Jarangnya penduduk (54 ribu jiwa untuk daerah seluas 2.315 km2) dan lokasinya yang menghadap langsung ke Samudera Pasifik sesuai untuk memenuhi prasyarat sebuah lokasi peluncuran roket yang harus menghadap ke laut bebas dan jauh dari wilayah berpenduduk padat.
Pulau Morotai juga dinilai sebagai alternatif terbaik di antara dua lokasi pilihan lainnya, seperti Pulau Enggano, Bengkulu dan Pulau Biak, Papua, kata Deputi bidang Teknologi Dirgantara Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Dr. Ing. Soewarto Hardhienata.
"Pada 6 November ini kami mulai mempersiapkan pengiriman perlengkapan peluncuran beserta roketnya melalui kapal ke Morotai, mungkin sekitar 20 hari perjalanan. Diharapkan awal Desember peluncuran roket sudah bisa dimulai, ini sebagai uji coba lokasi," katanya.
Lapan, ujarnya, sejak lama telah berencana mengembangkan roket pengorbit satelit (RPS) yang didesain dan dibuat secara mandiri di dalam negeri untuk mengorbitkan satelit yang juga buatan sendiri.
Namun Desember ini roket-roket yang diluncurkan untuk uji terbang di Morotai memang masih roket-roket ukuran kecil yakni dua unit RX 1210 dan empat unit RX 1220 yang digunakan untuk misi pertahanan, ujarnya.
"Roket pengorbit satelit yang berskala besar merupakan rencana jangka panjang Lapan untuk 2025, karena untuk sekarang ini Lapan masih menggunakan roket milik India untuk meluncurkan satelit. Lokasi peluncurannya pun dari negara itu," katanya.
Satelit Lapan-Tubsat (Lapan A1) seberat 57 kg buatan Lapan telah diluncurkan sejak Januari 2007 dari Pusat Antariksa Satish Dhawan, India untuk keperluan memantau kondisi bumi dan pemantauan lalu lintas kapal.
Satelit berikutnya yang sudah siap adalah Lapan A2 yang dijadwalkan akan diluncurkan pada 2013, namun ditunda hingga 2014 karena kesiapan roket India yang belum selesai. Lapan A2 ini akan disusul satelit Lapan A3 di tahun berikutnya.
"Indonesia adalah negara kepulauan yang luas. Satelit adalah alat yang tak bisa ditawar lagi di zaman modern ini, terkait pentingnya komunikasi antarwilayah dan optimasi sumber daya alam melalui pengamatan penginderaan jauh serta untuk kepentingan keamanan wilayah," katanya.
Pengembangan roket Lapan, lanjut dia, ditujukan baik untuk kepentingan ilmiah maupun kepentingan pertahanan, yang dalam jangka panjang juga mengarah pada peluncuran satelit.
Dimulai dengan RX 320 yang diluncurkan pada 2008, disusul RX 420 pada 2009 dan terakhir mempersiapkan roket RX-550 (Kaliber 550mm) dengan jangkauan 300 km yang masih dalam tahap uji statis.
Teknologi roket, urai Soewarto, bisa digunakan untuk berbagai kepentingan, baik sipil maupun militer, tergantung dari muatannya, apakah berupa sensor ilmiah untuk kepentingan pengamatan bumi atau satelit untuk keperluan komunikasi, atau berupa hulu ledak.
Untuk misi pertahanan, teknologi roket Lapan sudah diadopsi oleh Konsorsium Roket yang terdiri dari Kemhan, Kemristek, PT Pindad, PT Dahana, dan PT DI yang ditandai dengan diproduksi sebanyak 200 unit roket dinamai R Han-122 dengan daya jangkaunya 20 km pada 2012 dan 2013.
Roket R Han 122 ini akan disusul R Han 220 berdaya jangkau 40 km yang sedang dikembangkan konsorsium untuk kepentingan peningkatan kapasitas personel militer.
Pengganti Pamengpeuk
Menurut Kepala Pusat Teknologi Roket Lapan Dr Rika Andiarti, selama ini Lapan menggunakan Instalasi Peluncuran Roket di Pameungpeuk, Garut untuk melakukan uji terbang roket dengan ketinggian terbatas.
Instalasi yang berada di Kabupaten Garut, Jawa Barat ini dibangun khusus untuk riset penguasaan teknologi dasar roket, terutama pada kinerja motor roket, agar roket dapat meluncur dengan baik, ujarnya.
Namun instalasi milik Lapan ini sudah tak lagi ideal untuk melakukan uji coba roket berukuran besar berhubung saat ini kawasan di sekitar Pantai Santolo itu sudah semakin padat penduduk, dan makin berkembang menjadi kawasan wisata.
