Sabtu, 16 Februari 2013

Menjaga Kedaulatan Rupiah di Kepulauan

Jakarta  Hari Kamis (7/2/2013) tepat pukul 10.00, rombongan juru kasir Bank Indonesia berangkat dari Jayapura menuju ke Pulau Supiori di kawasan Biak, Papua. Dengan kawalan TNI Angkatan Laut, mereka berangkat menggunakan KRI Sultan Nuku. Rombongan ini membawa uang senilai Rp 7 miliar untuk menggantikan uang rupiah yang sudah tidak layak di kawasan pulau-pulau terkecil.

Untuk mencapai Pulau Supiori, dibutuhkan waktu tempuh selama sekitar 40 jam. Perjalanan yang cukup lama dan melelahkan. Apalagi berada di dalam kapal patroli TNI AL dengan gelombang air laut yang cukup tinggi. Guncangan kapal cukup keras sehingga beberapa anggota rombongan muntah- muntah.

Meski banyak tantangan yang harus dihadapi, rupiah harus tiba di Pulau Supiori. Saat melepas rombongan, Komandan Lantamal X Laksamana Pertama I Gusti Putu Wijamahadi mengatakan, kehadiran rupiah di pulau-pulau terluar Indonesia menjadi simbol penting bagi kedaulatan negara. ”Kita punya 17.499 pulau dan perbatasan langsung dengan 11 negara tetangga. Karena itu, kedaulatan negara harus dijaga betul,” katanya.

Dia menjelaskan, saat menghadapi sengketa perbatasan Sipadan-Ligitan dengan Malaysia, salah satu pertimbangan wilayah itu menjadi milik Malaysia karena mata uang yang digunakan adalah ringgit. ”Masyarakat di situ lebih suka menggunakan ringgit daripada rupiah. Jangan sampai itu terulang kembali. Ini menjadi tugas Bank Indonesia,” ujarnya.

Perjalanan ini menggunakan KRI Sultan Nuku dengan kecepatan jelajah 15 knot, dibantu 84 anak buah kapal. Kapal bernomor lambung 373 itu dibuat di galangan VEB Penne Werft GmbH Wplgast, Jerman Timur, tahun 1982. Saat itu, kapal diluncurkan dengan nama Waren-224. Setelah dibeli Pemerintah Indonesia, dibuat beberapa perubahan, hingga kemudian berganti nama menjadi KRI Sultan Nuku dan berada di jajaran satuan kapal ekskorta Armada RI Kawasan Timur.

Sultan Nuku adalah sultan dari Tidore yang terkenal dengan taktik perang dwimantra. Taktik tersebut berupa penggabungan perang gerilya di laut dan darat. Sultan Nuku juga dikenal sebagai diplomat piawai.

Sabtu (9/2/2013) pukul 07.00, rombongan mendarat di Pelabuhan Biak. Untuk bisa sampai ke Kabupaten Supiori, masih harus melakukan perjalanan darat selama sekitar 2,5 jam. Setiba di Supiori, para juru kasir segera menyiapkan uang yang ditaruh di dalam brankas. Dengan mengambil tempat teras Bank BRI setempat, mulailah juru kasir menawarkan jasa penukaran uang.

Tak lama kemudian, masyarakat pun berdatangan. Awalnya mereka masih bingung karena sebelumnya tidak pernah ada layanan penukaran uang. Begitu mengetahui, mereka pun berbondong-bondong membawa uang lusuh dan uang pecahan besar. ”Saya mau tukar uang Rp 1 juta pecahan Rp 100.000 dengan pecahan Rp 1.000, Rp 2.000, dan Rp 5.000,” kata Mochtar (52), pemilik warung makan.

Layanan teratur

Dia sengaja menukarkan uang pecahan besar karena selama ini kesulitan mencari uang pecahan kecil. Padahal, sebagai pemilik warung, dia harus selalu menyediakan uang pecahan kecil untuk kembalian. ”Memang bisa tukar di Bank BRI, tetapi pasokannya sering kali terbatas sehingga saya tidak bisa menukarnya. Saya penginnya ada layanan seperti ini secara teratur,” ujarnya.

