Penulis : Santos Winarso Dwiyogo
Kepala Divisi Masalah Bilateral dan Hubungan Internasional, Kantor Sekretariat Wakil Presiden RI
(Disampaikan dalam Roundtable Discussion yang diselenggarakan oleh Global Future Institute, bertema: Indonesia, Rusia dan G-20, Kamis 25 April 2013, di Wisma Daria, Jakarta Selatan)
Ringkasan Penting: Yang perlu digarisbawahi, Rusia datang ke Asia Pasifik dan Timur Jauh, bukan untuk membuat konflik baru, melainkan ingin menghiasi konflik itu, semacam membuat interior design, sehingga konflik yang berlangsung selama ini bisa lebih mengarah ke tren yang lebih positif di masa depan. Dengan demikian, untuk ringkasnya, Indonesia harus memanfaatkan kemitraan strategis dengan Rusia, khususnya dalam meningkatkan kapasitas dan kapabilitas dalam bidang Ilmu Pengetahuan Teknologi, khususnya di bidang perangkat keras di bidang Industri strategis khususnya milter, ruang angkasa, transportasi, pertambangan dan pertanian.
Dalam menghadapi forum ekonomi Asia Pasifik (APEC) maupun G-20, Indonesia harus cerdas, cerdik dan responsif dalam mengantisipasi pergerakan-pergerakan geopolitik negara-negara yang diperkirakan bakal memainkan peran strategis atau pemain-pemain utama dalam konstalasi global saat ini.
Indonesia harus jeli dalam mencermati dan memanfaatkan peran strategis negara-negara seperti Rusia dan Cina yang bermaksud membuat satu gerakan untuk meninggalkan pola konservatisme yang diperagakan oleh negara-negara maju yang tergabung dalam G-7. Dalam konteks ini, Indonesia harus menyadari bahwa Rusia memiliki kebijakan yang berbeda dengan negara-negara yang tergabung dalam G-7. Karena itu, dalam memetakan negara-negara maju saya lebih pas menyebut negara-negara G-7, bukan G-8. Karena ini merupakan persekutuan strategis Amerika Serikat dan Eropa Barat.
Dalam pandangan yang seperti ini, mengingat Indonesia dan Rusia sama-sama berada dalam forum yang sama di APEC, ASEAN Regional Forum, dan East Asia Community, maka dalam konteks APEC Indonesia bisa memaksimalkan peran diplomasinya, untuk meluruskan dan mengarahkan kembali tujuan APEC yang sudah melenceng jauh dari tujuannya semula. Karena sekarang APEC telah jadi ajang kepentingan negara-negara besar seperti Amerika, Eropa Barat, dan Jepang. Sekaligus juga agar Indonesia mampu mengoptimalkan kebijakan-kebijakannya terkait peningkatan kesejahteraan rakyat dan pertumbuhan ekonomi.
Memanfaatkan Fokus Politik Luar Negeri Rusia ke Asia Pasifik
Ada banyak hal yang bisa kita manfaatkan dari Rusia mengingat kita punya hubungan sejarah yang panjang dengan Rusia. Apalagi pada 2004-2005 Presiden SBY sudah menandatangani Kemitraan Strategis dengan Rusia. Menurut data yang ada pada saya, Indonesia sudah memiliki sekitar 14 kemitraan strategis dengan beberapa negara, termasuk Rusia. Namun sampai hari ini tidak ada follow up atau tindak lanjutnya.
Menarik jika kita mencermati geopolitik Rusia. Kalau mengamati pola perubahan pergerakan geopolitik Rusia, yang menarik itu adalah filosofi lambang negara Rusia sendiri yaitu elang. Elang berkepala dua. Ini sepertinya Rusia hendak menyampaikan pesan bahwa mereka akan berpaling ke kiri dan ke kanan. Menoleh ke barat tapi juga ke timur.
Maka kalau kita pahami konteks kekiniannya, terutama di forum APEC Vladivostok tahun lalu, dan pada September 2013 nanti Rusia akan selenggarakan KTT G-20. Nah ini artinya, Rusia berusaha agar tidak kehilangan fokus dan arah dalam menekankan kebijakan politik luar negerinya. Rusia menoleh ke barat, karena bagaimanapun negara beruang merah tersebut merupakan bagian dari eropa. Menoleh ke timur, karena sebagian besar wilayah negara Rusia berada di kawasan Asia, Timur Jauh dan Pasifik. Ini satu fakta geopolitik yang harus kita perhitungkan.
Sejatinya, basis kekuatan sesungguhnya Rusia berada di Asia. Ketika Rusia menghadapi krisis atau depresi, Rusia selalu ingat punya daerah di sekitar pegunungan Ural. Ketika Perang Dunia II, Rusia punya beberapa tank yang cukup berkualitas, sehingga mampu mengalahkan kedigdayaan tank-tank Jerman. Sehingga akhirnya gagal lah serangan Nazi Jerman ke Rusia. Nah tank-tank Rusia ini dibuatnya di daerah Rusia yang masuk kawasan Asia. Itu Luar Biasa.
Selain itu, modalitas politik luar negerinya yang utama adalah, ketika Rusia berhasil merebut 4 kepulauan milik Jepang. Ini dianggap sebagai simbol kemenangan geopolitik Rusia terhadap Jepang. Kalau kita berbicara mengenai geopolitik di Asia Pasifik dan Timur Jauh, ada tiga paradigma politik luar negeri.
Pertama, Asia Pasifik dan Jepang. Kedua, Asia Pasifik dan Cina. Dan ketiga, Asia Pasifik dan Amerika Serikat. Lantas di mana posisi Rusia? Nah inilah makanya Rusia ingin menunjukkan eksistensinya melalui hegemoninya. Seakan hendak mengatakan, “Hey, kami ini juga hadir lho di Asia.” Pada 1941, Joseph Stalin pernah mengatakan “Kami (Rusia) adalah negara eropa dari di Asia.” Dengan demikian bangsa Rusia selalu ingin menegaskan bahwa Rusia tidak ingin dinafikan dari masa depan Asia Pasifik. Apalagi ketika sekarang ada tren pergeseran geopolitik dari Atlantik ke Pasifik.
