Wiweko Soepono Dari Blitar ke Kelas Dunia |
WIWEKO Soepono, lahir tanggal 18 Januari 1923 di Blitar, Jawa Timur.
Dia adalah putra dari keluarga “ambtenaar”, pasangan Soepono yang asli
Banyumas dengan Boentarmi, seorang wanita asal Solo. Sejak kecil Wiweko
gemar membaca dan menyukai bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Dia
kemudian dikenal sebagai seorang pekerja keras yang tidak pernah kenal
dengan kata menyerah.
Diluar waktu sekolah dia banyak menghabiskan waktunya dengan kegiatan
yang menjadi hobi beratnya yaitu aeromodelling. Upayanya termasuk juga
berusaha membuat merancang, membuat dan sekaligus menerbangkannya.
Bersama sejumlah teman, termasuk sinyo Belanda, Wiweko membentuk dan
kemudian juga memimpin sebuah Aeroclub. Dia juga berlangganan dan sering
berdiskusi dengan wartawan majalah Vliegwereld, yang merupakan
satu-satunya majalah kedirgantaraan yang terbit dan beredar di Indonesia
kala itu. Semenjak masih bocah, dia telah banyak mendengar dan ikut
serta dalam banyak diskusi dengan ayahnya yang seorang nasionalis tulen
bersama dengan rekan-rekan dalam pergerakan nasional.
Dia telah mengenal sejak usia dini mengenai paham nasionalistis yang
mencakup tentang Self Help dan Self determination. Dia juga sering
mendengar dan mengikuti banyak cerita dan pidato dari Ir. Soekarno, yang
juga berasal dari Blitar terutama dalam hal membangun semangat
persatuan dan kemerdekaan kepada seluruh rakyat yang tengah terjajah.
Diluar waktu sekolah pun, Wiweko sering memperhatikan sekelompok remaja
berseragam KBI, Kepanduan Bangsa Indonesia yang berdasi merah putih,
giat berlatih.
Setelah tumbuh menjadi pemuda dan mendengar berita proklamasi
kemerdekaan Indonesia, dia langsung bergabung dengan kelompok pemuda
pejuang Priangan. Bersama dengan pemuda Suryadarma, Mashudi, Sarbini
Somawinata, Abdul Haris Nasution, Sutoyo dan lain-lain, Wiweko
mengadakan musyawarah dan memutuskan untuk segera merebut pangkalan
udara dari tangan Jepang yang baru kalah perang melawan sekutu. Sempat
mereka menguasai sejumlah pesawat terbang dan berbagai fasilitas
penerbangan yang ada di pangkalan udara Andir, meski kemudian terusir
oleh pasukan sekutu yang diboncengi tentara Belanda yang memang ingin
kembali berkuasa di Indonesia.
Walau dalam keadaan terusir dan harus
menyingkir keluar kota, dia tidak pernah berputus asa. Dengan semangat
juang, berbekal pengetahuan dan pengalaman dibidang kedirgantaraan walau
masih sangat terbatas, dia langsung bergabung dengan TKR, Jawatan
Penerbangan yang baru saja terbentuk dan kemudian resmi menjadi Angkatan
Udara Republik Indonesia.
Pada usia yang baru mencapai 25 tahun Wiweko Soepono telah berani
sekali menyatakan wawasan dan sikapnya dalam bidang kedirgantaraan.
Sewaktu pemerintah perjuangan di tahun 1948 mengambil kebijaksanaan
tentang Civil Aviation yang cenderung akan bergantung saja kepada
American-Indonesian Corporation dan banyak memberi konsesi kepada pihak
asing, dengan tegas dan berani Wiweko Soepono menentangnya.
Menurut dia,
perhubungan udara begitu penting bagi satu Negara yang Merdeka,
terutama dalam bidang politik, strategi dan perkembangan ekonomi bangsa.
Dia memiliki keyakinan yang sangat besar, bahwa Indonesia sebagai
bangsa pasti memiliki kemampuan yang cukup dan tidak kalah dari bangsa
lain dalam mengelola system dari perhubungan udara nasionalnya.
Wiweko Soepono, tidak hanya berani untuk berbeda dalam visi, akan
tetapi dia juga memang pandai dalam menyusun suatu konsep. Salah satu
contoh, pada satu saat, bersamaan dengan protesnya dalam penyelenggaraan
perhubungan udara nasional, Wiweko menyertakan juga didalamnya satu
konsep usulan tentang pembentukan sebuah Skadron Transport sebagai unsur
operasi penerbangan perintis di tanah air.
