Ayah Panglima |
Lhoksukon - Tentara Nasional Indonesia (TNI) genap
sudah berusia 67 Tahun. Di usia yang sudah matang itu cukup banyak
prestasi yang telah diraih. Namun, seperti apa nasib para veteran yang
ada di Aceh dan sekitarnya? Adakah mereka bahagia?.
Senin, 09 Oktober 2012, disebuah warung kopi Kota Lhokseumawe, tibalah seorang kakek renta yang mengenakan pakaian ala militer lengkap dengan pangkat dan jabatan. Tinggi badannya hanya 160 cm, semua kulit tubuhnya mulai keriput, disertai dengan urat-urat hijau yang mulai terlihat. Di pinggang kakek yang renta itu, terselip rencong yang ukurannya sekitar 30 cm. Penasaran dengan gaya dan sikap si kakek yang unik penuh kreatif, The Globe Journal mengajaknya untuk berbincang sejenak mengenai pengalaman hidupnya. Ternyata ia mantan Komandan Peleton I di tahun 1942.
Nama lengkapnya adalah Abdul Aziz Mahmud, sebagian orang sering memanggil dengan sebutan Ayah Panglima. Beliau dilahirkan di Desa Tambon Baroh, Dusun 4, Kecamatan Dewantara, hari Kamis tanggal 29 Desember 1921. Ayah Panglima menyebut dirinya bahwa dimasa pertempuran antara RI dengan Belanda, tiga tahun sebelum kemerdekaan RI, ia berpangkat Letnan Dua Infantri (Letda. Inf), dengan jabatan Komandan Kompi 21, Danton I Kelas II, dan Danyon-VI.
Sembari menikmati kopi khas Aceh, Ayah Panglima menceritakan singkat kisah hidupnya sebagai pejuang dan veteran. "Masa itu, saya bergabung sebagai pejuang di usia 30 tahun," katanya dengan senyum sumringah tanpa gigi lagi. Mantan pejuang ini terlihat semangat, tak ada kelelahan yang terlihat dari raut wajahnya yang dimakan usia.
Senin, 09 Oktober 2012, disebuah warung kopi Kota Lhokseumawe, tibalah seorang kakek renta yang mengenakan pakaian ala militer lengkap dengan pangkat dan jabatan. Tinggi badannya hanya 160 cm, semua kulit tubuhnya mulai keriput, disertai dengan urat-urat hijau yang mulai terlihat. Di pinggang kakek yang renta itu, terselip rencong yang ukurannya sekitar 30 cm. Penasaran dengan gaya dan sikap si kakek yang unik penuh kreatif, The Globe Journal mengajaknya untuk berbincang sejenak mengenai pengalaman hidupnya. Ternyata ia mantan Komandan Peleton I di tahun 1942.
Nama lengkapnya adalah Abdul Aziz Mahmud, sebagian orang sering memanggil dengan sebutan Ayah Panglima. Beliau dilahirkan di Desa Tambon Baroh, Dusun 4, Kecamatan Dewantara, hari Kamis tanggal 29 Desember 1921. Ayah Panglima menyebut dirinya bahwa dimasa pertempuran antara RI dengan Belanda, tiga tahun sebelum kemerdekaan RI, ia berpangkat Letnan Dua Infantri (Letda. Inf), dengan jabatan Komandan Kompi 21, Danton I Kelas II, dan Danyon-VI.
Sembari menikmati kopi khas Aceh, Ayah Panglima menceritakan singkat kisah hidupnya sebagai pejuang dan veteran. "Masa itu, saya bergabung sebagai pejuang di usia 30 tahun," katanya dengan senyum sumringah tanpa gigi lagi. Mantan pejuang ini terlihat semangat, tak ada kelelahan yang terlihat dari raut wajahnya yang dimakan usia.
"Pertama kali saya tugas di Kuala Simpang. Disana, saya tidak
sendiri, tapi ada satu kompi yang berjumlah sekitar 13 orang pada masa
itu," katanya lagi.
Di Kuala Simpang itu, 13 personel atau satu kompi diserang habis-habisan oleh militer Belanda yang sedang melintas di jembatan Kuala Simpang. "Allah Maha Penyayang, kami tak ada yang gugur ketika diserang ratusan personel Belanda dengan senjata lengkap. Sebelum penyerangan, kami sudah menunggu militer Belanda di bawah jembatan. Alhasil, dua orang personel Belanda saat itu gugur ditempat". Meski tak ada yang gugur, namun tiga timah panas berhasil menembus tangan Ayah Panglima dan kedua paha kiri dan kanan.
Sambil bercerita, veteran ini menunjukkan bekas luka tembakan di kedua pahanya dan tangan. "Meski saat itu saya terkena tembakan, namun kami tetap melakukan penyerangan dengan senjata jenis Lee Enfield. Saya tidak peduli, walaupun darah mulai membasahi kedua paha dan tangan saya,". Penyerangan tersebut berlangsung selama setengah hari, kata Ayah Panglima. Usai penyerangan dilakukan tim Ayah Panglima yang masa itu dipimpin oleh Detasemen 3, Letkol. Inf. Tgk. Hanafiah Teupin Raya, bergegas meninggalkan tempat untuk beristirahat.