Dengan demikian para penyusun kebijakan politik luar negeri Indonesia harus menyadari bahwa Rusia pun sekarang menekankankan fokus politik luar negerinya ke kawasan Asia Pasifik.
Tiga Referensi Transformasi Politik Luar Negeri Rusia Pasca Perang Dingin
Pertama. Kenapa Rusia begitu menaruh prioritas membangun rel-rel kereta api di Siberia? Sejak Vladivostok Consensus dibuat semasa pemerintahan Gorbachev, Rusia berupaya membangun kembali kesadaran tradisi Rusia terhadap Asia Pasifik. Berbicara soal Vladivostok, ini merupakan daerah baru yang dicita-citakan oleh para pengambil kebijakan di Rusia sebagai ibukota Rusia di Timur Jauh. Kita tahu ibukota Rusia kan Moskowa. Tapi ibukota Rusia kuno sebernanya di Ukraina dengan ibukotanya St Petersburg. Tapi kelak ibukota ekonominya ada Vladivostok.
Itulah sebabnya momentum Rusia sebagai tuan Rumah KTT APEC 2012 lalu memang jadi idam-idaman para petinggi pemerintahan di Kremlin. Karena dianggap sebagai cornerstone atau batu loncatan, menuju hegemoni Rusia di bidang ekonomi dan perdagangan.
Kedua, referensi transformasi politik luar negeri Rusia, Doktrin Primakov, mantan Perdana Menteri Rusia Yevgeny Maksimovich Primakov. Menurut doktrin ini, aliansi strategis yang diperlukan agar Rusia bisa menjadi kekuatan penyeimbang dalam konstalasi global, terutama untuk mengimbangi pengaruh Amerika Serikat dan Eropa Barat, maka perlu dibentuk poros Moscow, Beijing dan New Delhi (Rusia, Cina dan India). Oleh Primakov doktrin ini disebut Strategic Triangle.
Memang di masa lalu Rusia pernah punya masalah dengan Cina. Namun Rusia juga menyadari sekarang harus menjalin hubungan baik dengan Cina. Sebagaimana juga Rusia sudah menjalin hubungan baik dengan India. Bahkan Rusia harus bisa menjadi agen yang mampu mendamaikan Cina dengan India. Sepertinya Rusia sangat berkeinginan untuk menjadi Katalisator dalam menegakkan Perdamaian. Inilah sebabnya mengapa Rusia ingin jadi juru damai antara Cina dan India.
Primakov meyakini bahwa dengan persekutuan Rusia, Cina dan India, konservatisme trans atlantik ini akan berhasil digeser di masa depan. Kita tahu, ketiga negara tersebut memiliki tradisi dan peradaban yang sangat tua. Tidak heran jika Amerika begitu segan kepada Cina dan India, karena peradabannya sudah berlangsung selama 4 ribu tahun. Sementara Amerika kan baru berdiri pada 1776. Rusia pun sudah berdiri sekitar 1200 tahun.
Itulah sebabnya Primakov memandang pentingnya aliansi strategis atau segitiga strategis Rusia, Cina dan India. Persekutuan strategis ketiga negara tersebut bisa menggabungkan sebagian besar dari pulau-pulau yang ada di dunia ini.
Ketiga, Rusia merujuk pada doktrin Nearby Approach. Kolapsnya Rusia, kita tahu, kemudian dimanfaatkan oleh musuh-musuh tradisional Rusia, dalam rangka merongrong kedigdayaan Rusia. Sejak Vladimir Putin tampil sebagai presiden, Rusia berhasil merobah 180 derajat, dari keterpurukan pasca runtuhnya Uni Soviet pada 1989, kembali jadi negara adidaya. Perlu kita ketahui bersama, Rusia tak akan bersedia melepaskan negara Turkistan, Kazakhtan, Kirgistan, dan sebagainya, yang kita tahu berada di kawasan Asia Tengah. Rusia juga tidak mau melepaskan pengaruhnya di semua sektor, termasuk energi dan pangan, di kawasan Caucasus seperti Azerbaijan, Armenia dan Georgia. Itulah sebabnya Rusia tetap menjalin kedekatan dengan negara-negara mantan satelitnya, termasuk Cina.
Itu sebab mengapa Rusia kemudian menjalin komitmen bersama Cina melalui Shanghai Cooperation Organization (SCO). SCO dipandang Rusia sebagai saluran atau kran untuk mengeluarkan atau membebaskan Rusia dari kepungan negara-negara barat. Baik dari Amerika maupun Uni Eropa. Dari barat, Rusia menghadapi rudal yang dipasang barat dari Polandia dan Chech.
Selain itu, Rusia memang punya visi Timur. Karena itu Cina harus jadi agenda pokok untuk membangun aliansi. Cina memang musuh masa lalu Rusia, tapi juga bisa jadi kawan masa kini. Inilah gunanya kesepakatan strategis Rusia-Cina melalui SCO.
Keempat. Presiden Putin menekankan ada tiga pilar diplomasi Rusia. Pertama, Kekuatan militer. Kedua, Ilmu dan Teknologi, termasuk industri. Dan Ketiga adalah energi. Dengan tiga pilar diplomasi ini, Putin yakin bisa kembali menjadi negara adidaya. Karena di era Perang Dingin, sebenarnya Rusia bukan negara superpower yang sebenarnya karena secara ekonomi Rusia masih lemah. Meski secara militer dan persenjataan Rusia memang termasuk negara superpower. Itulah sebabnya Rusia ingin mengembalikan kejayaannya seperti di masa silam.
