Artikel dibawah ini seluruhnya dikutip dari Buku Biografi Ben Mboi - Dokter, Memoar Prajurit, Pamong Praja. Suntingan Sdr. Candra Gautama & Sdr. Riant Nugroho - Terbitan KPG Desember 2011.
Selamat Bejuang Pahlawanku!
Pilot Hercules, Letkol Slamet memberikan ucapan intinya tugas dia hanya sampai disitu, dan mengucapkan:
"Selamat Berjuang, Pahlawan!"
Dipintu berdiri Jump-master yang menendang pantat kami keluar pesawat karena saking beratnya beban yang menempel dibadan kami sambil berteriak
"Selamat Berjuang, Pahlawanku!"
Dari stick saya Serma Teguh Sutarmin terjun duluan, disusul Serma Amwat.
Ketika sampai pada giliran saya, keringat dingin mendadak keluar. Tiba-tiba ada tepukan dibahu kiri saya dari belakang, disertai suara yang sudah lama sekali saya tidak dengar,
"Ben, jangan takut, saya akan selalu turut!"
Kami terjun diketinggian 700m kurang lebih jam 03.00 pagi, ketika bulan mati gelap gulita, tetapi langit dipenuhi bintang-bintang. Saya melihat sekeliling, suatu pemandangan yang begitu indah sekali, puluhan payung mengambang dalam keremangan jutaan bintang-bintang dilangit. Romantis sekali kalau tidak mengingat bahwa dibawah sana ada musuh yang menunggu untuk menembak kami.
Begitu payung terbuka, saya lepaskan ransel dan pluzak bergantung bebas dari badan saya agar nantinya jatuh tidak terlalu keras. Sepanjang latihan terjun di Margahayu, saya tidak pernah terjun dengan beban dibadan. Untunglah payung terjun yang kami pakai adalah buatan Russia yang tebal. Bayangkan kalau memakai payung sutra buatang Inggris, dengan beban dibadan saya lebih 60 kg, pasti seperti free-fall saja.
Makin dekat kebawah, makin tampak pohon-pohon, makin lama makin tinggi (makin dekat?). Celaka pikir saya. Latihan turun memakai tali dan snipering di Margahayu hanya simulasi saja. Rencana Kolonel Moeng (Komandan RPKAD) untuk sekali terjun di hutan karet batal dikerjakan karena terhalang hujan.
Saya terjatuh kedalam satu pohon, meluncur diantara cabang-cabang. Bergantung 20 meter dari tanah!. Saya lepaskan diri dari ikatan tali payung terjun, dan dengan tali dan snipering perlahan-lahan turun ke tanah dan duduk disana, sampai kira-kira pukul setengah enam. Kami dibekali dengan 1 pluit, dengan kode panggil 3x, jawab 2x.
Pukul 0600 pagi terkumpul 9 orang, stick saya utuh kecuali Serma Teguh Sutarmin, penerjun pertama. Memang dapat dibayangkan betapa kesulitannya kami untuk konsolidasi, karena kecepatan Dakota waktu latihan berbeda dengan kecepatan Hercules yang menerjunkan kami. Dapat dibayangkan berapa jarak jatuh antara penerjun dengan kecepatan Hercules yang kira-kira 150 meter per detik diatas rimba belantara Papua yang dikelilingi rawa itu.
Saya sudah dibumi Irian Barat. Misi kami baru mulai. Kami harus berperang dengan Belanda. Pekerjaan saya sebagai perwira kesehatan belum ada. Semoga tidak ada yang tercedera. Apa mungkin? Mustahil peperangan tanpa cedera, peperangan tanpa kematian!
Tunggu saja!
Pertempuran di Kampung Kelapa Lima
Setelah kami sudah terkonsolidasi, kami mulai orientasi medan dan mendapati satu kenyataan bahwa kami diterjunkan disebelah barat sungai yang kami yakini Sebagai Sungai Maro. Sungai ini mengalami pasang surut setiap 6 jam. 6 jam mengalir kehulu, dan kemudian megalir ke hilir!. Benar-benar tidak ada perbandingannya di Pulau Jawa. Dengan kata lain, untuk bertemu dengan pasukan, kami harus menyeberang dengan rakit. Menyeberangi sungai yang begitu luasnya.