Sambung cerita, pada tahun 1944, Ayah Panglima bersama 13 personel lainnya bergerak pindah tugas di Kawasan Kota Langsa. Kemudian, mereka beristirahat di kawasan Geubang, perbatasan antara Aceh dengan Sumatera Utara, tahun 1945. "Setelah mendengar bahwa Indonesia telah merdeka, maka kami pun mulai istirahat tahun 1945," tutup Abdul Aziz alias Ayah Panglima.
Di Kuala Simpang itu, 13 personel atau satu kompi diserang habis-habisan oleh militer Belanda yang sedang melintas di jembatan Kuala Simpang. "Allah Maha Penyayang, kami tak ada yang gugur ketika diserang ratusan personel Belanda dengan senjata lengkap. Sebelum penyerangan, kami sudah menunggu militer Belanda di bawah jembatan. Alhasil, dua orang personel Belanda saat itu gugur ditempat". Meski tak ada yang gugur, namun tiga timah panas berhasil menembus tangan Ayah Panglima dan kedua paha kiri dan kanan.
Sambil bercerita, veteran ini menunjukkan bekas luka tembakan di kedua pahanya dan tangan. "Meski saat itu saya terkena tembakan, namun kami tetap melakukan penyerangan dengan senjata jenis Lee Enfield. Saya tidak peduli, walaupun darah mulai membasahi kedua paha dan tangan saya,". Penyerangan tersebut berlangsung selama setengah hari, kata Ayah Panglima. Usai penyerangan dilakukan tim Ayah Panglima yang masa itu dipimpin oleh Detasemen 3, Letkol. Inf. Tgk. Hanafiah Teupin Raya, bergegas meninggalkan tempat untuk beristirahat.
Sambung cerita, pada tahun 1944, Ayah Panglima bersama 13 personel lainnya bergerak pindah tugas di Kawasan Kota Langsa. Kemudian, mereka beristirahat di kawasan Geubang, perbatasan antara Aceh dengan Sumatera Utara, tahun 1945. "Setelah mendengar bahwa Indonesia telah merdeka, maka kami pun mulai istirahat tahun 1945," tutup Abdul Aziz alias Ayah Panglima.
Kini, veteran tersebut hanya berjalan setapak di panasnya terik
matahari dan tak lekang dari pakaian militer lengkap pangkat dan
jabatan. Ayah Panglima memiliki satu isteri (cerai) dan dua anak. Ayah
kandung Aziz bernama Serda Mustafa Adam yang telah meninggal di usia 56
tahun saat masa penjajahan Belanda. Kini, Aziz tinggal dirumah semi
permanen ukuran 9x6 yang merupakan bantuan dari mantan Pangdam Iskandar
Muda, Mayjen TNI Supiadin AS, enam tahun yang lalu. Dan sampai sekarang,
Aziz masih terima jerih keringatnya tiap bulan muda senilai satu juta
tiga ratus.
Berikut ini, adalah rincian dari Ayah Panglima terhadap nama-nama personel veteran RI Detasemen 3 di masa penjajahan Belanda, yang ikut menyerang belanda di Kuala Simpang.
Berikut ini, adalah rincian dari Ayah Panglima terhadap nama-nama personel veteran RI Detasemen 3 di masa penjajahan Belanda, yang ikut menyerang belanda di Kuala Simpang.
- Serka Cut Bang Geuchik Thaib Uteun Geulinggang (usia 96 tahun),
- Serka Hasan (almarhum, usia 78 tahun)
- Serka Cut Bang Ali Machan (almarhum, usia 88 tahun)
- Sertu Peutua Balu (almarhum, usia 64 tahun)
- Lettu Ben Puteh Tulot (masih ada, lahir 1912)
- Serma Yahya Blang Pala (almarhum, usia 88 tahun)
- Sertu T. M. Risyad (usia 70 tahun)
- Serka Tgk. Arfan Bin Buleun.
"Sebanyak 126 negara di dunia ini, yang merdeka di hari Jum'at adalah hanya negara Republik Indonesia, yaitu hari Jum'at, 17 Agustus 1945 tepat bulan Ramadhan," tutup Aziz.
"Sebanyak 126 negara di dunia ini, yang merdeka di hari Jum'at adalah hanya negara Republik Indonesia, yaitu hari Jum'at, 17 Agustus 1945 tepat bulan Ramadhan," tutup Aziz.
Kenikmatan dari amal mulia yg disertai keikhlasan, diperlihatkan kpd kita. Kebahagian yg tetap di hati Ayah Panglima menunjukkan bahwa amal perjuangan beliau diterima Alloh SWT, Tuhan yang menciptakannya, semoga, dan akan mendapatkan yg lebih nikmat lagi besok di akhirat, di sisiNya. Aamiiin... terimakasih Ayah Panglima!...
BalasHapus