Jakarta Anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Golkar Fayakun Adriadi
menyalahkan pemerintah dalam kasus pembengkakan penggunakan BBM bagi
kegiatan operasional TNI. Itu karena Kementerian Keuangan tidak
mendengarkan saran DPR.
Menurut Fakayun, alokasi kuota BBM untuk operasional TNI, itu semestinya menggunakan perhitungan kuantum, yaitu alokasi BBM berdasarkan kebutuhan operasional setiap kendaraan atau kapal perang TNI yang ada. Tidak dengan cara seperti yang dipakai saat ini, TNI mendapatkan jatah BBM untuk opersionalnya berdasarkan jumlah nominal saja. Sehingga saat harga minyak dunia harganya naik, itu akan mempengaruhi dan membuat susut jumlah kuota BBM. Karena BBM yang digunakan operasional TNI berdasarkan harga BBM normal.
"Alutsistanya nambah terus. Sementara BBM-nya dipatok berdasarkan Rupiah. Sementara BBM buat kapal perang itu harganya harga market. Jadi kalau harga minyak dunia lagi tinggi, otomatis jatah BBBM untuk TNI jumlah liternya menjadi sedikit karena dipatok rupiah. Jadi nggak bisa begitu dasar perhitungannya," tandas Fayakun Adriadi kepada JurnalParlemen Jumat (15/2).
Fayakun menanggapi laporan pihak TNI saat raker di Komisi I pada Selasa 5 Februari 2013 lalu bahwa telah terjadinya pembengkakan BBM untuk operasional sebesar Rp 7 triliun. Anggota Badan Anggaran ini mengatakan, seharusnya kebutuhan BBM untuk kapal perang itu menggunakan ukuran kuantum, dan Komisi I pun sudah minta agar penggunaan perhitungan BBM untuk TNI ini dengan motode kuantum. Namun hingga kini, Pemerintah dalam hal ini Kemenkeu, tidak juga memperhatikan saran dari Komisi I.
"Kita dari tahun-tahun kemarin, sudah minta itu (motode kuantum) dilaksanakan sesegera mungkin. Persoalannya kan Kementerian Keuangannya yang tidak mau pakai cara perhitungan kuantum. Nilai sebuah kedaulatan negara, apa bisa diukur dengan uang. Ini kan Menteri Keuangan ngukurnya kan untung rugi. Kalau menyangkut kedaulatan negara itu tidak ada istilah untung rugi," tandasnya.
Pada tahun 2012 lalu, pihak TNI pernah melaporkan akan terjadinya pembengkakan BBM untuk operasional sekitar Rp 6 triliun. Namun soal itu, menurut Fayakun, sudah ada pemecahannya. Masalah ini telah dibahas di Banggar dengan Menkeu, dan DPR minta masalah tunggakan BBM ini diselesaiakan di internal Pemerintah.
"Yang tunggakan Rp 6 trilun tahun lalu sudah diselesaikan. Kalau di pemerintah kan ada 'kantong kanan-kantong kiri'. Jadi tidak serta merta dihapuskan. Tetapi dilihat bahwa kebutuhannya itu, rasionalisasinya menjadi berapa. Jadi yang dulu tunggakannya Rp 6 triliun itu sudah diselesaikan. Dan saat ini muncul lagi Rp 7 triliun, sebagaimana yang disampaikan saat Raker dengan Panglima TNI dan 3 Kepala Staf TNI pekan lalu itu," ujarnya.
Menurut Fakayun, alokasi kuota BBM untuk operasional TNI, itu semestinya menggunakan perhitungan kuantum, yaitu alokasi BBM berdasarkan kebutuhan operasional setiap kendaraan atau kapal perang TNI yang ada. Tidak dengan cara seperti yang dipakai saat ini, TNI mendapatkan jatah BBM untuk opersionalnya berdasarkan jumlah nominal saja. Sehingga saat harga minyak dunia harganya naik, itu akan mempengaruhi dan membuat susut jumlah kuota BBM. Karena BBM yang digunakan operasional TNI berdasarkan harga BBM normal.
"Alutsistanya nambah terus. Sementara BBM-nya dipatok berdasarkan Rupiah. Sementara BBM buat kapal perang itu harganya harga market. Jadi kalau harga minyak dunia lagi tinggi, otomatis jatah BBBM untuk TNI jumlah liternya menjadi sedikit karena dipatok rupiah. Jadi nggak bisa begitu dasar perhitungannya," tandas Fayakun Adriadi kepada JurnalParlemen Jumat (15/2).
Fayakun menanggapi laporan pihak TNI saat raker di Komisi I pada Selasa 5 Februari 2013 lalu bahwa telah terjadinya pembengkakan BBM untuk operasional sebesar Rp 7 triliun. Anggota Badan Anggaran ini mengatakan, seharusnya kebutuhan BBM untuk kapal perang itu menggunakan ukuran kuantum, dan Komisi I pun sudah minta agar penggunaan perhitungan BBM untuk TNI ini dengan motode kuantum. Namun hingga kini, Pemerintah dalam hal ini Kemenkeu, tidak juga memperhatikan saran dari Komisi I.
"Kita dari tahun-tahun kemarin, sudah minta itu (motode kuantum) dilaksanakan sesegera mungkin. Persoalannya kan Kementerian Keuangannya yang tidak mau pakai cara perhitungan kuantum. Nilai sebuah kedaulatan negara, apa bisa diukur dengan uang. Ini kan Menteri Keuangan ngukurnya kan untung rugi. Kalau menyangkut kedaulatan negara itu tidak ada istilah untung rugi," tandasnya.
Pada tahun 2012 lalu, pihak TNI pernah melaporkan akan terjadinya pembengkakan BBM untuk operasional sekitar Rp 6 triliun. Namun soal itu, menurut Fayakun, sudah ada pemecahannya. Masalah ini telah dibahas di Banggar dengan Menkeu, dan DPR minta masalah tunggakan BBM ini diselesaiakan di internal Pemerintah.
"Yang tunggakan Rp 6 trilun tahun lalu sudah diselesaikan. Kalau di pemerintah kan ada 'kantong kanan-kantong kiri'. Jadi tidak serta merta dihapuskan. Tetapi dilihat bahwa kebutuhannya itu, rasionalisasinya menjadi berapa. Jadi yang dulu tunggakannya Rp 6 triliun itu sudah diselesaikan. Dan saat ini muncul lagi Rp 7 triliun, sebagaimana yang disampaikan saat Raker dengan Panglima TNI dan 3 Kepala Staf TNI pekan lalu itu," ujarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.