"Untuk meluncurkan roket yang berukuran besar diperlukan lokasi yang memenuhi zona aman, mengingat faktor resiko yang ditimbulkannya lebih besar, karena itu dicarilah lokasi baru yang memenuhi syarat, sekaligus syarat sebagai bandar antariksa nasional," katanya.
Dari hasil ekspedisi di Morotai, ada enam alternatif lokasi, yakni di Tanjung Gurango, Desa Gorua, Kecamatan Morotai Utara yang jaraknya dari pemukiman penduduk 2 km, Pulau Tabailenge di depan kota Berebere dengan jarak 2,5 km, Kecamatan Morotai Utara, di Desa Bido, Kecamatan Morotai Utara yang jaraknya 2 km dari pemukiman penduduk.
Selain itu Desa Mira, Kecamatan Morotai Timur dengan jarak 1 km dari pemukiman penduduk, lokasi antara Desa Sangowo dan Desa Daeo Kecamatan Morotai Timur serta Tanjung Sangowo yang letaknya berada di antara Desa Sangowo dan Desa Mira, Kecamatan Morotai Timur.
Dari enam alternatif lokasi itu, urainya, Tanjung Sangowo merupakan wilayah yang paling potensial, karena jika ditarik garis lurus, jarak tepi dua desa ini mencapai 6,5 km sehingga jika meletakkan posisi peluncur utama di tengah antara dua desa itu, maka jaraknya lebih dari 3 km dari masing-masing desa, jauh dari kawasan penduduk.
Kontur daerah tersebut juga merupakan bukit yang sebagian besar memiliki sudut kemiringan yang tak curam, sementara di selatan kontur tanahnya datar dengan tepi pantai yang landai dan bagian utara pegunungan yang langsung bersinggungan dengan pantai dengan kemiringan cukup curam.
Kontur yang relatif datar dapat digunakan untuk daerah perakitan, penyimpanan serta pekerjaan dengan mobilitas tinggi, sedangkan peluncur yang memerlukan standar keamanan dan keselamatan tinggi dapat diletakkan di daerah yang mempunyai ketinggian cukup dari muka laut.
"Daerah terbang roket di sini bisa ke arah utara dan bisa ke timur, bebas ke laut dan juga tak melewati jarak jangkau ke pemukiman penduduk maupun ke batas negara lain," katanya.
Berbeda dengan Pameungpeuk yang baru mengantisipasi uji terbang roket skala kecil, Morotai ditargetkan menampung uji terbang roket skala besar, bahkan termasuk peluncuran satelit yang jangkauannya minimal 350 km, misalnya untuk keperluan remote sensing, bahkan sampai ketinggian 36 ribu km untuk geostation, kata Rika.
Sebelumnya Asisten Deputi Penyedia Jaringan Kemristek Goenawan Wibisana mengatakan, pihaknya sangat mendukung misi ini, khususnya karena roket berdaya jangkau hingga ratusan kilometer seperti yang ditargetkan memerlukan lokasi pengujian dan peluncuran yang representatif.
"Ini sangat penting untuk bangsa," tambahnya.
Namun Desember ini roket-roket yang diluncurkan untuk uji terbang di Morotai memang masih roket-roket ukuran kecil yakni dua unit RX 1210 dan empat unit RX 1220 yang digunakan untuk misi pertahanan, ujarnya.
"Roket pengorbit satelit yang berskala besar merupakan rencana jangka panjang Lapan untuk 2025, karena untuk sekarang ini Lapan masih menggunakan roket milik India untuk meluncurkan satelit. Lokasi peluncurannya pun dari negara itu," katanya.
Satelit Lapan-Tubsat (Lapan A1) seberat 57 kg buatan Lapan telah diluncurkan sejak Januari 2007 dari Pusat Antariksa Satish Dhawan, India untuk keperluan memantau kondisi bumi dan pemantauan lalu lintas kapal.
Satelit berikutnya yang sudah siap adalah Lapan A2 yang dijadwalkan akan diluncurkan pada 2013, namun ditunda hingga 2014 karena kesiapan roket India yang belum selesai. Lapan A2 ini akan disusul satelit Lapan A3 di tahun berikutnya.
"Indonesia adalah negara kepulauan yang luas. Satelit adalah alat yang tak bisa ditawar lagi di zaman modern ini, terkait pentingnya komunikasi antarwilayah dan optimasi sumber daya alam melalui pengamatan penginderaan jauh serta untuk kepentingan keamanan wilayah," katanya.
Pengembangan roket Lapan, lanjut dia, ditujukan baik untuk kepentingan ilmiah maupun kepentingan pertahanan, yang dalam jangka panjang juga mengarah pada peluncuran satelit.
Dimulai dengan RX 320 yang diluncurkan pada 2008, disusul RX 420 pada 2009 dan terakhir mempersiapkan roket RX-550 (Kaliber 550mm) dengan jangkauan 300 km yang masih dalam tahap uji statis.