Keunggulan Rusia
1. Militer
2. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
3. Sumberdaya Manusia
4. Sejarah dan Peradaban
5. Sumberdaya Mineral
6. Kepemimpinan, terutama di era Vladimir Putin
Kelemahan Rusia
1. Instabilitasi Politik di dalam negeri
2. Sistem Politik yang masih relative otoritarian
3. Masalah residual seperti kemiskinan.
4. Kemapanan ekonomi yang masih banyak yang harus ditanggulangi.
Peluang Rusia
1. Rusia sebagai kekuatan penyeimbang.
2. Persekutuan strategis bersama Cina, India, dan Afrika Selatan
Ancaman dari dalam dan luar Rusia
1. Ancaman dari dalam negeri seperti Terorisme dan gerakan separatism.
2. Ancaman paling berbahaya berada di kawasan Caucasus.
3. Ancaman dari luar tentu saja dari Amerika dan Uni Eropa. Sedangkan dari Asia berasal dari Jepang.
Prospek Kerjasama Indonesia-Rusia
Indonesia dan Rusia menurut saya memang harus sama-sama membangun kerjasama yang saling menguntungkan. Namun Indonesia harus punya visi yang jelas, sehingga dengan Rusia akan terjalin sebuah kerjasama yang equal/setaraf dan saling menguatkan. Selama ini kan Indonesia sepenuhnya didikte oleh kepentinga Amerika. Dengan Rusia kita jangan sampai tunduk begitu saja pada kepentingan Rusia. Harus ada take and give.
Kalau Indonesia saat ini belum bisa menentukan arah kebijakan politik luar negeri negara-negara lain, setidaknya kita harus bisa mencegah jangan samapi didikte negara-negara lain. Termasuk Rusia. Kalau kita merelakan diri di bandwagon negara lain, ya politik luar negeri kita tidak akan mandiri dan independen. Apalagi dalam menentukan keputusan-keputusan strategis di tengah konstalasi global seperti saat ini.
Dalam konstalasi global saat ini, praktek hubungan internasional yang ditekankan adalah transfer of power. Artinya, negara-negara yang ada dalam sistem internasional ini, berkeinginan mendirikan bank atau lembaga-lembaga keuangan. Bahkan lalu-lintas perdagangan yang sifatnya otonom. Transfer of power inilah yang diiginkan oleh Rusia.
Dengan demikian Amerika bisa dihentikan posisi dan perannya sebagai kekuatan dominan satu-satunya di dunia internasional. Inilah yang sedang diupayakan oleh negara-negara berkembang seperti Brazil, India dan Afrika Selatan. Memang kita belum tahu kapan tercapainya kesetaraan atau equality. Yang jelas, Rusia berusaha menipiskan jarak atau gap dengan Amerika sebagai dominator global. Terbukti bahwa ketika Amerika dilanda krisis ekonomi, Amerika melakukan pendekatan kepada Cina. Ini bukti adanya transfer of power.
Adapun pergerakan strategis Rusia dalam kerangka regionalisme ini adalah di APEC, East Asia Community, ASEAN Regional Forum (ARF), dan G-20.
Terkait dengan G-20, meski ada beberapa pakar yang menganggap sebagai perpanjangan tangan Amerika, namun tetap harus dipandang sebagai entitas tersendiri. Namun sebelum bisa memaksimalkan peran Indonesia di forum G-20, terlebih dahulu Indoenesia harus memaksimalkan perannya di forum ekonomi Asia Pasifik di APEC, ARF maupun East Asia Community.
Karena Indonesia lebih memungkinkan membangun keseimbangan di APEC, ARF dan East Asia Community. Namun demikian, kalaupun tetap ingin memainkan peran di G-20, para stakeholders kebijakan luar negeri kita harus bisa lebih cerdas dan cerdik dalam memaksimalkan perannya. Artinya, Indonesia harus tahu diri tapi juga mampu memotivasi diri. Jadi keikutsertaannya sebagai anggota negara G-20 itu bukan sekadar ikuta-ikutan atau sekadar ingin dapat pengakuan.
Para pemangku kebijakan luar negeri hendaknya menyadari bahwa jangkauan geopolitik Rusia terhadap negara-negara luar itu adalah sebagai berikut:
1. Timur Tengah.
2. Asia Tengah
3. Asia Pasifik
4. Timur Jauh
Kita tahu Suriah di Timur Tengah, merupakan faktor kunci yang tidak pernah dilepaskan oleh Rusia. Asia Tengah, jelas sudah saya singgung tadi, apalagi ada banyak negara-negara eks satelit Rusia di kawasan tersebut.
Lantas di kawasan Asia Pasifik, Rusia bagaimanapun juga tergabung di forum APEC. Juga Rusia ada di East Asia Community. Rusia juga terlibat di ARF. Seperti itu.
Sedangkan interaksi primer Rusia, saat ini tetap dengan Amerika Serikat. Lalu dengan Cina. Ketiga dengan Uni Eropa. Lalu dengan Jepang, India dan baru kemudian dengan ASEAN.
Indonesia Harus Mantap Dulu di ASEAN
Sehubungan dengan konteks hubungan bilateral Indonesia dan Rusia, khususnya dalam memanfaatkan kemitraan strategis dengan Rusia, Indonesia harus mantap dulu di forum ASEAN. Indonesia harus mampu menjadikan dirinya sebagai inisiator yang hebat di kalangan negara-negara ASEAN. Harus mampu jadi pemegang remote control di ASEAN. Jangan malah Indonesia kemudian ditinggalkan oleh Singapore atau negara-negara ASEAN lainnya. Baru setelah Indonesia punya landasan dan modalitas yang kuat di ASEAN, baru kemudian kita punya daya tawar yang kuat dengan Rusia. Tanpa modalitas dan posisi yang kuat dari Indonesia di ASEAN, saya yakin Rusia juga tidak akan menganggap penting Indonesia.
Indonesia harus mampu meyakinkan Rusia apa yang bisa didapat Rusia dari Indonesia maupun ASEAN. Karena bagaimanapun juga di ASEAN ada 600 pasar dan modal, dan ini akan menarik bagi negara manapun, termasuk Rusia. Makanya Indonesia harus merebut dulu sebagai pemegang remote control-nya dulu di ASEAN.
Namun ada hal berharga yang harus kita pelajari dari keberhasilan Rusia dalam memanfaatkan tiga piranti politik luar negerinya. Rusia seperti yang saya sebut tadi modalitas politik luar negerinya: Militer, IPTEK dan Energi. Juga ada budaya dan warisan sejarah.
