Johannes Cornelis Princen. ©2016 google ☆
Hari ini, Indonesia kembali merayakan kemerdekaannya yang ke-71 tahun. Seperti biasa, detik-detik proklamasi sekaligus upacara penaikan Bendera Pusaka akan dilaksanakan di Istana Kepresidenan.
Butuh perjuangan yang panjang sebelum Indonesia menjadi negara yang berdaulat, dan berhak menentukan nasibnya sendiri. Apalagi, Belanda tak mau begitu saja melepaskan negara jajahannya lepas dengan mudah.
Ada kisah menarik ketika seorang tentara Belanda memutuskan menyeberang dan bertempur bersama musuhnya. Tanpa penuh ragu, dia juga tak segan membunuh teman sebangsanya.
Pria itu adalah Johannes Cornelis Princen atau dikenal Poncke Princen. Sejak awal, dia memang sangat antiperang, dan menentang penjajahan.
Sebelum diterjunkan ke Indonesia, Princen penah bolak-balik masuk ke dalam penjara. Pertama, dia dan kelompoknya menjadi tawanan Nazi Jerman, dan sempat bebas. Namun, dia kembali tertangkap saat akan menyeberang ke Inggris untuk bergabung dengan pasukan pembebasan.
Setelah Jerman berhasil dikalahkan Sekutu. Belanda berupaya membentuk kembali pasukan pertahanan. Princen tak menolak ketika namanya tercantum dalam wajib militer, namun dia mulai memberontak ketika akan dikirimkan ke tanah jajahan.
Dia pun membuktikan penolakannya dengan kabur dari kamp, dan lari ke Prancis. Namun, pikirannya berubah ketika bertemu seorang fotografer keturunan Yahudi. Alhasil, dia kembali ke satuannya.
Namun, statusnya sebagai desertir tak membuatnya mudah menjalani tugasnya, apalagi Princen menjalankannya dengan terpaksa. Alhasil, seorang perwira administrasi membuang surat penugasannya ke laut, alhasil dia sempat tertahan di Pelabuhan Tanjung Priok.
Tak hanya itu, dia langsung dijebloskan ke Penjara Tjisaroea selama empat bulan dengan tuduhan desersi. Setelah keluar, dia kembali aktif dan terlibat dalam Aksi Polisionil Pertama. Di sini ia merasa kesal melihat kelakuan rekan-rekannya terhadap penduduk lokal.
"Ketika seorang remaja berada di bawah kekuasan Nazi dan dua tahun di penjara Jerman telah mengubah dan meyakinkan saya untuk melawan kekejaman. Saya berpikir bangsa Indonesia benar. Saya pikir mereka juga berhak menentukan nasibnya sendiri. Saya muak dengan Belanda yang membunuhi orang-orang yang saya kagumi," ungkapnya saat diwawancara Harian Herald Tribune, yang dimuat pada 12 Maret 1998 lalu.
Princen memutuskan untuk meninggalkan pasukannya, dan keputusan itu dia ambil pada 25 September 1948 saat berpatroli di kawasan Sukabumi. Dengan berjalan kaki, dia nekat menyeberangi garis demakarsi untuk masuk ke wilayah Republik menuju Semarang untuk dapat ke Yogyakarta. Setibanya di sana, dia malah ditangkap dan dijebloskan ke penjara.
Desember 1948, Belanda kembali melancarkan Agresi Militer Kedua. Tujuan utamanya adalah merebut Yogyakarta, menangkap Soekarno dan pemimpin nasionalis lainnya. TNI memutuskan untuk melepaskan Princen, di sinilah dia mengungkapkan keinginannya untuk bergabung dengan pasukan Republik.
Saat dibebaskan, Pricen diberikan pilihan oleh Komandan Batalyon Kala Hitam dari Divisi Siliwangi Kolonel Kemal Idris untuk kembali ke satuannya. Namun, pilihan itu ditolak Princen.
"Aku telah katakan 'A', jadinya sekarang aku katakan juga 'B' dan jika perlu aku katakan sampai semua aksara, jadinya aku ikut berangkat!" ujar Princen seperti yang dikatakannya kepada Joyce van Fenema.
