Polri dan TNI bersiaga DI LP Cebongan |
Pakar intelijen Soeripto berpandangan, pembunuhan empat tersangka
pembunuh mantan anggota Kopassus Sertu Santoso di Lapas Kelas IIB
Cebongan, Sleman, sebagai aksi balas dendam. Meski begitu, ia enggan
berterus terang, siapa eksekutor yang melakukan penyerangan ke Lapas
Cebongan.
Hanya saja, Soeripto menilai, kasus itu tidak perlu
terjadi kalau pimpinan tertinggi daerah mengetahui pergerakan prajurit.
Ia menilai, gara-gara ada kesenjangan antara perwira menengah (pamen)
dan perwira tinggi (pati), maka bisa muncul pergerakan pasukan secara
liar. Karena itu, ia tidak kaget dengan pernyataan Pangdam IV/Diponegoro
Mayjen Hardiono Saroso yang informasinya ternyata terbantahkan oleh
statemen KSAD Jenderal Pramono Edhie Wibowo.
“Ada kesenjangan
antara pamen dan jenderal, satu sama lain berseberangan. Padahal, pamen
lebih tahu di lapangan,” katanya di Jakarta, Ahad (31/3). Pasalnya, yang
bisa memerintah prajurit itu seorang pamen, bukan jenderal.
Soeripto mengistilahkan, line of command
dari atas ke bawah tampak terganggu. Artinya, informasi yang diterima
seorang jenderal kadang tidak langkap dari bawah. Kalau lengkap mendapat
pasokan informasi dari bawah, kritik doa, maka tidak ada silang
pendapat dalam tubuh internal TNI AD.
Menurut data yang
didapatkannya, hampir di setiap satuan TNI maupun Polri, sedang
menggejala adanya kemacetan jenjang karier. Seorang komandan berpangkat
kolonel yang ingin memasuki jenjang jenderal harus menempuh jenjang
pendidikan yang memerlukan dana besar.
Karena itu, yang terjadi
unsur kolusi, nepotisme atau kedekatan keluarga lebih berperan dalam
penentuan jenjang kenaikan pangkat. “Untuk kompetisi itu sulit. Sumber
keresahan yang menyebabkan hubungan line of command kurang lancar,” ujar politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu.
Tugas intel sekarang tak semudah era Orde Baru
Pembakaran Polres OKU |
Mantan anggota Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin), Soeripto
mengatakan, tugas intelijen dalam menganalisa keadaan saat ini tidak
semudah seperti zaman Orde Baru. Menurutnya, kondisi sekarang sudah
dalam keadaan sangat gawat.
"Menganalisa keadaan tidak semudah zaman Orde Baru, karena saat ini
serba keterbukaan. Jika salah informasi bisa menimbulkan kesesatan atau
black propaganda," kata Soeripto di Restoran Dapur Selera, Jakarta,
Minggu(31/3).
Mantan Sekjen Departemen Kehutanan dan Perkebunan periode 1999-2001
ini menilai, dampak besar akan lalainya kinerja intelijen sudah mulai
terasa. Salah satu contohnya, kasus pembakaran Mapolres Ogan Komering
Ulu (OKU), Sumatera Selatan, yang dilakukan oleh puluhan personel TNI.
Selain itu, kasus penembakan empat tahanan di Lapas Cebongan, DIY.
"Artinya kita harus duduki persoalannya dan harus ambil tindakan.
Sekarang kita harus bisa menganalisa keadaan. Saya tidak tahu intelijen
ini mengamati keadaan ataukah serampangan memantau keadaan," tegas dia.
Oleh sebab itu, dia mengimbau kepada Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) agar segera menuntaskan kasus-kasus yang bersinggungan
langsung dengan aparat penegak hukum. Jika kasus kekerasan tersebut
terus terjadi, lanjut Soeripto, maka keutuhan Indonesia akan semakin
terancam.
"Dikhawatirkan bahwa ke depannya ini akan berpotensi dis-integrasi
akan semakin banyak. Peristiwa lagi yang terjadi menyebabkan negara kita
rawan dan mengkhawatirkan. Intelijen itu hanya salah satu sumber
informasi mengambil keputusan," tandasnya.(mdk/dan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.