Dari ketiga piranti politik luar negeri yang ditekankan Vladimir Putin, yang perlu kita cermati dalam memandang prospek kerjasama dengan Rusia adalah di bidang militer. Kenapa sih Indonesia selama ini selalu tergantung pada Washington? Meski kita tetap menjalin hubungan kerjasama dengan Washington,saya kira kita perlu juga menoleh ke negara-negara lain yang kiranya juga akan bisa membawa keuntungan yang lebih nyata. Daripada sekadar beli senjata dengan murah, tapi kemudian kita ditekan oleh Washignton. Seperti dalam bidang Demokrasi dan HAM.
Kenapa kita tidak menyerap inspirasi dari The Beijing Consensus? Yang mana dalam hubungan bilateral sebuah negara, ditegaskan agar tidak mencampuri urusan dalam negeri masing-masing negara. Yang ditekankan adalah kepentingan strategis dari negara-negara yang terlibat dalam kerjasama bilateral tersebut. Maka itu, dalam menjalin kerjasama strategis dengan Rusia, bidang militer kiranya bisa jadi pertimbangan yang cukup penting.
Ini penting karena selama ini selain Amerika, kita sebagai negara besar juga mendapat rongrongan dari Malaysia, Singapura dan Australia. Karena ingin melemahkan kekuatan strategis kita. Karena itu saya yakin kelemahan dari BUMN industri strategis kita seperti PT PAL, PINDAD dan PTDI, bukan karena kita tidak mampu mengelola manajemennya secara professional. Melainkan karena adanya campurtangan dari negara-negara yang secara geopolitik memiliki kepentingan langsung dengan Indonesia. Terutama Malaysia, Singapore, Australia dan Amerika. Kita tidak menafikan kemungkinan adanya konspirasi.
Sehingga kemandirian strategis kita akan selalu diganggu sampai kapan pun. Maka itu, satu hal yang bisa dilakukan Indonesia untuk mengembalikan fungsi-fungsi industr strategis adalah dengan Menggandeng negara-negara seperti Rusia. Kenapa tidak?
Kita sebenarnya punya bargaining position yang kuat. Kita punya PTDI, kita punya PINDAD, kita punya PAL, kita punya Krakatau Steel. Kita punya lembaga aerotika nasional. Kita punya itu semua. Mulai dari dinamit bahan peledak, senjata, kereta api, semua ada. Dan Rusia punya itu semua. Kenapa kita tidak memanfaatkan itu.
Sekarang bagaimana prospek kerjasama strategis Indonesia dan Rusia di bidang energy? Sekarang ini Pertamina mulai belajar lagi. Setelah sekian tahun dalam posisi mapan, maka tak ada salahnya Indonesia mulai mendekati perusahaan-perusahaan energi Rusia. Karena bagaimanapun juga Rusia berpengalaman dari segi teknologi dan sebagainya. Indonesia sangat berkepentingan dalam hal ini.
Karena seperti halnya Rusia, piranti politik luar negeri yang membuat Rusia kuat dan diperhitungkan adalah kemampuan teknologinya. Dan saya yakin Rusia mau bersedia membantu, meski saya yakin Rusia juga meminta beberapa konsesi. Namum saya yakin tidak akan seserakah Amerika lah. Karena dalam hubungan internasional, tidak mungkin lepas dari adanya kerjasama timbal-balik. Take and Give.
Di bidang Pendidikan dan Kebudayaan, kerjasama dengan Rusia juga bisa dimaksimalkan kemanfaatanya. Mengapa kita tidak mengirim para pelajar dan mahasiswanya ke Rusia. Jangan kita terlalu terkagum-kagum dengan Yale atau Harvard University di Amerika. Padahal di Rusia ada Patricia Lumumba dan sebagainya. Yang pamornya pun tidak kalah menarik.
Satu hal yang saya perlu tekankan, Rusia ini jago dalam penguasaan Ilmu Murni. Karena itu tak heran meski pernah kolaps, Ilmu Pengetahuan dan Teknologinya tetap Berjaya. Rusia tidak pernah ketinggalan dengan Uni Eropa dan Amerika. Rusia tak pernah ketinggalan dari Boeng atau Airbus. Sehingga mereka bisa memproduksi pesawat-pesawat sipil yang dari segi teknologi tidak kalah canggih.
Indonesia, Rusia dan G-20
Indonesia punya 4 channel untuk mengakses kerjasama dengan Rusia. ARF, East Asia Community, dan APEC. Kita harus bisa meyakinkan Rusia bahwa Indonesia juga pasar potensial bagi Rusia. Indonesia juga bisa menyediakan bahan mentah yang bagus. Buruh yang affordable dan terjangkau. Selain itu kita punya kemitraan strategis dengan Rusia.
Karena itu langkah strategis Indonesia, adalah memperkuat komitmen dalam menerapkan kemitraaan strategisnya baik dengan Cina maupun India. Dalam konteks BRICS, Indonesia sudah saatnya menjalin berbagai peluang kerjasama dengan Afrika Selatan, meski secara kawasan jauh dari wilayah Indonesia. Di Afrika Selatan mereka punya South African Development Cooperation. Kenapa Indonesia tidak masuk ke sana? Padahal Cina, Malaysia, India, sangat agresif menjalin kerjasama dengan Afrika Selatan. Negara-negara tersebut memandang Afrika sebagai Promising Land dari segi kesempatan.
Dalam bidang kelautan, perikanan, pariwsita dan transportasi, layak diperhitungkan. Apalagi ada fakta jumlah turis dan investasi Rusia di Bali, ada gradasi meningkat. Sekadar catatan, meningkatnya investasi Rusia secara agresif di India, ternyata menyumbang peningkatan pertumbuhan ekonomi lokal di India. Karena itu Indonesia seharusnya memaksimalkan kerjasama dengan Rusia di bidang pariwisata.
Tentu saja dalam menjalin kerjasama dengan Rusia, tidak dibuat dengan meniru karakter perjanjian kerjasama Indonesia dan Amerika yang sangat berat sebelah. Harus setaraf dan saling menguntungkan.