Sejak itu, Princen bergabung bersama Batalyon Kala Hitam di bawah kepemimpinan Kemal Idris. Dia juga merasakan pahit getirnya melakukan longmarch sejauh 900 km ke Jawa Barat. Selama itu pula dia terlibat dalam pertempuran gerilya, bahkan tak segan menembaki teman sebangsanya sendiri.
Pengakuan itu pernah diungkapnya dalam sebuah wawancara dengan seorang wartawan saat ditanya, "Apakah anda benar-benar pernah menembak tentara Belanda? Apakah anda membunuh seorang di antara mereka?" Dengan singkat, Princen menjawab, "ya, saya melakukannya."
Setelah tiba di Jawa Barat, Pricen dipercaya menjadi seorang perwira dan bertugas di kantong gerilya, atau werhkreise Purwakarta. Bersama pejuang, dia berkali-kali melaksanakan operasi dan merepotkan balatentara Belanda.
Salah satunya ketika dia dan pasukannya menipu satu peleton Poh An Tui, pasukan Tionghoa yang dibentuk Belanda, tanpa menembakkan satu butir pun peluru. Dengan penampilan ala pasukan Belanda, dia berpura-pura menjadi seorang perwira dan melucuti pasukan itu bersama anak buahnya.
Tak jarang, dia dan pasukannya terlibat kontak senjata. Salah satunya ketika menghadap rombongan polisi Belanda di Stasiun Gandasoli, dekat terowongan Lampegan di Kabupaten Cianjur. Begitu kereta api berhenti, salah seorang anak buahnya muncul dari balik rimbunan pohon, dengan senjata terkokang menghardik komandan jaga.
Princen kemudian muncul dan memerintahkan anak buahnya untuk mengosongkan kereta api dari penumpang sipil serta menjaga setiap pintu dengan senjata siap tembak. Di tengah ketegangan, ternyata ada seorang polisi yang nekat meloncat melalui jendela. Alhasil, polisi itu ditembaki membabi buta hingga tewas.
Kejadian itu membuat kereta kembali bergerak, pertempuran pun berlangsung sengit hingga kedua belah pihak saling melempar granat. "Hasilnya satu polisi Belanda mati, dan satu senjata berhasil kami rampas," ujar Princen.
Tindakannya itu membuat Belanda menawarkan hadiah bagi siapapun yang memberikan informasi atau membunuh Princen. Bahkan menyiapkan membentuk unit khusus untuk memburunya. Unit ini diambil dari Korps Speciale Troepen (KST) di bawah kepemimpinan Letnan Henk Ulrici.
Misi ini dilakukan sebelum kedua belah pihak melaksanakan gencatan senjata. Untuk menutupi pergerakannya, seluruh anggota pasukan mengenakan ikat kepala merah dan seragam tentara Republik. Namun tetap saja tercium, dan membuat Pricen harus lebih waspada.
Beberapa usaha untuk membuyarkan konsentrasi musuh gagal. Akhirnya, jejak Princen tercium di kawasan Perkebunan Gunung Rosa, Cianjur. Pricen yang tengah tertidur dikejutkan bunyi tembakan, namun dia sempat menganggap bunyi itu ulah anak buahnya. Anggapan itu berubah ketika desing peluru dan lemparan granat mulai diarahkan ke pondok tempatnya beristirahat.
Dengan cepat, dia menghindari ledakan dan merayap ke lokasi yang aman. Sembari bergerak mundur, dia membuat taktik untuk berputar bukit dan menyerbu musuh-musuhnya dari belakang. Belum sempat terlaksana, sebuah teriakan berbahasa Belanda memerintahkan pasukan londo itu berhenti menembak dan bergerak mundur.
Pertempuran singkat itu telah menewaskan lima anak buahnya dan istrinya, Odah. Meski begitu, dia tentara KST berhasil ditembak mati.
Setelah pengakuan kedaulatan, Pengadilan Belanda menjatuhkan hukuman mati terhadap Princen karena dianggap membunuh tentaranya sendiri. Sejumlah desakan ekstradisi yang dilakukan terhadapnya ditampik begitu saja oleh Soekarno. Oleh Bung Karno pula, dia diberi Bintang Gerilya, sebuah penghargaan bagi mantan tentara Belanda yang ikut berperang bersama Indonesia.
