Pemerintah RI merealisasikan niat untuk memperketat wilayah perairan yang berbatasan dengan Australia.
TNI Angkatan Laut mulai mengerahkan beberapa kapal perang termasuk kapal rudal dan torpedo ke wilayah perbatasan.
Harian Guardian, Jumat 24 Januari 2014 melansir informasi itu dari Kepala Dinas Penerangan TNI AL, Laksamana Pertama Untung Suropati.
Untung membenarkan ada beberapa kapal perang yang dipindahkan ke dekat perbatasan perairan yang dekat dengan Australia. Selain kapal peluncur rudal dan torpedo, ujar Untung, ternyata TNI AL turut mengerahkan kapal perang corvette dan pesawat perbatasan air.
"Semua kapal itu telah bergerak menuju ke perbatasan dan berpatroli di sana," kata dia tanpa menyebut jumlah kapal yang telah dikerahkan.
Selain mengerahkan kapal dari TNI AL untuk menjaga perbatasan, TNI Angkatan Udara (AU) juga mengerahkan beberapa pesawat. Menurut Juru Bicara TNI AU, Marsekal Pertama Hadi Tjahjanto, apabila ada pelanggaran perbatasan, pangkalan udara di Makassar siap membantu mengamankan.
"Australia bisa dijangkau dari sana," ujarnya.
Seperti diketahui, Pangkalan Udara Sultan Hassanudin di Makassar, adalah pangkalan bagi 16 pesawat tempur Sukhoi Su-27 dan Su-30 buatan Rusia. Dengan menggunakan pesawat itu, hanya butuh waktu satu jam mencapai Australia.
Langkah untuk menjaga perbatasan ini mulai membuat Parlemen Australia khawatir. Namun, langkah itu tidak mengejutkan bagi mereka.
Menurut anggota parlemen dari Partai Buruh, Chris Bowen, kebijakan yang ditempuh RI merupakan hasil yang dituai dari kebijakan Perdana Menteri Tony Abbott, Menteri Imigrasi, Scott Morrison dan Menteri Luar Negeri, Julie Bishop, yang bersikap kepala batu.
"Sebelumnya, sudah ada beberapa peringatan bahwa hal ini timbul karena kebijakan ngotot mereka. Kini, kami mulai terlihat jelas dampaknya," ungkap Bowen dan dilansir kantor berita ABC News.
Sementara itu, Pemimpin Partai Hijau, Christine Milne, memperingatkan Abbott untuk mundur dari kebijakan pencari suakanya. Milne mengingatkan kembali pernyataan Pemerintah RI yang secara tegas menolak kebijakan sepihak dari Negeri Kanguru.
"Situasinya akan berdampak lebih buruk. Kini, waktunya bagi Tony Abbott mundur dan mengakui bahwa kami sedang dalam situasi yang serius dengan Indonesia," kata Milne.
Sebelumnya, pada Jumat, 17 Januari 2014, Australia telah meminta maaf kepada Pemerintah RI lantaran telah melanggar wilayah perbatasan air secara tidak sengaja, saat mendorong balik perahu pencari suaka ke perairan Indonesia.
Setelah kejadian itu, Abbott mengatakan akan tetap menjalankan operasi perbatasan.
Dia pun meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan publik untuk memahami bahwa menghentikan manusia pencari suaka terkait masalah kedaulatan.
"Ini merupakan isu yang serius bagi suatu negara. Kami akan tetap melanjutkan kebijakan sesuai dengan aturan yang berlaku," kata Abbott di sela Forum Ekonomi Dunia (WEF), Davos, Swiss.
TNI Angkatan Laut mulai mengerahkan beberapa kapal perang termasuk kapal rudal dan torpedo ke wilayah perbatasan.
Harian Guardian, Jumat 24 Januari 2014 melansir informasi itu dari Kepala Dinas Penerangan TNI AL, Laksamana Pertama Untung Suropati.
Untung membenarkan ada beberapa kapal perang yang dipindahkan ke dekat perbatasan perairan yang dekat dengan Australia. Selain kapal peluncur rudal dan torpedo, ujar Untung, ternyata TNI AL turut mengerahkan kapal perang corvette dan pesawat perbatasan air.
"Semua kapal itu telah bergerak menuju ke perbatasan dan berpatroli di sana," kata dia tanpa menyebut jumlah kapal yang telah dikerahkan.
Selain mengerahkan kapal dari TNI AL untuk menjaga perbatasan, TNI Angkatan Udara (AU) juga mengerahkan beberapa pesawat. Menurut Juru Bicara TNI AU, Marsekal Pertama Hadi Tjahjanto, apabila ada pelanggaran perbatasan, pangkalan udara di Makassar siap membantu mengamankan.
"Australia bisa dijangkau dari sana," ujarnya.
Seperti diketahui, Pangkalan Udara Sultan Hassanudin di Makassar, adalah pangkalan bagi 16 pesawat tempur Sukhoi Su-27 dan Su-30 buatan Rusia. Dengan menggunakan pesawat itu, hanya butuh waktu satu jam mencapai Australia.
Langkah untuk menjaga perbatasan ini mulai membuat Parlemen Australia khawatir. Namun, langkah itu tidak mengejutkan bagi mereka.
Menurut anggota parlemen dari Partai Buruh, Chris Bowen, kebijakan yang ditempuh RI merupakan hasil yang dituai dari kebijakan Perdana Menteri Tony Abbott, Menteri Imigrasi, Scott Morrison dan Menteri Luar Negeri, Julie Bishop, yang bersikap kepala batu.
"Sebelumnya, sudah ada beberapa peringatan bahwa hal ini timbul karena kebijakan ngotot mereka. Kini, kami mulai terlihat jelas dampaknya," ungkap Bowen dan dilansir kantor berita ABC News.
Sementara itu, Pemimpin Partai Hijau, Christine Milne, memperingatkan Abbott untuk mundur dari kebijakan pencari suakanya. Milne mengingatkan kembali pernyataan Pemerintah RI yang secara tegas menolak kebijakan sepihak dari Negeri Kanguru.
"Situasinya akan berdampak lebih buruk. Kini, waktunya bagi Tony Abbott mundur dan mengakui bahwa kami sedang dalam situasi yang serius dengan Indonesia," kata Milne.
Sebelumnya, pada Jumat, 17 Januari 2014, Australia telah meminta maaf kepada Pemerintah RI lantaran telah melanggar wilayah perbatasan air secara tidak sengaja, saat mendorong balik perahu pencari suaka ke perairan Indonesia.
Setelah kejadian itu, Abbott mengatakan akan tetap menjalankan operasi perbatasan.
Dia pun meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan publik untuk memahami bahwa menghentikan manusia pencari suaka terkait masalah kedaulatan.
"Ini merupakan isu yang serius bagi suatu negara. Kami akan tetap melanjutkan kebijakan sesuai dengan aturan yang berlaku," kata Abbott di sela Forum Ekonomi Dunia (WEF), Davos, Swiss.
♞ Vivanews
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.