Setelah konsolidasi stick terjun kami, saya menginventarisasi kekuatan regu kecil kami. Semulanya stick terjun terdiri dari 10 orang. Achyat, Kasmin, Sutiyono, Suyatno, Suyatno pelontar granat, Rumasukun, Ismail pemegang Bren, Serma Kesehatan Amwat dan saya. Lettu Kes Dr. Ben Mboi. Serma Kesehatan Teguh Sutarmin belum juga bergabung, kami menunggu dia.
Kemudian kami membuat rakit dari bambu, dan ketika hari sudah gelap kami menyeberang, berenang sambil mendorong rakit bermuatan perlengkapan kami. Kami langsung masuk ke dalam rawa, dan sepanjang malam tidur disana.
Begitu hari mulai terang, kami mulai bergerak, mencari jalan setapak yang dijelaskan dalam briefing di Amahai. Ternyata jalan setapak tersebut tidak ada! Apa yang salah? Perjanjian di Amahai adalah bahwa apabila sampai dengan tanggal 1 Juli tidak bertemu dengan induk pasukan, maka setiap prajurit yang selamat diharuskan bergerak kearah Merauke. Kita pasti akan bertemu di sekitar Kota Merauke. Namun sampai tanggal 1 Juli kami belum juga bertemu dengan induk pasukan.
Kami menganggap bahwa sungai yang telah kami seberangi ini adalah Sungai Maro. Jadi, kalau kami menyusur sungai dengan sesekali menjauhi pinggiran sungai, pasti kami akan sampai ke Kota Merauke. Maka berjalanlah kami ke arah Baratdaya. Tetapi aneh sekali, pesawat-pesawat terbang yang lewat diatas kami semuanya menuju arah Tenggara.
Ilmu bumi yang saya pelajari mengatakan bahwa disebelah timur Kota Merauke tidak ada kota lagi. Kota Merauke adalah kota yang paling selatan dan berbatasan langsung dengan Papua Nugini. Maka kami putuskan untuk mengikuti arah penerbangan pesawat yang lewat, tidak mustahil kami diterjunkan ditempat yang salah. Setelah beberapa hari berjalan, menyeberangi rawa-rawa, kami mendengar bunyi seruling kapal laut. Bunyi itu memastikan kepada kami bahwa Merauke ada di depan kami, di tenggara.
Anda harus membayangkan rapatnya hutan belantara Irian pada masa itu. Tiba-tiba saja kami bertemu dengan seorang tua, yang kemudian kami tahu bernama Bakri, seorang Jawa asal Gresik-Jawa Timur yang pada awal abad ke-20 masuk dalam rombongan migran yang dibawa oleh Belanda ke New Caledonia. Rombongan mereka singgah di Merauke dan tidak dilanjutkan ke New Caledonia. Dia menunjukkan kepada kami beberapa pohon singkong diantara pohon-pohon sagu, dan dia berjanji akan datang membawa makanan.
Terjadilah dialog lucu berikut:
"Kita sekarang ada dimana?" tanya seorang prajurit."Di West New Guinea," jawab Bakri."Busyettt," cetus prajurit saya," Bang*at AURI! Kita mestinya terjun di Irian Barat, malah dijatuhkan di Di West New Guinea!"
Kami tidak begitu saja mempercayai Pak Bakri, siapa tau dia voor-spit dan mata-mata Belanda. Karena dia berjanji akan kembali, maka buat berjaga-jaga kami menyiapkan penyergapan andaikata dia datang membawa tentara Belanda. Ternyata Pak Bakri jujur. Dia datang kembali membawa ubi-ubian buat kami. Namun setelahnya, kami menghindari bertemu dia lagi sampai cease-fire beberapa minggu kemudian.
Kami meneruskan perjalanan menuju tepi barat Kali Maro. Kami kaget bukan main, karena sungai ini begitu lebar, mungkin 2-3 km lebarnya. Diseberang terlihat Kota Merauke. Kalau ingin ke Merauke jelas harus ke hulu sungai dulu, dimana lebar sungai lebih sempit dan ada sedikit belokan agar lebih mudah menyeberang. Dan ketika kami ke hulu, kami meliwati tepi luar areal persawahan yang luas. Kemudian setelah cease-fire kami tahu persawahan itu sebagai Kampung Kuprik, dengan penduduk sebagian besar suku Buton dan Jawa, seperti keluarga La Bulla.
Akhirnya kami sampai ke hulu Kali Maro, dimana lebar sungai hanya lebih
kurang 200-300 m. Disitu kami berhenti sambil mengumpulkan rumput serta
membungkus ransel dan kelengkapan lain dalam ponco. Kami menunggu saat
peralihan air pasang dan surut. Pada saat itu sungai agak tenang, momen
terbaik untuk menyeberang. Kami berenang dengan hanya mengenakan celana
dalam saja.