Hari ini, Indonesia kembali merayakan kemerdekaannya yang ke-71 tahun. Seperti biasa, detik-detik proklamasi sekaligus upacara penaikan Bendera Pusaka akan dilaksanakan di Istana Kepresidenan.
Butuh perjuangan yang panjang sebelum Indonesia menjadi negara yang berdaulat, dan berhak menentukan nasibnya sendiri. Apalagi, Belanda tak mau begitu saja melepaskan negara jajahannya lepas dengan mudah.
Ada kisah menarik ketika seorang tentara Belanda memutuskan menyeberang dan bertempur bersama musuhnya. Tanpa penuh ragu, dia juga tak segan membunuh teman sebangsanya.
Pria itu adalah Johannes Cornelis Princen atau dikenal Poncke Princen. Sejak awal, dia memang sangat antiperang, dan menentang penjajahan.
Sebelum diterjunkan ke Indonesia, Princen penah bolak-balik masuk ke dalam penjara. Pertama, dia dan kelompoknya menjadi tawanan Nazi Jerman, dan sempat bebas. Namun, dia kembali tertangkap saat akan menyeberang ke Inggris untuk bergabung dengan pasukan pembebasan.
Setelah Jerman berhasil dikalahkan Sekutu. Belanda berupaya membentuk kembali pasukan pertahanan. Princen tak menolak ketika namanya tercantum dalam wajib militer, namun dia mulai memberontak ketika akan dikirimkan ke tanah jajahan.
Dia pun membuktikan penolakannya dengan kabur dari kamp, dan lari ke Prancis. Namun, pikirannya berubah ketika bertemu seorang fotografer keturunan Yahudi. Alhasil, dia kembali ke satuannya.
Namun, statusnya sebagai desertir tak membuatnya mudah menjalani tugasnya, apalagi Princen menjalankannya dengan terpaksa. Alhasil, seorang perwira administrasi membuang surat penugasannya ke laut, alhasil dia sempat tertahan di Pelabuhan Tanjung Priok.
Tak hanya itu, dia langsung dijebloskan ke Penjara Tjisaroea selama empat bulan dengan tuduhan desersi. Setelah keluar, dia kembali aktif dan terlibat dalam Aksi Polisionil Pertama. Di sini ia merasa kesal melihat kelakuan rekan-rekannya terhadap penduduk lokal.
"Ketika seorang remaja berada di bawah kekuasan Nazi dan dua tahun di penjara Jerman telah mengubah dan meyakinkan saya untuk melawan kekejaman. Saya berpikir bangsa Indonesia benar. Saya pikir mereka juga berhak menentukan nasibnya sendiri. Saya muak dengan Belanda yang membunuhi orang-orang yang saya kagumi," ungkapnya saat diwawancara Harian Herald Tribune, yang dimuat pada 12 Maret 1998 lalu.
Princen memutuskan untuk meninggalkan pasukannya, dan keputusan itu dia ambil pada 25 September 1948 saat berpatroli di kawasan Sukabumi. Dengan berjalan kaki, dia nekat menyeberangi garis demakarsi untuk masuk ke wilayah Republik menuju Semarang untuk dapat ke Yogyakarta. Setibanya di sana, dia malah ditangkap dan dijebloskan ke penjara.
Desember 1948, Belanda kembali melancarkan Agresi Militer Kedua. Tujuan utamanya adalah merebut Yogyakarta, menangkap Soekarno dan pemimpin nasionalis lainnya. TNI memutuskan untuk melepaskan Princen, di sinilah dia mengungkapkan keinginannya untuk bergabung dengan pasukan Republik.
Saat dibebaskan, Pricen diberikan pilihan oleh Komandan Batalyon Kala Hitam dari Divisi Siliwangi Kolonel Kemal Idris untuk kembali ke satuannya. Namun, pilihan itu ditolak Princen.
"Aku telah katakan 'A', jadinya sekarang aku katakan juga 'B' dan jika perlu aku katakan sampai semua aksara, jadinya aku ikut berangkat!" ujar Princen seperti yang dikatakannya kepada Joyce van Fenema.