Di awal kemerdekaan Republik
Indonesia, dia pulalah yang kemudian merealisasikan usulan tersebut
dengan mendirikan Djawatan Angkutan Udara Militer atau DAUM. Secara
teratur DAUM, terbang menjalankan misi kenegaraan, seperti membawa
pejabat militer dan sipil dalam menjangkau wilayah tanah air yang saat
itu masih banyak yang terisolasi.
Pandangan dan sikapnya ini adalah merupakan refleksi dari penilaian
tentang begitu pentingnya perhubungan udara di Indonesia yang
diyakininya akan menentukan kemampuan bangsa dalam mengelola perhubungan
udara nasional dalam satu Air Integrity, satu kesatuan wilayah udara
nasional. Kini telah menjadi satu realita dari pemahaman bahwa sarana
Angkutan Udara Nasional dalam konteks perhubungan udara yang
terintegrasi akan sangat menentukan utuhnya Negara Indonesia sebagai
satu Negara Kesatuan yang sekaligus akan banyak membantu perjalanan
bangsa menuju kesejahteraan masayarakat.
Kita mengenal Maskapai sang pembawa bendera merah putih , Garuda
Indonesian Airways. Ditangan Garuda inilah, kehormatan dan kebanggaan
serta promosi bangsa Indonesia dipanggung global dalam penyelenggaraan
angkutan udara dipertaruhkan. Garuda Indonesia pernah dipimpin oleh
seorang Pilot kawakan bernama Wiweko, penerbang Asia pertama yang pernah
menembus samudra pasifik (dari Oakland, AS ke Jakarta) seorang diri
dengan pesawat terbang. Itu sebabnya, sebagai pimpinan sebuah Maskapai
dia mampu berorientasi kepada bidang penerbangan secara total.
Sebagai
Pilot, dia tau saat membeli banyak pesawat sekaligus dia persiapkan SDM
nya. Wiweko tidak hanya menganalisis dan membahas tuntas dalam hal
memilih pesawat terbang yang cocok untuk digunakan di Negara kepulauan
ini bersama dengan pabrik pesawat kenamaan didunia, akan tetapi juga
merancang disain kokpit pesawat yang sangat spektakuler sepanjang
sejarah.
Wiweko telah merubah awak kokpit menjadi hanya dua orang saja. (two
men forward facing crew cockpits). Keberhasilan ini dinilai sangat
fenomenal. Yang sangat mengagumkan adalah, konon pihak Airbus ingin
menggunakan nama Wiweko sebagai “hak paten” dari penemuan ini, dan
ditolak secara halus oleh Wiweko. Disain yang tadinya ditentang
habis-habisan oleh FAA, Federal Aviation Administration, otoritas
penerbangan Amerika Serikat, kini justru telah menjadi standar baku dari
disain kokpit pesawat angkut internasional. Disain ini telah mengubah
secara revolusioner pengawakan pesawat angkut di dunia, khususnya
pesawat sekelas “Jumbo-Jet” yang tadinya hanya bisa diterbangkan dengan 3
orang awak kokpit, sejak saat itu berubah menjadi hanya diawaki 2 orang
saja. Ini adalah salah satu kisah sukses Wiweko pada waktu memimpin
Garuda, dalam proses penambahan armada udaranya.
Saat itu Garuda sang pembawa bendera melesat maju di angkasa Asia,
Eropa dan bahkan pernah sampai ke Amerika Serikat. Garuda Indonesian
Airways ditahun 1968-1984, dibawah kepemimpinan Wiweko telah berhasil
menguasai tidak hanya pasar domestik akan tetapi juga pasar regional.
Disisi lain sang merah putih juga dibawa oleh si Garuda dengan gagahnya
ke Eropa dan bahkan Amerika. Ketika memimpin Garuda, Wiweko menjadikan
“flag carrier” itu menjadi “airlines” kedua terbesar di belahan bumi
Selatan, setelah Japan Air Lines, dengan 79 armada jet. Armada Garuda
bahkan lebih besar dari yang dimiliki oleh banyak negara Eropa pada
waktu itu. Swiss Air yang beken saat itu misalnya, konon hanya memiliki
55 buah pesawat saja.
Kini, dalam era yang penuh dengan tantangan dan persaingan dalam
industri penerbangan dunia, sumbangsih dari seorang Wiweko kiranya
sangat sulit untuk dapat dilupakan begitu saja. Wiweko sang Perintis dan
Pionir Penerbangan di Indonesia. Nama Wiweko memang tidak seterkenal
sesuai dengan karya-karya nya.
(sumber : Dari Blitar ke Kelas Dunia/Primamedia Pustaka)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.