Senin, 29 Oktober 2012

Repot Mencari Pengganti 'Simbah'  

Simbah 'S60' in action
(Foto Formil Kaskus)
Jakarta - Jenderal Pramono Edhie Wibowo punya pesan khusus bagi prajurit yang berlatih menggunakan meriam tempur anti pesawat udara S-60. Diproduksi Uni Soviet pada 1950, meriam itu masih dipakai Artileri Pertahanan Udara hingga kini. “Tolong simbahmu ini dirawat supaya bisa tetap beroperasi,” kata Kepala Staf Angkatan Darat itu awal bulan ini.

Majalah Tempo edisi Senin 29 Oktober 2012 mengulas soal pengadaan alat sistem utama senjata TNI. Masih banyak "simbah" lain yang dimiliki Angkatan Darat. Senjata-senjata itu bahkan lebih tua daripada sang Jenderal. Misalnya meriam M101A1 105 milimeter buatan 1940--15 tahun sebelum Pramono lahir. Ada pula meriam M-48 76 milimeter buatan 1958. Dua senjata itu dia gunakan ketika berlatih pada saat belajar di Akademi Militer hingga lulus tahun 1980.

Simbah 'RL 130 mm' in action
(Foto TNI AD)
Meski uzur, senjata-senjata itu tetap dipakai prajurit. "Simbah-simbah" itu dirawat dengan baik, dan tak jarang dipamerkan pada ulang tahun Tentara Nasional Indonesia. Peluncur roket RL 130 milimeter produksi 1950 yang sempat ngadat bertahun-tahun bahkan bisa menyemburkan amunisi lagi. 

Kisah senjata sepuh tidak hanya dimiliki Angkatan Darat. Di Angkatan Udara, banyak pesawat berumur yang tetap dipakai. Dari 234 unit pesawat tempur, hanya separuhnya yang layak terbang. Di antaranya Hawk 200, yang dua pekan lalu jatuh di Siak Hulu, Kampar, Riau. 

Persenjataan TNI tidak hanya jauh dari kebutuhan kekuatan minimum, tapi kondisinya pun mengenaskan. Mayoritas berusia 25-40 tahun dan tak sedikit yang ngadat ketika digunakan. Akibatnya, tak semua senjata TNI saat ini siap tempur. 

Kondisi ini kian parah karena nyaris tak ada peremajaan senjata. Bahkan, menurut Ketua Komisi Pertahanan Dewan Perwakilan Rakyat Mahfudz Siddiq, sejak reformasi 1998 hingga akhir 2010, nyaris tak ada pengadaan senjata baru. Karena itu, menurut Mahfudz, peremajaan dan modernisasi persenjataan TNI mendesak dilakukan.

Anggaran pertahanan yang cekak dianggap sebagai penyebab. Sejak 2004, bujet militer memang naik dari Rp 21,7 triliun menjadi Rp 72,54 triliun pada 2012. Namun, anggaran itu tak sepenuhnya dipakai untuk pembelian alat utama sistem persenjataan (alutsista). Hanya sekitar Rp 28 triliun alokasi untuk pos ini. Baru pada 2030, menurut Asisten Bidang Kebijakan Komite Kebijakan Industri Pertahanan Said Didu, anggaran pembelian peralatan militer akan menembus Rp 100 triliun per tahun.

Mafia pengadaan juga menggerus dana pembelian alat tempur ke luar negeri. Makelar senjata membuat harga berlipat-lipat. Bagaimana para makelar bekerja? Bagaimana pula pemerintah mengurangi peran makelar? Simak laporan Majalah Tempo. 
© Tempo.Co

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...