Sejak itu, Princen bergabung bersama Batalyon Kala Hitam di bawah kepemimpinan Kemal Idris. Dia juga merasakan pahit getirnya melakukan longmarch sejauh 900 km ke Jawa Barat. Selama itu pula dia terlibat dalam pertempuran gerilya, bahkan tak segan menembaki teman sebangsanya sendiri.
Pengakuan itu pernah diungkapnya dalam sebuah wawancara dengan seorang wartawan saat ditanya, "Apakah anda benar-benar pernah menembak tentara Belanda? Apakah anda membunuh seorang di antara mereka?" Dengan singkat, Princen menjawab, "ya, saya melakukannya."
Setelah tiba di Jawa Barat, Pricen dipercaya menjadi seorang perwira dan bertugas di kantong gerilya, atau werhkreise Purwakarta. Bersama pejuang, dia berkali-kali melaksanakan operasi dan merepotkan balatentara Belanda.
Salah satunya ketika dia dan pasukannya menipu satu peleton Poh An Tui, pasukan Tionghoa yang dibentuk Belanda, tanpa menembakkan satu butir pun peluru. Dengan penampilan ala pasukan Belanda, dia berpura-pura menjadi seorang perwira dan melucuti pasukan itu bersama anak buahnya.
Tak jarang, dia dan pasukannya terlibat kontak senjata. Salah satunya ketika menghadap rombongan polisi Belanda di Stasiun Gandasoli, dekat terowongan Lampegan di Kabupaten Cianjur. Begitu kereta api berhenti, salah seorang anak buahnya muncul dari balik rimbunan pohon, dengan senjata terkokang menghardik komandan jaga.
Princen kemudian muncul dan memerintahkan anak buahnya untuk mengosongkan kereta api dari penumpang sipil serta menjaga setiap pintu dengan senjata siap tembak. Di tengah ketegangan, ternyata ada seorang polisi yang nekat meloncat melalui jendela. Alhasil, polisi itu ditembaki membabi buta hingga tewas.
Kejadian itu membuat kereta kembali bergerak, pertempuran pun berlangsung sengit hingga kedua belah pihak saling melempar granat. "Hasilnya satu polisi Belanda mati, dan satu senjata berhasil kami rampas," ujar Princen.
Tindakannya itu membuat Belanda menawarkan hadiah bagi siapapun yang memberikan informasi atau membunuh Princen. Bahkan menyiapkan membentuk unit khusus untuk memburunya. Unit ini diambil dari Korps Speciale Troepen (KST) di bawah kepemimpinan Letnan Henk Ulrici.
Misi ini dilakukan sebelum kedua belah pihak melaksanakan gencatan senjata. Untuk menutupi pergerakannya, seluruh anggota pasukan mengenakan ikat kepala merah dan seragam tentara Republik. Namun tetap saja tercium, dan membuat Pricen harus lebih waspada.
Beberapa usaha untuk membuyarkan konsentrasi musuh gagal. Akhirnya, jejak Princen tercium di kawasan Perkebunan Gunung Rosa, Cianjur. Pricen yang tengah tertidur dikejutkan bunyi tembakan, namun dia sempat menganggap bunyi itu ulah anak buahnya. Anggapan itu berubah ketika desing peluru dan lemparan granat mulai diarahkan ke pondok tempatnya beristirahat.
Dengan cepat, dia menghindari ledakan dan merayap ke lokasi yang aman. Sembari bergerak mundur, dia membuat taktik untuk berputar bukit dan menyerbu musuh-musuhnya dari belakang. Belum sempat terlaksana, sebuah teriakan berbahasa Belanda memerintahkan pasukan londo itu berhenti menembak dan bergerak mundur.
Pertempuran singkat itu telah menewaskan lima anak buahnya dan istrinya, Odah. Meski begitu, dia tentara KST berhasil ditembak mati.
Setelah pengakuan kedaulatan, Pengadilan Belanda menjatuhkan hukuman mati terhadap Princen karena dianggap membunuh tentaranya sendiri. Sejumlah desakan ekstradisi yang dilakukan terhadapnya ditampik begitu saja oleh Soekarno. Oleh Bung Karno pula, dia diberi Bintang Gerilya, sebuah penghargaan bagi mantan tentara Belanda yang ikut berperang bersama Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.