dukungan ini belum dibahas lebih lanjut. (ARY/YOG)
TB Hasanuddin duduk di ruangannya. Kepalanya masih panas. Sudah berbulan-bulan debat Rancangan Undang-Undang Keamanan Nasional (RUU Kamnas) belum menemukan
titik temu, alias buntu.
Senin 1 Oktober 2012, tamu yang diharapkan TB Hasanuddin akhirnya datang. Purnomo Yusgiantoro, berbaju safari datang ke ruangannya. Pertemuan tak resmi digelar, sekadar mencairkan RUU yang dibawa atas nama pertahanan republik.
TB Hasanuddin duduk di fraksi oposisi, PDIP. Kata tak sedap memang ia keluarkan untuk menolak RUU ini, tetapi yang membuat kepalanya panas adalah keinginan pemerintah untuk terus meloloskan RUU ini.
Namun pertemuan itu benar-benar mencairkan ketegangan, Purnomo mengibarkan bendera putih. Pemerintah bermaksud menarik RUU Kamnas.
“RUU Kamnas resistensinya tinggi. Saya ketemuan dan ngobrol nonformal dengan Menhan. Ya, begini tidak diteruskan,” ungkapnya ketika ditemui di gedung Nusantara I DPR, Senayan, Jakarta Pusat.
Memang perjalanan RUU Kamnas sarat protes. Setidaknya 5 pasal RUU Kamnas rentan penyalahgunaan kekuasaan. Pasal itu adalah Pasal 54e (kuasa khusus berupa penyadapan, penangkapan, dan pemeriksaan), Pasal 59 (penghapusan UU), Pasal 22 jo 23 (kewenangan kepada intelijen/BIN sebagai penyelenggaraan Kamnas), pasal 10 jo 15 jo 34 (darurat sipil), Pasal 17 ayat 4 (kewenangan ancaman potensial melalui Keppres), dan Pasal 17 ayat 2 (kewenangan diskonsepsional perumusan legislasi dan regulasi).
Deras protes RUU Kamnas tak hanya muncul dari DPR. Imparsial mencium bau tak sedap dalam pengajuan RUU ini. RUU semacam ini tak hanya muncul sekali.
Tahun 2001, pemerintah menghadirkan RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya. RUU ini mentah ketika datang ke DPR.
Tahun 2005, pemerintah menghadirkan RUU Keamanan Nasional. Imparsial mencatat RUU ini memiliki kesamaan substansi dengan RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya. DPR lagi-lagi menolak RUU ini.
RUU Kamnas sendiri sudah muncul pada tahun 2006 di Kementerian Pertahanan. Substansinya juga sama dengan dua perundangan sebelumnya. RUU ini masuk ke DPR sejak pertengahan 2012.
Substansi RUU ini menyerahkan berbagai kewenangan penegakan hukum dan kewenangan pada sektor pertahanan dan intelijen, TNI dan BIN. Direktur Imparsial, Al Araf khawatir RUU ini membawa kelompok kepentingan untuk menekan kebebasan sipil seperti pada masa Orde Baru.
“Saya melihat tidak ada perubahan secara substansi dari RUU sebelumnya. Bisa dibilang RUU ini usang dan tidak jelas peruntukannya,” jelasnya.
Majalah detik mencatat, RUU Kamnas sebelumnya telah dikoordinasikan dengan Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Kemenko Polhukam) sejak Februari 2007. Kementerian Pertahanan bermaksud untuk melakukan koordinasi dalam manajemen keamanan antara Polisi dengan TNI. Pertimbangannya, wilayah Indonesia terlampau luas.
Tahun 2008, draf RUU Kamnas kembali dibahas di Lembaga Ketahanan Nasional. Ketika selesai disusun, RUU ini direpresentasikan kepada Menko Polhukam dan diserahkan ke Kementerian Pertahanan untuk disusun sebagai RUU.
Menteri Pertahanan yang kala itu dijabat oleh Juwono Sudarsono menganggap peranan bersama antara TNI, Polri, Kementerian Dalam Negeri, Bea Cukai, dan Imigrasi adalah dalam hal penanganan keamanan.
Pansus RUU Kamnas yang merupakan gabungan antara Komisi I (Pertahanan) dan Komisi III DPR (Hukum) sendiri pesimis jika RUU ini akan lolos dalam pembahasan. Sejumlah substansi RUU bertabrakan dengan RUU lainnya, seperti UU Kepolisian, Pertahanan, MA, dan lainnya.
“Draf yang sekarang ada itu bisa mengganggu prinsip yang harus dipegang teguh yaitu supremasi sipil, penegakan hukum, hak asasi manusia dan demokrasi,” tutur Ketua Pansus RUU Kamnas, Agus Gumiwang.
Pansus berencana mengembalikan RUU Kamnas kepada pemerintah. Pengembalian ini dilakukan dalam rapat pembahasan bersama antara pansus dengan pemerintah. Informasi yang diterima oleh majalah detik, pengembalian dilakukan pada 16 Oktober 2012 ini.
Surut di DPR ternyata tak menundukkan sikap pemerintah. Wakil Menteri Pertahanan, Sjafrie Sjamsoeddin masih berharap agar RUU ini dapat lolos. Legislasi keamanan hanya memiliki satu dasar hukum, yakni UU No. 6 Tahun 1946 tentang Keamanan Nasional yang diperbarui dengan Perpu 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya.
“Jadi UU ini sudah lama dan hanya bisa berlaku untuk negara otoritarian, tidak sesuai dengan negara demokrasi. Maka secara legal, historis dan politis, dapat dilihat latar belakang kenapa UU Kamnas ini harus dibentuk,” keluhnya.
Harapan ini disambut oleh koalisi pemerintah dalam Sekretariat Gabungan (Setgab). Pertemuan yang mereka gelar pada Kamis 4 Oktober 2012 lalu memberikan dukungan keberlanjutan RUU Kamnas. Namun langkah teknis atas dukungan ini belum dibahas lebih lanjut. (ARY/YOG)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.