KOMISI I DPR RI mengagendakan rapat dengan Kemenhan dan jajaran TNI
guna membahas proses modernisasi alutsista yang dalam prosesnya
bermasalah, dan telah merugikan Indonesia dalam jumlah besar.
Komisi I DPR RI mengagendakan rapat dengan Kemenhan dan jajaran TNI guna membahas proses modernisasi alutsista yang dalam prosesnya bermasalah. Komisi I akan menanyakan proyek bersama pembuatan pesawat canggih Korean Fighter eXperiment (KFX) yang dihentikan sepihak oleh Korea Selatan dan telah merugikan Indonesia sebagai mitranya.
"Dalam rapat internal di Komisi I Senin (13/5) kemarin diputuskan, kita akan mempertanyakan kenapa perjanjian itu lemah. Sehingga, Korea Selatan secara sepihak bisa dengan seenaknya membatalkan proyek kerjasamanya," ujar Wakil Ketua DPR RI Tubagus Hasanuddin kepada JurnalParlemen, Selasa (14/5). Padahal, untuk proyek ini, pemerintah sudah membayar sebesar 70 miliar dolar AS atau sekitar Rp 1,6 triliun.
Kerja sama untuk membangun pesawat super canggih KFX ini sudah berlangsung sejak 2001. Proyek itu dibiayai bersama oleh Indonesia dan Korea Selatan. Dalam proyek itu, pemerintah Indonesia diwajibkan menyetor sekitar 20 persen dari total dana Rp 80 triliun yang dibutuhkan.
Selain itu, Komisi I juga akan mempertanyakan kerjasama untuk pembelian 3 kapal selam dari Korsel. Karena, ternyata teknologi kapal selam dari Korsel itu menggunakan teknologi Jerman, di mana Jerman hanya memberikan lisensi teknologi kapal selam itu kepada Turki.
"Kita dapat surat dari pemerintah Jerman yang isinya mempertanyakan langkah pemerintah RI membeli kapal selam dari Korsel, yang menggunakan sistem teknologi yang dimiliki Jerman. Di mana, dalam surat tersebut disebutkan bahwa pihak Korsel tidak mendapat lisensi teknologi dari Jerman. Lisensinya hanya diberikan pada Turki saja," tuturnya.
Intinya, kata politisi PDI-Perjuangan ini, surat dari Jerman itu memperingatkan Indonesia agar hati-hati saja atas kapal selam yang dibeli dari Korsel itu. Hal ini mengingat tidak ada jaminan lisensi dari negara pemilik teknologinya. Secara etika, semestinya Korsel harus minta ijin dulu ke Jerman. Tapi sampai saat ini, Korsel belum melakukannya.
Menurut Hasanuddin, kejadian ini akan berpengaruh pada upaya modernisasi alutsista TNI AL, khususnya dalam hal pengadaan kapal selam.
"Karena itu, saran Komisi I, TNI AL nyari lagi saja kapal selam yang tidak bermasalah. Karena, saat ini banyak negara produsen kapal selam kok," katanya.
Komisi I DPR RI mengagendakan rapat dengan Kemenhan dan jajaran TNI guna membahas proses modernisasi alutsista yang dalam prosesnya bermasalah. Komisi I akan menanyakan proyek bersama pembuatan pesawat canggih Korean Fighter eXperiment (KFX) yang dihentikan sepihak oleh Korea Selatan dan telah merugikan Indonesia sebagai mitranya.
"Dalam rapat internal di Komisi I Senin (13/5) kemarin diputuskan, kita akan mempertanyakan kenapa perjanjian itu lemah. Sehingga, Korea Selatan secara sepihak bisa dengan seenaknya membatalkan proyek kerjasamanya," ujar Wakil Ketua DPR RI Tubagus Hasanuddin kepada JurnalParlemen, Selasa (14/5). Padahal, untuk proyek ini, pemerintah sudah membayar sebesar 70 miliar dolar AS atau sekitar Rp 1,6 triliun.
Kerja sama untuk membangun pesawat super canggih KFX ini sudah berlangsung sejak 2001. Proyek itu dibiayai bersama oleh Indonesia dan Korea Selatan. Dalam proyek itu, pemerintah Indonesia diwajibkan menyetor sekitar 20 persen dari total dana Rp 80 triliun yang dibutuhkan.
Selain itu, Komisi I juga akan mempertanyakan kerjasama untuk pembelian 3 kapal selam dari Korsel. Karena, ternyata teknologi kapal selam dari Korsel itu menggunakan teknologi Jerman, di mana Jerman hanya memberikan lisensi teknologi kapal selam itu kepada Turki.
"Kita dapat surat dari pemerintah Jerman yang isinya mempertanyakan langkah pemerintah RI membeli kapal selam dari Korsel, yang menggunakan sistem teknologi yang dimiliki Jerman. Di mana, dalam surat tersebut disebutkan bahwa pihak Korsel tidak mendapat lisensi teknologi dari Jerman. Lisensinya hanya diberikan pada Turki saja," tuturnya.
Intinya, kata politisi PDI-Perjuangan ini, surat dari Jerman itu memperingatkan Indonesia agar hati-hati saja atas kapal selam yang dibeli dari Korsel itu. Hal ini mengingat tidak ada jaminan lisensi dari negara pemilik teknologinya. Secara etika, semestinya Korsel harus minta ijin dulu ke Jerman. Tapi sampai saat ini, Korsel belum melakukannya.
Menurut Hasanuddin, kejadian ini akan berpengaruh pada upaya modernisasi alutsista TNI AL, khususnya dalam hal pengadaan kapal selam.
"Karena itu, saran Komisi I, TNI AL nyari lagi saja kapal selam yang tidak bermasalah. Karena, saat ini banyak negara produsen kapal selam kok," katanya.
Start dari permulaan, kerja sama pertahanan dgn negeri ginseng ini, sudah menuai masalah. KFX/IFX dibatalkan sepihak, TOT KS nya hanya jadi mandor di dermaga,yang herannya petinggi pemerintah kita tenang-tenang wae,sekarang sudah timbul pula masalah lisensi dari pemilik tekhnologi asal. waduh-waduh tenang-tenang wae toh pak?
BalasHapusKnp pmrntah gk tau bhwa korsel adlh antek AS,AS pengaruhi korsel agar tdk mnrskn program kfx/ifx dan kpl selam krn AS tdk ingin Indonesia pny kekuatan mlter yg kuat n canggih
BalasHapusBiasanya pengambil keputusan udah dapet komisi proyek, gak ngurus masalah jalan ato gak tuh proyek, belajarlah dari pengalaman, dan belajarlah dari negara asal senjata itu dibuat, jangan beli yg KW
BalasHapushahahahahaha..... ternyata...... ternyata duit rakyat di sumbangin ke korea... lha wong rakyat kita menahan kesengsaraan demi gagahnya tni kita. malah di sia2kan pengorbanan rakyat. jangan banci dong yang tegas. memble terus. bukti bukti dan bukti jangan janji....
BalasHapus