PEMAKAMAN Santa Cruz, Dili, Timor Leste, 12 November 1991. Ribuan
warga Timor mengarak poster dan bendera Fretilin sembari berteriak,
"Viva Xanana!" Massa bernyanyi dan memekik. Suasana riuh-rendah. Tentara
Indonesia berjaga di sudut-sudut jalan dengan senjata siaga.
Unjuk rasa hari itu tepat dua pekan setelah kematian Sebastiao
Gomes Rangel, pemuda Timor Leste yang dibunuh milisi prointegrasi di
Gereja Motael, Dili. Gomes dimakamkan di Santa Cruz. "Seusai misa di
Gereja Motael, pemuda-pemuda Timor mengeluarkan spanduk dan poster dari
balik baju mereka dan mulai bergerak ke arah pemakaman," kata Allan
Nairn, jurnalis Amerika Serikat yang hari itu ada di Dili. Kesaksian itu
dia disampaikan dalam sebuah diskusi East Timor Action Network, di New
York, empat tahun setelah insiden Santa Cruz.
Sekitar pukul delapan pagi, massa semakin padat. Komandan Sektor
C/Khusus Dili Kolonel Binsar Aruan memerintahkan pasukan Brigade Mobil
menyekat massa dengan membentuk barikade di belakang demonstran.
"Pasukan Indonesia terus bergerak maju, mendekati massa yang terkepung,"
kenang Allan Nairn. Komandan Kompi Gabungan Letnan Dua Sugiman Mursanib
berteriak memerintahkan pasukannya melepas tembakan peringatan ke
udara. Mendadak serentetan tembakan terdengar. Massa di bagian belakang
roboh. Sisanya bubar, tunggang-langgang.
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Timor Leste memperkirakan
sedikitnya 200 orang tewas dalam insiden itu. Nyaris semuanya tewas
dengan peluru di atas badan, yang menandakan penembakan sengaja
diarahkan ke tubuh.
Peristiwa nahas 18 tahun silam itu kini muncul lagi dalam buku
tentang Letnan Jenderal (Purnawirawan) Sintong Panjaitan, Perjalanan
Seorang Prajurit Para Komando, yang diluncurkan dua pekan lalu. Tak
sampai sebulan setelah penembakan Santa Cruz, Sintong dicopot dari
posisinya sebagai Panglima Komando Daerah Militer IX Udayana. Sejak itu,
karier militernya, yang semula cemerlang, meredup.
"Ada kemungkinan keterlibatan pihak ketiga dalam insiden 12
November 1991 di Dili," kata Sintong dalam buku itu. Dia mengarahkan
kecurigaannya kepada kelompok lokal yang prointegrasi dan tentara
Indonesia di Timor Leste yang "dibina oleh orang berpengaruh di
Jakarta". Penulis buku ini, Hendro Subroto, mengelak ketika ditanyai
siapa yang dimaksud Sintong. "Tidak etis untuk menyebutnya sekarang,"
kata Hendro. Eurico Guterres, tokoh kelompok pro-Indonesia di Timor
Leste, membenarkan dugaan Sintong. "Tentara yang menembak massa di Santa
Cruz tidak dikontrol oleh Sintong," katanya pekan lalu.
Dalam laporannya yang dirilis April tahun lalu, Komisi Kebenaran
dan Rekonsiliasi Timor Leste menemukan sejumlah kesaksian yang
menyebutkan penembakan dilakukan oleh belasan prajurit dari Kompi A
Batalion 303. "Sejumlah tentara bertelanjang dada menembak dari dalam
Taman Makam Pahlawan Seroja yang berseberangan dengan Santa Cruz,.
Dalam bukunya, Sintong juga mengaku tidak mengerti mengapa para
prajurit itu ada di lokasi. "Sebagian anggota batalion itu sedang
diistirahatkan dari operasi karena stres dan jenuh di hutan. Mengapa
mereka ada di Santa Cruz?".
Sumber Tempo menyebutkan kecurigaan Sintong mengarah kepada
Prabowo Subianto. Sintong dan Prabowo memang sudah lama tak akur. Letnan
Kolonel Sjafrie Sjamsoeddin, kawan dekat Prabowo, saat itu adalah Wakil
Komandan Satuan Tugas Intelijen di Timor Timur. "Pak Sintong curiga
karena Prabowo sering datang ke Dili, menemui Sjafrie, padahal Prabowo
sudah tidak bertugas di sana," kata seorang perwira yang pernah bertugas
di Timor Leste.
Prabowo juga sering menemui tokoh kelompok pro-integrasi garis
keras, seperti Bupati Manatuto, Abilio Jose Osorio Soares. Setelah
peristiwa Santa Cruz, Abilio diangkat menjadi Gubernur Timor Timur
menggantikan Mario Viegas Carrascalao.
Kolonel (Purnawirawan) Gatot Purwanto, mantan Komandan Satuan
Tugas Intelijen pada Komando Pelaksana Operasi di Timor Timur,
menegaskan bahwa laporan bakal adanya unjuk rasa besar di Dili
sebenarnya sudah diketahui jauh-jauh hari. "Karena itu, saya tidak
mengerti mengapa tidak ada pasukan dan kendali memadai untuk
mengantisipasi," katanya. Gatot sendiri dipecat pasca-insiden Santa
Cruz.
Menurut Gatot, demonstrasi itu dirancang untuk memancing
kemarahan tentara Indonesia. Penusukan atas Mayor Andi Gerhan Lantara,
Wakil Komandan Batalion Infanteri 700/Linud, pada saat unjuk rasa
berlangsung juga bagian dari skenario itu.
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra yang juga kawan dekat Prabowo,
Fadli Zon, menilai semua tuduhan dalam buku biografi Sintong Panjaitan
mengada-ada. Dia juga membantah ada kaitan antara Prabowo dan insiden
Santa Cruz. "Itu ngawur," katanya pendek.
Wahyu Dhyatmika, Akbar Tri Kurniawan
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.