Ditengah sungai saya sempat kaget bertemu ular sebesar paha manusia dewasa. Tetapi karena mungkin dia juga sedang mencari penghidupan seperti kami dia melewati depan saya saja. Seorang teman yang terlambat menyeberangi sungai disambar arus naik, terbawa arus kuat ke hulu dan kembali terdampar ditepi barat sungai. Terpaksa kami menginap lagi semalam untuk menunggu prajurit tersebut. Sekarang, kami sudah sampai ke daerah operasi yang benar, sisi timur Sungai Kali Maro.
Ditengah sungai saya sempat kaget bertemu ular sebesar paha manusia dewasa. Tetapi karena mungkin dia juga sedang mencari penghidupan seperti kami dia melewati depan saya saja. Seorang teman yang terlambat menyeberangi sungai disambar arus naik, terbawa arus kuat ke hulu dan kembali terdampar ditepi barat sungai. Terpaksa kami menginap lagi semalam untuk menunggu prajurit tersebut. Sekarang, kami sudah sampai ke daerah operasi yang benar, sisi timur Sungai Kali Maro.
Hello Merauke, here we come!
Sudah masuk minggu
ketiga setelah penerjunan kami tanggal 24 Juni 1962, namun belum
kelihatan tanda-tanda daripada induk pasukan, komandan Operasi Naga.
Jadi kembali kami lanjutkan perjalanan, kearah Merauke pada sisi timur
Sungai Moro.
23 Juli, kurang lebih pukul 15.00 kami dikejutkan dengan suara lonceng sapi. Ternyata ada kawanan sapi yang sedang merumput disekitar kami. Kami sudah berada dipinggir lapangan terbang Merauke. Sadar secara fisik sudah akan memasuki kota, kami berusaha menghindar mencari kemungkinan keberadaan induk pasukan. Tidak mungkin akan ada konsentrasi pasukan kami didalam kota, bayangkan saja kami bergerilya sendiri tanpa peta!
Kami menyusuri pinggiran lapangan terbang yang sunyi senyap, tidak ada pesawat, tidak ada kegiatan yang berlebihan. Kami berusaha tetap berjalan dalam hutan. Begitu sore, kira-kira pukul 17.00 kami berhenti. Tiba-tiba muncul 3 orang pemuda Papua, pemuda setempat, ngobrol sebentar dengan kami lalu pergi. Segera kami curiga dan mempersiapkan diri seperlunya, mengatur sudut agak berpencar! Saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan dengan satu pistol ditangan dalam perang gerilya, dimana orang tidak akan bertanya siapa dokter, siapa bukan, melainkan tembak saja.
Kira-kira pukul 8 malam mulailah tembakan pertama ke arah kami, disusul rentettan semakin lama semakin gencar. Pertempuran real pertama saya meletus. Berlangsung kira-kira satu jam, namun secara mendadak berhenti. Pagi-pagi 24 Juli terjadi tembakan pancingan lagi kearah kami, pertempuran dilanjutkan sebelum kami sempat konsolidasi. Pertempuran berlangsung sengit kira-kira setengah jam, berhenti setelah terdengar jeritan kesakitan seorang pasukan Belanda yang terkena tembakan. Pasukan Belanda dengan terburu-buru mundur, sambil menyeret anggota pasukannya yang terluka tadi. Dan kami berkumpul.
Konsolidasi kami kehilangan 3 personil : Serma Rumasukun, Serda Ismail, dan Prajurit Sutiyono. Pelda Soepangat putus urat achillesnya kena tembakan musuh. Saya periksa, kalau toh harus dioperasi harus di mobilisasikan, namun akan memperlambat gerakan kelompok yang tinggal 5 orang ini. Kami putuskan, Soepangat ditempatkan dipinggir jalanan setapak Kampung Kelapa Lima dengan harapan pasti nantinya akan ditolong warga, dengan asumsi menjadi tawanan tentara Belanda.
Kami menyingkir dan bersembunyi dibalik rimbunnya pepohonan besar karena mulai pukul 09.00 pagi hingga 17.00 sore kami dibombardir dengan tembakan mortir. Besoknya kami bergerak kearah timur lagi, mencari induk pasukan. 3 Kawan kami yang hilang tidak diketahui nasibnya, entah gugur, tercecer, atau tertangkap. Entahlah!. Baru setelah cease-fire kemudian diketahui bahwa Rumasukun, Ismail, dan Sutiyono tercecer sampai Papua New Guinea dan ditangkap oleh tentara Australia.
