"Ada proses hukum dan keberadaan lembaga negara yang tidak dihormati."
Brigjen Untung K Yudhoyono |
TNI AD menyatakan, 11 oknum melakukan penyerbuan yang menewaskan empat tahanan tersangka pembunuhan prajurit TNI AD Sersan Kepala, Heru Santoso, itu akan diusut sesuai hukum yang berlaku.
Ketua Tim Investigasi TNI AD Brigadir Jenderal (CPM), Unggul K Yudhoyono, mengatakan, lancarnya proses investigasi yang dilakukan timnya karena dilandasi kejujuran dan keterbukaan para pelaku. "Menjadi catatan khusus, bahwa para pelaku secara kesatria telah mengakui perbuatan sejak hari pertama penyelidikan, 29 Maret 2013," ujar Unggul dalam keterangan pers di Jakarta, Kamis 4 April 2013.
"Penyerangan tersebut merupakan tindakan seketika yang dilatarbelakangi jiwa korsa dan membela kesatuan," kata Unggul.
Para pelaku ini berdinas di Kopassus Grup Dua, Kandang Menjangan, Kartosuro, Jawa Tengah. Unggul melanjutkan, penyerangan itu dilakukan setelah mereka mendengar salah satu anggota Kopassus, Serka Heru Santoso, diserang oleh sekelompok preman di Hugo's Cafe, Yogyakarta, hingga tewas pada 19 Maret 2013 dan pembacokan Sertu Sriyono pada 20 Maret 2013.
"Mereka membela kesatuan setelah mendapat kabar tentang pengeroyokan dan pembunuhan secara sadis dan brutal terhadap anggota Kopassus atas nama Serka Heru Santoso," tuturnya.
Dari 11 orang itu hanya satu yang bertindak sebagai eksekutor, inisialnya U. Prajurit berinisial U, yang memimpin serangan, dibantu dengan delapan pendukung melakukan penyerangan menggunakan Mobil Avanza biru dan Suzuki APV hitam. "Dari 11 orang tersebut, 3 orang berasal dari pelatihan Gunung Lawu," kata Unggul.
Menurut dia, selain motif membela kehormatan kesatuan, pelaku penembakan juga mengaku memiliki utang budi kepada Heru saat bertugas. "Serka Heru merupakan atasan langsung pelaku yang juga pernah berjasa menyelamatkan jiwa pelaku saat melakukan operasi," kata Unggul.
Kini tim investigasi menyampaikan bahwa pelaksanaan penyelidikan sudah dilakukan, berjalan dengan lancar dan dapat menetapkan kesimpulan awal dalam masa kerja 6 hari, dengan kejujuran dan keterbukaan.
Latihan di Gunung Lawu
Beberapa prajurit Kopassus tersebut sedang latihan di Gunung Lawu ketika mendengar ada teman meraka dikeroyok dan dibunuh dengan keji, sadis dan brutal, pada pertengahan Maret lalu.
Selasa 19 Maret dini hari, pukul 02.45, Sersan Satu Heru Santosa yang tercatat mantan anggota Komando Pasukan Khusus (Kopassus) Kandang Menjangan Kartosuro tewas di tempat hiburan Hugo's Cafe, Jalan Adisucipto, Depok, Sleman.
Heru tewas setelah ditikam dengan pecahan botol minuman keras di bagian dada. Insiden ini berawal ketika korban dikeroyok oleh 7 orang yang salah satunya berinisial DA yang tinggal di asrama Nusa Tenggara Timur di Lempuyangan, Yogyakarta. "Pelakunya adalah DA. Semua orang tahu siapa DA. Pelaku sudah diamankan oleh pihak keamanan Hugos Cafe," kata salah satu sumber yang enggan disebutkan namanya.
Keesokan harinya, lagi seorang prajurit TNI, Sersan Satu Sriyono, yang dikeroyok di Jalan Sutomo, Yogyakarta. Kepala Satuan Reserse Kriminal Polresta Yogyakarta Komisaris Dodo Hendra Kusuma menceritakan sebelum terjadi pengeroyokan, Sriyono sempat bertengkar dengan seseorang. "Kemudian datang belasan orang dengan menggunakan satu mobil dan sekitar tujuh sepeda motor. Salah satunya perempuan," kata Dodo, Kamis 21 Maret 2013.