Rusia punya beberapa agenda strategis yang perlu diketahui Indonesia sebagai latarbelakang untuk menyusun konsepsi kerjasama strategis dengan Rusia. Yaitu:
1. Mengembalikan Rusia sebagai Negara Superpower.
2. Menjadi Penyeimbang Global.
3. Keluar dari Cengkraman Amerika dan Negara-Negara Barat.
4. Menjadikan dirinya sebagai Peace Conflict Catalisator
Yang menarik, Rusia sekarang sedang berusaha untuk menciptakan konsepsi perdamaian yang berada di luar skema pemahaman Amerika dan Uni Eropa. Jadi lebih merujuk pada Scandinavian School. Sehingga negara-negara otonom seperti Rusia dan Cina berusaha menciptakan konsepsi perdamaian tidak sebagaimana dipaksakan oleh Amerika dan Uni Eropa.
Kehadiran Rusia di APEC maupun G-20, karenanya harus dipandang sebagai momentum Rusia untuk menjadikan dirinya sebagai negara adidaya di bidang ekonomi. Karena sewaktu perang dingin, Rusia sebenarnya hanya sekadar Diabled Superpower. Selama 70 tahun Rusia Cuma jadi negara superpower tanpa kekuatan ekonomi dan keuangan.
Prestasi Rusia di bidang ekonomi adalah berhasil melunasi semua hutang-hutangnya kepada IMF hanya dalam waktu kurang dari satu dekade. Pertumbuhan ekonominya juga meningkat secara signifikan. Ini jelas harus jadi inspirasi buat Indonesia. Karena dari segi sumberdaya manusia, kandungan kekayaan sumberdaya alamnya, luas wilayah secara geografis dan jumlah penduduk, Indonesia dan Rusia sebenarnya tidak terlalu jauh perbedaannya.
Jadi kalau Rusia bisa, kenapa Indonesia tidak. Karena itu yang harus jadi inspirasi adalah, membangun formasi dan formulasi kepemimpinan nasional kita. Vladimir Putin itu harus jadi inspirasi bagi Indonesia. Setidaknya Rusia di bawah kepemimpinan Putin, bangsa Rusia sekarang kembali punya martabat dan kebanggaan nasional. Sehingga Rusia memiliki nilai tawar yang cukup tinggi di hadapan negara-negara lain.
Karena itu, Indonesia harus menyadari bahwa forum APEC dan G-20 merupakan manifestasi dari pembuktian kapasitas ekonomi dan perdagangan Rusia. Melalui APEC dan G-20, Rusia bermaksud unjuk kekuatan sekaligus success story bahwa Rusia punya asset menarik dan berharga sebagai dasar untuk tawar-menawar.
Tersirat bahwa Rusia, juga tertarik untuk menjalin kerjasama di Timur Jauh. Hadir di Kawasan Asia Pasifik. Mengimbangi kehadiran Amerika dan Jepang. Hal inilah yang harus dimanfaatkan oleh Indonesia. Karena itu kita harus bisa secara cerdas memanfaatkan negara-negara seperti Rusia untuk kepentingan strategis Indonesia. Kita harus menumpang “ajian” Rusia.
Selain itu para pemangku kebijakan strategis Indonesia juga harus menyadari bahwa forum APEC dan G-20 menjadi ajang interaksi dan upaya untuk melakukan konstruksi mekanisme balance of power. Sehingga sekaligus juga menciptakan ruang baru bagi manajemen kepentingan dan manajemen strategis terkait dengan kepentingan geostrategis yang tadi saya sampaikan.
Yang perlu digarisbawahi, Rusia datang ke Asia Pasifik dan Timur Jauh, bukan untuk membuat konflik baru, melainkan ingin menghiasi konflik itu, semacam membuat interior design, sehingga konflik yang berlangsung selama ini bisa lebih mengarah ke tren yang lebih positif di masa depan.
Dengan demikian, untuk ringkasnya, Indonesia harus memanfaatkan kemitraan strategis dengan Rusia, khususnya dalam meningkatkan kapasitas dan kapabilitas dalam bidang Ilmu Pengetahuan Teknologi, khususnya di bidang perangkat keras di bidang Industri strategis khususnya milter, ruang angkasa, transportasi, pertambangan dan pertanian.
Dalam bidang peningkatan kapastias SDM, sudah selayaknya mempertimbangkan kerjasama bidang riset dengan Rusia. Maupun peningkatan anggaran beasiswa baik dalam skema Bappenas maupun Pemerintah Rusia.
Pengadaan Alutsista/Alat Utama Sistem Persenjataan dan Perangkat Keras. Sehingga Indonesia harus memperluas jaringan pasarnya ke Afrika, Asia Tengah dan Caucasus.
Kepala Divisi Masalah Bilateral dan Hubungan Internasional, Kantor Sekretariat Wakil Presiden RI
(Disampaikan dalam Roundtable Discussion yang diselenggarakan oleh Global Future Institute, bertema: Indonesia, Rusia dan G-20, Kamis 25 April 2013, di Wisma Daria, Jakarta Selatan)
Ringkasan Penting: Yang perlu digarisbawahi, Rusia datang ke Asia Pasifik dan Timur Jauh, bukan untuk membuat konflik baru, melainkan ingin menghiasi konflik itu, semacam membuat interior design, sehingga konflik yang berlangsung selama ini bisa lebih mengarah ke tren yang lebih positif di masa depan. Dengan demikian, untuk ringkasnya, Indonesia harus memanfaatkan kemitraan strategis dengan Rusia, khususnya dalam meningkatkan kapasitas dan kapabilitas dalam bidang Ilmu Pengetahuan Teknologi, khususnya di bidang perangkat keras di bidang Industri strategis khususnya milter, ruang angkasa, transportasi, pertambangan dan pertanian.
Dalam menghadapi forum ekonomi Asia Pasifik (APEC) maupun G-20, Indonesia harus cerdas, cerdik dan responsif dalam mengantisipasi pergerakan-pergerakan geopolitik negara-negara yang diperkirakan bakal memainkan peran strategis atau pemain-pemain utama dalam konstalasi global saat ini.