Dua hari kami bertempur secara terus menerus dengan Belanda, saya mengambil kesimpulan bahwa tentara Belanda bertempur cuma ala kadarnya saja, dan sepertinya tidak kepingin mati untuk Irian Barat. Begitu teman-temannya terkena peluru, cedera atau tewas, langsung mereka mengundurkan diri. Sayang, psikologi ini tidak kita baca sebelumnya. Andaikata kita tahu suasana moril musuh ini, strategi dan taktik perang pihak kita mungkin akan lain.
23 Juli, kurang lebih pukul 15.00 kami dikejutkan dengan suara lonceng sapi. Ternyata ada kawanan sapi yang sedang merumput disekitar kami. Kami sudah berada dipinggir lapangan terbang Merauke. Sadar secara fisik sudah akan memasuki kota, kami berusaha menghindar mencari kemungkinan keberadaan induk pasukan. Tidak mungkin akan ada konsentrasi pasukan kami didalam kota, bayangkan saja kami bergerilya sendiri tanpa peta!
Kami menyusuri pinggiran lapangan terbang yang sunyi senyap, tidak ada pesawat, tidak ada kegiatan yang berlebihan. Kami berusaha tetap berjalan dalam hutan. Begitu sore, kira-kira pukul 17.00 kami berhenti. Tiba-tiba muncul 3 orang pemuda Papua, pemuda setempat, ngobrol sebentar dengan kami lalu pergi. Segera kami curiga dan mempersiapkan diri seperlunya, mengatur sudut agak berpencar! Saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan dengan satu pistol ditangan dalam perang gerilya, dimana orang tidak akan bertanya siapa dokter, siapa bukan, melainkan tembak saja.
Kira-kira pukul 8 malam mulailah tembakan pertama ke arah kami, disusul rentettan semakin lama semakin gencar. Pertempuran real pertama saya meletus. Berlangsung kira-kira satu jam, namun secara mendadak berhenti. Pagi-pagi 24 Juli terjadi tembakan pancingan lagi kearah kami, pertempuran dilanjutkan sebelum kami sempat konsolidasi. Pertempuran berlangsung sengit kira-kira setengah jam, berhenti setelah terdengar jeritan kesakitan seorang pasukan Belanda yang terkena tembakan. Pasukan Belanda dengan terburu-buru mundur, sambil menyeret anggota pasukannya yang terluka tadi. Dan kami berkumpul.
Konsolidasi kami kehilangan 3 personil : Serma Rumasukun, Serda Ismail, dan Prajurit Sutiyono. Pelda Soepangat putus urat achillesnya kena tembakan musuh. Saya periksa, kalau toh harus dioperasi harus di mobilisasikan, namun akan memperlambat gerakan kelompok yang tinggal 5 orang ini. Kami putuskan, Soepangat ditempatkan dipinggir jalanan setapak Kampung Kelapa Lima dengan harapan pasti nantinya akan ditolong warga, dengan asumsi menjadi tawanan tentara Belanda.
Kami menyingkir dan bersembunyi dibalik rimbunnya pepohonan besar karena mulai pukul 09.00 pagi hingga 17.00 sore kami dibombardir dengan tembakan mortir. Besoknya kami bergerak kearah timur lagi, mencari induk pasukan. 3 Kawan kami yang hilang tidak diketahui nasibnya, entah gugur, tercecer, atau tertangkap. Entahlah!. Baru setelah cease-fire kemudian diketahui bahwa Rumasukun, Ismail, dan Sutiyono tercecer sampai Papua New Guinea dan ditangkap oleh tentara Australia.
Dua hari kami bertempur secara terus menerus dengan Belanda, saya mengambil kesimpulan bahwa tentara Belanda bertempur cuma ala kadarnya saja, dan sepertinya tidak kepingin mati untuk Irian Barat. Begitu teman-temannya terkena peluru, cedera atau tewas, langsung mereka mengundurkan diri. Sayang, psikologi ini tidak kita baca sebelumnya. Andaikata kita tahu suasana moril musuh ini, strategi dan taktik perang pihak kita mungkin akan lain.