Lain lagi dengan Hajas yang datang dengan tumpukan uang lusuh Rp 1.000 dan Rp 2.000. Menurut dia, uangnya itu adalah hasil penjualan toko kelontongnya. Namun, karena pembeli tidak mau menerima kembalian uang lusuh, ia menyimpannya di laci toko. ”Orang sini enggak mau dikasih uang yang jelek. Apalagi dikasih recehan,” katanya.

Tak hanya uang lusuh, uang edisi lama pun ditukar oleh masyarakat Supiori. Mariyam, misalnya, datang dengan membawa uang pecahan Rp 50.000 bergambar WR Supratman. Oleh juru kasir, uang itu langsung diganti dengan pecahan Rp 50.000 edisi terbaru. Ada juga yang salah persepsi. Seorang bapak datang membawa uang pecahan Rp 25 dan Rp 10 sen. Ia mengira uang itu bisa ditukarkan dengan nilai yang lebih banyak. ”Kami melayani penukaran sesuai nominalnya, Pak, tidak seperti pemburu barang antik,” kata juru kasir.

Selesai kegiatan di Supiori, rombongan bertolak ke Pulau Bras pada Sabtu sekitar pukul 17.00 dan tiba di pulau itu hari Minggu (10/2/2013) pukul 15.00. Kondisi pulau dengan pantai berpasir itu membuat kapal tidak bisa menepi. Di wilayah tersebut rombongan tidak turun. Hanya beberapa anggota pasukan TNI AL yang turun dari kapal. Mereka menggunakan sekoci untuk sampai di Pulau Bras. Mereka adalah prajurit jaga rutin di kawasan perbatasan. Biasanya mereka berjaga selama tiga bulan, setelah itu barulah ganti personel.

Wilayah Pulau Bras hanya dihuni sekitar 50 keluarga. Pulau Bras adalah pulau terluar Indonesia yang terletak di Samudra Pasifik dan berbatasan dengan negara Palau.

Dari Pulau Bras, rombongan melanjutkan perjalanan ke Sorong. Para wartawan yang turut dalam rombongan hanya mengikuti perjalanan sampai Sorong. Setelah Sorong, tim masih harus melanjutkan perjalanan ke Pulau Waigeo, Gebe, Jorongan, dan berakhir di Ternate. Sebelum menempuh perjalanan laut, tim BI juga meninjau kawasan perbatasan darat antara Indonesia dan Papua Niugini, yang terletak di Distrik Muara Tami, Skouw. Di kawasan tersebut, rupiah menjadi mata uang, baik di wilayah Indonesia maupun Papua Niugini, di sekitar perbatasan.

Menurut Kepala Departemen Pengedaran Uang BI Lambok Antonius Siahaan, menjaga ketersediaan rupiah dalam kondisi layak menjadi tugas penting BI. ”Uang yang kondisinya sudah tidak layak harus dikembalikan ke BI, termasuk dari daerah-daerah terpencil,” katanya.

Beberapa indikator uang tak layak edar yang digunakan BI adalah lusuh, berlubang, dan sobek tiga bagian. Uang tersebut dimusnahkan dan diganti dengan uang baru. ”Semakin banyak uang yang tidak layak, produksi uang baru juga bertambah, dan itu membuat biaya produksi naik. Karena itu kami berupaya agar biaya pencetakan uang bisa ditekan dengan meningkatkan kesadaran masyarakat dalam memperlakukan uang,” katanya.

Untuk menarik uang yang tidak layak edar, BI menggunakan jaringan perbankan dan kasir toko. Sayangnya, untuk daerah- daerah terpencil, keberadaan perbankan masih minim sehingga peredaran uang yang tidak layak sulit terpantau.

”Di wilayah Papua, misalnya, baru ada 9 bank umum dan 8 bank perkreditan rakyat dengan total 350 kantor cabang. Ini masih sangat kurang karena di sini ada 40 kabupaten, 29 kabupaten di Papua dan 11 kabupaten di Papua Barat,” kata Kepala Perwakilan BI Provinsi Papua dan Papua Barat Hasiholan Siahaan.

Kas keliling untuk menarik uang yang tidak layak dan sosialisasi keaslian rupiah di daerah terpencil dilakukan BI sejak tahun 2011. Lokasi pertama di perbatasan antara Indonesia dan Filipina (Pulau Marore, Miangas, Melonguane, dan Pulau Lirung).(ENY PRIHTIYANI)

  ● Kompas  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...