Indonesia harus jeli dalam mencermati dan memanfaatkan peran strategis negara-negara seperti Rusia dan Cina yang bermaksud membuat satu gerakan untuk meninggalkan pola konservatisme yang diperagakan oleh negara-negara maju yang tergabung dalam G-7. Dalam konteks ini, Indonesia harus menyadari bahwa Rusia memiliki kebijakan yang berbeda dengan negara-negara yang tergabung dalam G-7. Karena itu, dalam memetakan negara-negara maju saya lebih pas menyebut negara-negara G-7, bukan G-8. Karena ini merupakan persekutuan strategis Amerika Serikat dan Eropa Barat.
Dalam pandangan yang seperti ini, mengingat Indonesia dan Rusia sama-sama berada dalam forum yang sama di APEC, ASEAN Regional Forum, dan East Asia Community, maka dalam konteks APEC Indonesia bisa memaksimalkan peran diplomasinya, untuk meluruskan dan mengarahkan kembali tujuan APEC yang sudah melenceng jauh dari tujuannya semula. Karena sekarang APEC telah jadi ajang kepentingan negara-negara besar seperti Amerika, Eropa Barat, dan Jepang. Sekaligus juga agar Indonesia mampu mengoptimalkan kebijakan-kebijakannya terkait peningkatan kesejahteraan rakyat dan pertumbuhan ekonomi.
Memanfaatkan Fokus Politik Luar Negeri Rusia ke Asia Pasifik
Ada banyak hal yang bisa kita manfaatkan dari Rusia mengingat kita punya hubungan sejarah yang panjang dengan Rusia. Apalagi pada 2004-2005 Presiden SBY sudah menandatangani Kemitraan Strategis dengan Rusia. Menurut data yang ada pada saya, Indonesia sudah memiliki sekitar 14 kemitraan strategis dengan beberapa negara, termasuk Rusia. Namun sampai hari ini tidak ada follow up atau tindak lanjutnya.
Menarik jika kita mencermati geopolitik Rusia. Kalau mengamati pola perubahan pergerakan geopolitik Rusia, yang menarik itu adalah filosofi lambang negara Rusia sendiri yaitu elang. Elang berkepala dua. Ini sepertinya Rusia hendak menyampaikan pesan bahwa mereka akan berpaling ke kiri dan ke kanan. Menoleh ke barat tapi juga ke timur.
Maka kalau kita pahami konteks kekiniannya, terutama di forum APEC Vladivostok tahun lalu, dan pada September 2013 nanti Rusia akan selenggarakan KTT G-20. Nah ini artinya, Rusia berusaha agar tidak kehilangan fokus dan arah dalam menekankan kebijakan politik luar negerinya. Rusia menoleh ke barat, karena bagaimanapun negara beruang merah tersebut merupakan bagian dari eropa. Menoleh ke timur, karena sebagian besar wilayah negara Rusia berada di kawasan Asia, Timur Jauh dan Pasifik. Ini satu fakta geopolitik yang harus kita perhitungkan.
Sejatinya, basis kekuatan sesungguhnya Rusia berada di Asia. Ketika Rusia menghadapi krisis atau depresi, Rusia selalu ingat punya daerah di sekitar pegunungan Ural. Ketika Perang Dunia II, Rusia punya beberapa tank yang cukup berkualitas, sehingga mampu mengalahkan kedigdayaan tank-tank Jerman. Sehingga akhirnya gagal lah serangan Nazi Jerman ke Rusia. Nah tank-tank Rusia ini dibuatnya di daerah Rusia yang masuk kawasan Asia. Itu Luar Biasa.
Selain itu, modalitas politik luar negerinya yang utama adalah, ketika Rusia berhasil merebut 4 kepulauan milik Jepang. Ini dianggap sebagai simbol kemenangan geopolitik Rusia terhadap Jepang. Kalau kita berbicara mengenai geopolitik di Asia Pasifik dan Timur Jauh, ada tiga paradigma politik luar negeri.
Pertama, Asia Pasifik dan Jepang. Kedua, Asia Pasifik dan Cina. Dan ketiga, Asia Pasifik dan Amerika Serikat. Lantas di mana posisi Rusia? Nah inilah makanya Rusia ingin menunjukkan eksistensinya melalui hegemoninya. Seakan hendak mengatakan, “Hey, kami ini juga hadir lho di Asia.” Pada 1941, Joseph Stalin pernah mengatakan “Kami (Rusia) adalah negara eropa dari di Asia.” Dengan demikian bangsa Rusia selalu ingin menegaskan bahwa Rusia tidak ingin dinafikan dari masa depan Asia Pasifik. Apalagi ketika sekarang ada tren pergeseran geopolitik dari Atlantik ke Pasifik.
Dengan demikian para penyusun kebijakan politik luar negeri Indonesia harus menyadari bahwa Rusia pun sekarang menekankankan fokus politik luar negerinya ke kawasan Asia Pasifik.
Tiga Referensi Transformasi Politik Luar Negeri Rusia Pasca Perang Dingin
Pertama. Kenapa Rusia begitu menaruh prioritas membangun rel-rel kereta api di Siberia? Sejak Vladivostok Consensus dibuat semasa pemerintahan Gorbachev, Rusia berupaya membangun kembali kesadaran tradisi Rusia terhadap Asia Pasifik. Berbicara soal Vladivostok, ini merupakan daerah baru yang dicita-citakan oleh para pengambil kebijakan di Rusia sebagai ibukota Rusia di Timur Jauh. Kita tahu ibukota Rusia kan Moskowa. Tapi ibukota Rusia kuno sebernanya di Ukraina dengan ibukotanya St Petersburg. Tapi kelak ibukota ekonominya ada Vladivostok.
Itulah sebabnya momentum Rusia sebagai tuan Rumah KTT APEC 2012 lalu memang jadi idam-idaman para petinggi pemerintahan di Kremlin. Karena dianggap sebagai cornerstone atau batu loncatan, menuju hegemoni Rusia di bidang ekonomi dan perdagangan.