Teknologi roket, urai Soewarto, bisa digunakan untuk berbagai kepentingan, baik sipil maupun militer, tergantung dari muatannya, apakah berupa sensor ilmiah untuk kepentingan pengamatan bumi atau satelit untuk keperluan komunikasi, atau berupa hulu ledak.
Untuk misi pertahanan, teknologi roket Lapan sudah diadopsi oleh Konsorsium Roket yang terdiri dari Kemhan, Kemristek, PT Pindad, PT Dahana, dan PT DI yang ditandai dengan diproduksi sebanyak 200 unit roket dinamai R Han-122 dengan daya jangkaunya 20 km pada 2012 dan 2013.
Roket R Han 122 ini akan disusul R Han 220 berdaya jangkau 40 km yang sedang dikembangkan konsorsium untuk kepentingan peningkatan kapasitas personel militer.
Pengganti Pamengpeuk
Menurut Kepala Pusat Teknologi Roket Lapan Dr Rika Andiarti, selama ini Lapan menggunakan Instalasi Peluncuran Roket di Pameungpeuk, Garut untuk melakukan uji terbang roket dengan ketinggian terbatas.
Instalasi yang berada di Kabupaten Garut, Jawa Barat ini dibangun khusus untuk riset penguasaan teknologi dasar roket, terutama pada kinerja motor roket, agar roket dapat meluncur dengan baik, ujarnya.
Namun instalasi milik Lapan ini sudah tak lagi ideal untuk melakukan uji coba roket berukuran besar berhubung saat ini kawasan di sekitar Pantai Santolo itu sudah semakin padat penduduk, dan makin berkembang menjadi kawasan wisata.
"Untuk meluncurkan roket yang berukuran besar diperlukan lokasi yang memenuhi zona aman, mengingat faktor resiko yang ditimbulkannya lebih besar, karena itu dicarilah lokasi baru yang memenuhi syarat, sekaligus syarat sebagai bandar antariksa nasional," katanya.
Dari hasil ekspedisi di Morotai, ada enam alternatif lokasi, yakni di Tanjung Gurango, Desa Gorua, Kecamatan Morotai Utara yang jaraknya dari pemukiman penduduk 2 km, Pulau Tabailenge di depan kota Berebere dengan jarak 2,5 km, Kecamatan Morotai Utara, di Desa Bido, Kecamatan Morotai Utara yang jaraknya 2 km dari pemukiman penduduk.
Selain itu Desa Mira, Kecamatan Morotai Timur dengan jarak 1 km dari pemukiman penduduk, lokasi antara Desa Sangowo dan Desa Daeo Kecamatan Morotai Timur serta Tanjung Sangowo yang letaknya berada di antara Desa Sangowo dan Desa Mira, Kecamatan Morotai Timur.
Dari enam alternatif lokasi itu, urainya, Tanjung Sangowo merupakan wilayah yang paling potensial, karena jika ditarik garis lurus, jarak tepi dua desa ini mencapai 6,5 km sehingga jika meletakkan posisi peluncur utama di tengah antara dua desa itu, maka jaraknya lebih dari 3 km dari masing-masing desa, jauh dari kawasan penduduk.
Kontur daerah tersebut juga merupakan bukit yang sebagian besar memiliki sudut kemiringan yang tak curam, sementara di selatan kontur tanahnya datar dengan tepi pantai yang landai dan bagian utara pegunungan yang langsung bersinggungan dengan pantai dengan kemiringan cukup curam.
Kontur yang relatif datar dapat digunakan untuk daerah perakitan, penyimpanan serta pekerjaan dengan mobilitas tinggi, sedangkan peluncur yang memerlukan standar keamanan dan keselamatan tinggi dapat diletakkan di daerah yang mempunyai ketinggian cukup dari muka laut.
"Daerah terbang roket di sini bisa ke arah utara dan bisa ke timur, bebas ke laut dan juga tak melewati jarak jangkau ke pemukiman penduduk maupun ke batas negara lain," katanya.
Berbeda dengan Pameungpeuk yang baru mengantisipasi uji terbang roket skala kecil, Morotai ditargetkan menampung uji terbang roket skala besar, bahkan termasuk peluncuran satelit yang jangkauannya minimal 350 km, misalnya untuk keperluan remote sensing, bahkan sampai ketinggian 36 ribu km untuk geostation, kata Rika.
Sebelumnya Asisten Deputi Penyedia Jaringan Kemristek Goenawan Wibisana mengatakan, pihaknya sangat mendukung misi ini, khususnya karena roket berdaya jangkau hingga ratusan kilometer seperti yang ditargetkan memerlukan lokasi pengujian dan peluncuran yang representatif.
"Ini sangat penting untuk bangsa," tambahnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.