Usai bertengkar, Sriyono dikeroyok oleh belasan orang tersebut. Dia sempat berlari ke arah utara hingga depan bekas Bioskop Mataram. “Di lokasi Tersebut dia dikeroyok lagi. Dalam pengeroyokan pelaku menggunakan senjata tajam dan tongkat pemukul berantai (double stick)."
Korban pun terkapar karena luka akibat senjata tajam. Kepala Sriyono robek karena sabetan senjata tajam. Warga yang melihat kemudian melarikannya ke RS Bethesda Yogyakarta. Kepala Sriyono harus dijahit karena luka yang cukup dalam.
Baru Kamisnya, polisi menangkap empat orang termasuk yang diduga menikam Sertu Heru sampai tewas, yakni Hendrik Benyamin Sahetapy Engel alias Dicky Ambon (31 tahun), Yohanes Juan Mambait alias Juan (38 tahun), Gameliel Yermianto Rohi Riwu alias Adi (29 tahun), dan Adrianus Candra Galaja alias Dedi (33 tahun).
Dicky Ambon adalah gembong preman yang lama meresahkan warga Yogyakarta. Ia punya banyak catatan kriminal di wilayah Yogyakarta. Bahkan, pria lelaki kelahiran Kupang, Nusa Tenggara Timur, tersebut tertera pada data Polresta Yogyakarta pernah ditahan dalam kasus pemerkosaan dan pembunuhan. Yang lebih "hebat" lagi, saat ditangkap dalam kasus pemerkosaan, dia baru saja bebas bersyarat dengan sisa masa tahanan 2,5 tahun akibat kasus pembunuhan di Jalan Solo pada tahun 2002.
Unggul menuturkan, belasan oknum Kopassus lalu mendengar informasi mengenai pembunuhan itu secara tidak sengaja dari masyarakat yang mengetahui adanya pembunuhan tersebut. "Ini informasi didapatkan secara tak sengaja. Di jalan, dengar dari orang. Makanya mereka bergerak ke Lapas Cebongan, jadi tidak ada info yang disampaikan resmi. Jadi secara kebetulan. Masyarakat ditanya di jalan," tuturnya.
Setelah mendengar kematian Sertu Heru yang mengenaskan, belasan prajurit ini pun naik pitam. "Karena jiwa rasa korsa mereka reaksi dan ajak temannya yang berjumlah 11 orang. Ini karena jiwa korsa tinggi. Apalagi proses penganiayaan begitu sadis, brutal dan biadab," kata Unggul. "Namun, penerapan jiwa korsa tersebut adalah penerapan yang tidak tepat."
Tim bergerak dengan menggunakan dua unit mobil, Toyota Avanza biru dan Suzuki APV warna hitam. Sementara 2 orang prajurit yang menggunakan kendraan Daihatsu Feroza tidak dapat mencegah tindakan penembakan itu.
"Dua orang menggunakan kendaraan Daihatsu Feroza yang berusaha mencegah tindakan rekan-rekannya tersebut. 11 Orang tersebut terdapat tiga orang berasal dari daerah latihan Gunung Lawu," kata Unggul. "Serangan tersebut menggunakan 6 pucuk senjata. Terdiri dari 3 pucuk jenis AK-47 yang di bawa dari daerah latihan, 2 pucuk AK-47 replika dan 1 pucuk pistol Sig Sauer replika."
Dan setelah berhasil melakukan pembunuhan empat tahanan itu, mereka membawa kabur kamera CCTV beserta rekamannya. "Mereka mengakui barang bukti yang dibawa sudah dimusnahkan dan dibuang ke Sungai Bengawan Solo," kata Unggul di Media Center Dinas Penerangan Angkatan Darat, Jakarta, Kamis 4 April 2013.
Unggul lantas menanyakan dengan cara apa mereka memusnahkan. "Mereka jawab dibakar sebagian," ujarnya.