Kedua, referensi transformasi politik luar negeri Rusia, Doktrin Primakov, mantan Perdana Menteri Rusia Yevgeny Maksimovich Primakov. Menurut doktrin ini, aliansi strategis yang diperlukan agar Rusia bisa menjadi kekuatan penyeimbang dalam konstalasi global, terutama untuk mengimbangi pengaruh Amerika Serikat dan Eropa Barat, maka perlu dibentuk poros Moscow, Beijing dan New Delhi (Rusia, Cina dan India). Oleh Primakov doktrin ini disebut Strategic Triangle.
Memang di masa lalu Rusia pernah punya masalah dengan Cina. Namun Rusia juga menyadari sekarang harus menjalin hubungan baik dengan Cina. Sebagaimana juga Rusia sudah menjalin hubungan baik dengan India. Bahkan Rusia harus bisa menjadi agen yang mampu mendamaikan Cina dengan India. Sepertinya Rusia sangat berkeinginan untuk menjadi Katalisator dalam menegakkan Perdamaian. Inilah sebabnya mengapa Rusia ingin jadi juru damai antara Cina dan India.
Primakov meyakini bahwa dengan persekutuan Rusia, Cina dan India, konservatisme trans atlantik ini akan berhasil digeser di masa depan. Kita tahu, ketiga negara tersebut memiliki tradisi dan peradaban yang sangat tua. Tidak heran jika Amerika begitu segan kepada Cina dan India, karena peradabannya sudah berlangsung selama 4 ribu tahun. Sementara Amerika kan baru berdiri pada 1776. Rusia pun sudah berdiri sekitar 1200 tahun.
Itulah sebabnya Primakov memandang pentingnya aliansi strategis atau segitiga strategis Rusia, Cina dan India. Persekutuan strategis ketiga negara tersebut bisa menggabungkan sebagian besar dari pulau-pulau yang ada di dunia ini.
Ketiga, Rusia merujuk pada doktrin Nearby Approach. Kolapsnya Rusia, kita tahu, kemudian dimanfaatkan oleh musuh-musuh tradisional Rusia, dalam rangka merongrong kedigdayaan Rusia. Sejak Vladimir Putin tampil sebagai presiden, Rusia berhasil merobah 180 derajat, dari keterpurukan pasca runtuhnya Uni Soviet pada 1989, kembali jadi negara adidaya. Perlu kita ketahui bersama, Rusia tak akan bersedia melepaskan negara Turkistan, Kazakhtan, Kirgistan, dan sebagainya, yang kita tahu berada di kawasan Asia Tengah. Rusia juga tidak mau melepaskan pengaruhnya di semua sektor, termasuk energi dan pangan, di kawasan Caucasus seperti Azerbaijan, Armenia dan Georgia. Itulah sebabnya Rusia tetap menjalin kedekatan dengan negara-negara mantan satelitnya, termasuk Cina.
Itu sebab mengapa Rusia kemudian menjalin komitmen bersama Cina melalui Shanghai Cooperation Organization (SCO). SCO dipandang Rusia sebagai saluran atau kran untuk mengeluarkan atau membebaskan Rusia dari kepungan negara-negara barat. Baik dari Amerika maupun Uni Eropa. Dari barat, Rusia menghadapi rudal yang dipasang barat dari Polandia dan Chech.
Selain itu, Rusia memang punya visi Timur. Karena itu Cina harus jadi agenda pokok untuk membangun aliansi. Cina memang musuh masa lalu Rusia, tapi juga bisa jadi kawan masa kini. Inilah gunanya kesepakatan strategis Rusia-Cina melalui SCO.
Keempat. Presiden Putin menekankan ada tiga pilar diplomasi Rusia. Pertama, Kekuatan militer. Kedua, Ilmu dan Teknologi, termasuk industri. Dan Ketiga adalah energi. Dengan tiga pilar diplomasi ini, Putin yakin bisa kembali menjadi negara adidaya. Karena di era Perang Dingin, sebenarnya Rusia bukan negara superpower yang sebenarnya karena secara ekonomi Rusia masih lemah. Meski secara militer dan persenjataan Rusia memang termasuk negara superpower. Itulah sebabnya Rusia ingin mengembalikan kejayaannya seperti di masa silam.
Keunggulan Rusia
1. Militer
2. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
3. Sumberdaya Manusia
4. Sejarah dan Peradaban
5. Sumberdaya Mineral
6. Kepemimpinan, terutama di era Vladimir Putin
Kelemahan Rusia
1. Instabilitasi Politik di dalam negeri
2. Sistem Politik yang masih relative otoritarian
3. Masalah residual seperti kemiskinan.
4. Kemapanan ekonomi yang masih banyak yang harus ditanggulangi.
Peluang Rusia
1. Rusia sebagai kekuatan penyeimbang.
2. Persekutuan strategis bersama Cina, India, dan Afrika Selatan
Ancaman dari dalam dan luar Rusia
1. Ancaman dari dalam negeri seperti Terorisme dan gerakan separatism.
2. Ancaman paling berbahaya berada di kawasan Caucasus.
3. Ancaman dari luar tentu saja dari Amerika dan Uni Eropa. Sedangkan dari Asia berasal dari Jepang.
Prospek Kerjasama Indonesia-Rusia
Indonesia dan Rusia menurut saya memang harus sama-sama membangun kerjasama yang saling menguntungkan. Namun Indonesia harus punya visi yang jelas, sehingga dengan Rusia akan terjalin sebuah kerjasama yang equal/setaraf dan saling menguatkan. Selama ini kan Indonesia sepenuhnya didikte oleh kepentinga Amerika. Dengan Rusia kita jangan sampai tunduk begitu saja pada kepentingan Rusia. Harus ada take and give.
Kalau Indonesia saat ini belum bisa menentukan arah kebijakan politik luar negeri negara-negara lain, setidaknya kita harus bisa mencegah jangan samapi didikte negara-negara lain. Termasuk Rusia. Kalau kita merelakan diri di bandwagon negara lain, ya politik luar negeri kita tidak akan mandiri dan independen. Apalagi dalam menentukan keputusan-keputusan strategis di tengah konstalasi global seperti saat ini.