25 Juli pagi-pagi sekali kami keluar dari persembunyian disekitar hutan
kampung Kelapa Lima, langsung menuju arah timur mencari induk pasukan,
baik itu RPKAD maupun Raiders 530. Mula-mula kami kearah perbatasan PNG
melalui daerah rawa-rawa kering. Makanan kami hanya terdiri dari daun
bluntas dan daun nipah. Sesekali kami menangkap Biawak yang cukup banyak
diwilayah tersebut. Bila dekat anak Sungai Maro, dengan gampang kami
menangkap ikan gabus yang tidur dalam lumpur.
15 Juli 1962, timbul kejadian aneh. Tentara Belanda secara bertubi-tubi seperti menyirami pinggiran Sungai Maro dengan mortir dan peluru senapan mesin. Ini sampai 2 hari penuh dilakukan mereka. Kami yakin, induk pasukan kami berada disekitar sungai tersebut. Maka kami memutuskan menyusuri Kali Maro lagi kehulu.
Terus terang, kami belum pernah bertemu pasukan Raiders Yon 530. Maka hampir saja terjadi salah paham dan baku tembak. Untung kemudian terdengar orang bicara memakai bahasa Jawa diseberang sana. Setelah kami tanya, baru ketahuan mereka anggota Raiders Yon 530. Kami saling mendekat, berpelukan, bersalaman.
"Mana Komandan?" saya bertanya kepada salah seorang dari mereka.
"Komandan Kapten Bambang Soepeno berada sekitar 1-2 km dari sini"
Kami bersama-sama ke tempat Kapten Bambang Soepeno, Komandan Kompi Raiders 530/Brawijaya, yang juga merangkap Wakil Komandan Pasukan Operasi Naga. Saya melapor dan seterusnya bergabung dengan sisa 5 orang pasukan saya.
Sambil beristirahat setelah bergabung dengan Raiders 530, kami masih menunggu Bintara Kesehatan Serma Teguh Sutarmin yang mulai hari pertama tidak kami ketahui nasibnya bagaimana selama 3 hari. Mencarinya sekitar dropping zone dengan menggunakan kode pencarian kami, tapi tetap saja gagal. Sementara itu ada higgins boat patrol Belanda lewat. Kami biarkan saja kapal kecil itu lewat, dengan maksud membiarkannya bertemu dengan induk pasukan kami yang lebih besar. Dan benar saja, pada siang hari setelah 3 hari penerjunan, terjadi kontak senjata dengan pasukan RPKAD yang ternyata terjun lebih jauh ke hulu sungai.
15 Juli 1962, timbul kejadian aneh. Tentara Belanda secara bertubi-tubi seperti menyirami pinggiran Sungai Maro dengan mortir dan peluru senapan mesin. Ini sampai 2 hari penuh dilakukan mereka. Kami yakin, induk pasukan kami berada disekitar sungai tersebut. Maka kami memutuskan menyusuri Kali Maro lagi kehulu.
Terus terang, kami belum pernah bertemu pasukan Raiders Yon 530. Maka hampir saja terjadi salah paham dan baku tembak. Untung kemudian terdengar orang bicara memakai bahasa Jawa diseberang sana. Setelah kami tanya, baru ketahuan mereka anggota Raiders Yon 530. Kami saling mendekat, berpelukan, bersalaman.
"Mana Komandan?" saya bertanya kepada salah seorang dari mereka.
"Komandan Kapten Bambang Soepeno berada sekitar 1-2 km dari sini"
Kami bersama-sama ke tempat Kapten Bambang Soepeno, Komandan Kompi Raiders 530/Brawijaya, yang juga merangkap Wakil Komandan Pasukan Operasi Naga. Saya melapor dan seterusnya bergabung dengan sisa 5 orang pasukan saya.
Sambil beristirahat setelah bergabung dengan Raiders 530, kami masih menunggu Bintara Kesehatan Serma Teguh Sutarmin yang mulai hari pertama tidak kami ketahui nasibnya bagaimana selama 3 hari. Mencarinya sekitar dropping zone dengan menggunakan kode pencarian kami, tapi tetap saja gagal. Sementara itu ada higgins boat patrol Belanda lewat. Kami biarkan saja kapal kecil itu lewat, dengan maksud membiarkannya bertemu dengan induk pasukan kami yang lebih besar. Dan benar saja, pada siang hari setelah 3 hari penerjunan, terjadi kontak senjata dengan pasukan RPKAD yang ternyata terjun lebih jauh ke hulu sungai.
Bersambung ...
Diposkan Oleh Erwin Parikesit (Kaskuser)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.