Salah Dihukum, Benar Dibela
Tim Investigasi ini dibentuk KSAD Jenderal Pramono Edhie Wibowo pada 29 Maret 2013 lalu. Sejak dibentuknya tim, kata Kepala Dinas Penerangan TNI AD Brigjen Rukman Ahmad, para pelaku sudah mengakui perbuatannya.
Dia menegaskan, TNI AD akan menjunjung tinggi proses penegakan hukum terhadap siapapun pelaku penyerangan Lapas Cebongan. "Sehubungan dengan ini, TNI AD telah membuktikan jaminan penegakan hukum bagi prajurit yang bersalah," kata Rukman yang jumpa pers bersama Unggul.
Bercermin pada kasus pembakaran Mapolres Ogan Komering Ulu, kata Rukman, tim investigasi bekerja dengan cepat dan berupaya mencapai hasil sebaik-baiknya, selengkap-lengkapnya, dan transparan.
Sabtu lalu, Jenderal Edhie Pramono Wibowo sendiri menyampaikan menjamin akan menindak anggotanya jika terlibat dalam penyerangan Lembaga Pemasyarakatan Cebongan, Sleman, Yogyakarta yang menewaskan empat orang. "Intinya yang salah saya hukum, yang benar saya bela," kata Edhie Pramono di Mabes TNI AD.
Sementara Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Djoko Suyanto mengapresiasi tim investigasi TNI yang berhasil mengungkap kasus penyerangan Lapas Cebongan ini. "Apresiasi yang tinggi kepada KSAD dan tim investigasi yang telah bergerak cepat sesuai instruksi Presiden melalui Panglima TNI dan Kapolri," kata Djoko.
Menurut Djoko, ini baru babak awal dari jawaban atas kasus yang menewaskan empat tahanan titipan Polda DI Yogyakarta. "Harus terus dilakukan penyidikan-penyidikan yang lebih tajam sebelum diajukan ke Mahkamah Militer," ujar dia.
Kini persoalannya, jika terbukti memang personel TNI yang melakukan penyerangan, bisa dikategorikan pelanggaran hak asasi manusia. Ketua Komisi Nasional untuk Hak Asasi Manusia Siti Nurlaela jauh-jauh hari sudah menyatakan ada indikasi pelanggaran HAM.
Alasannya, Dicky Ambon cs sedang menjalani proses hukum akibat perbuatan kriminal mereka, namun dibunuh secara brutal dengan cara diberondong di sel mereka di dalam Lapas. Siti juga menyatakan gerombolan yang menyerbu penjara melakukan pelanggaran berat terhadap kehormatan lembaga negara. "Dalam kejadian di Lapas Cebongan, ada proses hukum dan keberadaan lembaga negara yang tidak dihormati," kata Nurlaela.
● VIVAnews
buat apa di hormati,.HUKUM YG BODOH membebas bersyaratkan manusia hina yg punya catatan kejahatan bejibun,ingat itu KOMNAS HAM,dengan membebas-bersyaratkan Gembong Preman dan melepasnya ke masyarakat Maka HAM masyrakat bnyak terrenggut...INGAT ITU KOMNAS HAM..!!!
BalasHapusdimana itu KOMNAS HAM Ketika bnyk rakyat ketakutan karena intimidasi PREMAN2 yg bahkan di bekingi Oknum berbaju Coklat...MANA KERJA MU..!!!
Mending wes...dipateni ae preman / mafia iku...lek perlu " Petrus" diaktifno maneh hehe
BalasHapusSiti nurlaela adalah antek barat. Bunuh siti nurlaela. Dan bunuh setiap preman yang ada di wilayah nkri. Hukum tdk episien terbukti premanisme tdk pernah lengyap bahkan semakin menggila. Polisi hanya makan gaji buta dari duit rakyat. Hanya tni yang berani melenyapkan premanisme. Harus nya tanggung jawab polri atas muncul nya stiap indipidu preman' dimana kepolisian..? Jaya kopassus kami semua salut.. Salam hormat setinggi-tinggi nya untuk KOPASSUS
BalasHapus