Dalam konstalasi global saat ini, praktek hubungan internasional yang ditekankan adalah transfer of power. Artinya, negara-negara yang ada dalam sistem internasional ini, berkeinginan mendirikan bank atau lembaga-lembaga keuangan. Bahkan lalu-lintas perdagangan yang sifatnya otonom. Transfer of power inilah yang diiginkan oleh Rusia.
Dengan demikian Amerika bisa dihentikan posisi dan perannya sebagai kekuatan dominan satu-satunya di dunia internasional. Inilah yang sedang diupayakan oleh negara-negara berkembang seperti Brazil, India dan Afrika Selatan. Memang kita belum tahu kapan tercapainya kesetaraan atau equality. Yang jelas, Rusia berusaha menipiskan jarak atau gap dengan Amerika sebagai dominator global. Terbukti bahwa ketika Amerika dilanda krisis ekonomi, Amerika melakukan pendekatan kepada Cina. Ini bukti adanya transfer of power.
Adapun pergerakan strategis Rusia dalam kerangka regionalisme ini adalah di APEC, East Asia Community, ASEAN Regional Forum (ARF), dan G-20.
Terkait dengan G-20, meski ada beberapa pakar yang menganggap sebagai perpanjangan tangan Amerika, namun tetap harus dipandang sebagai entitas tersendiri. Namun sebelum bisa memaksimalkan peran Indonesia di forum G-20, terlebih dahulu Indoenesia harus memaksimalkan perannya di forum ekonomi Asia Pasifik di APEC, ARF maupun East Asia Community.
Karena Indonesia lebih memungkinkan membangun keseimbangan di APEC, ARF dan East Asia Community. Namun demikian, kalaupun tetap ingin memainkan peran di G-20, para stakeholders kebijakan luar negeri kita harus bisa lebih cerdas dan cerdik dalam memaksimalkan perannya. Artinya, Indonesia harus tahu diri tapi juga mampu memotivasi diri. Jadi keikutsertaannya sebagai anggota negara G-20 itu bukan sekadar ikuta-ikutan atau sekadar ingin dapat pengakuan.
Para pemangku kebijakan luar negeri hendaknya menyadari bahwa jangkauan geopolitik Rusia terhadap negara-negara luar itu adalah sebagai berikut:
1. Timur Tengah.
2. Asia Tengah
3. Asia Pasifik
4. Timur Jauh
Kita tahu Suriah di Timur Tengah, merupakan faktor kunci yang tidak pernah dilepaskan oleh Rusia. Asia Tengah, jelas sudah saya singgung tadi, apalagi ada banyak negara-negara eks satelit Rusia di kawasan tersebut.
Lantas di kawasan Asia Pasifik, Rusia bagaimanapun juga tergabung di forum APEC. Juga Rusia ada di East Asia Community. Rusia juga terlibat di ARF. Seperti itu.
Sedangkan interaksi primer Rusia, saat ini tetap dengan Amerika Serikat. Lalu dengan Cina. Ketiga dengan Uni Eropa. Lalu dengan Jepang, India dan baru kemudian dengan ASEAN.
Indonesia Harus Mantap Dulu di ASEAN
Sehubungan dengan konteks hubungan bilateral Indonesia dan Rusia, khususnya dalam memanfaatkan kemitraan strategis dengan Rusia, Indonesia harus mantap dulu di forum ASEAN. Indonesia harus mampu menjadikan dirinya sebagai inisiator yang hebat di kalangan negara-negara ASEAN. Harus mampu jadi pemegang remote control di ASEAN. Jangan malah Indonesia kemudian ditinggalkan oleh Singapore atau negara-negara ASEAN lainnya. Baru setelah Indonesia punya landasan dan modalitas yang kuat di ASEAN, baru kemudian kita punya daya tawar yang kuat dengan Rusia. Tanpa modalitas dan posisi yang kuat dari Indonesia di ASEAN, saya yakin Rusia juga tidak akan menganggap penting Indonesia.
Indonesia harus mampu meyakinkan Rusia apa yang bisa didapat Rusia dari Indonesia maupun ASEAN. Karena bagaimanapun juga di ASEAN ada 600 pasar dan modal, dan ini akan menarik bagi negara manapun, termasuk Rusia. Makanya Indonesia harus merebut dulu sebagai pemegang remote control-nya dulu di ASEAN.
Namun ada hal berharga yang harus kita pelajari dari keberhasilan Rusia dalam memanfaatkan tiga piranti politik luar negerinya. Rusia seperti yang saya sebut tadi modalitas politik luar negerinya: Militer, IPTEK dan Energi. Juga ada budaya dan warisan sejarah.
Dari ketiga piranti politik luar negeri yang ditekankan Vladimir Putin, yang perlu kita cermati dalam memandang prospek kerjasama dengan Rusia adalah di bidang militer. Kenapa sih Indonesia selama ini selalu tergantung pada Washington? Meski kita tetap menjalin hubungan kerjasama dengan Washington,saya kira kita perlu juga menoleh ke negara-negara lain yang kiranya juga akan bisa membawa keuntungan yang lebih nyata. Daripada sekadar beli senjata dengan murah, tapi kemudian kita ditekan oleh Washignton. Seperti dalam bidang Demokrasi dan HAM.
Kenapa kita tidak menyerap inspirasi dari The Beijing Consensus? Yang mana dalam hubungan bilateral sebuah negara, ditegaskan agar tidak mencampuri urusan dalam negeri masing-masing negara. Yang ditekankan adalah kepentingan strategis dari negara-negara yang terlibat dalam kerjasama bilateral tersebut. Maka itu, dalam menjalin kerjasama strategis dengan Rusia, bidang militer kiranya bisa jadi pertimbangan yang cukup penting.
Ini penting karena selama ini selain Amerika, kita sebagai negara besar juga mendapat rongrongan dari Malaysia, Singapura dan Australia. Karena ingin melemahkan kekuatan strategis kita. Karena itu saya yakin kelemahan dari BUMN industri strategis kita seperti PT PAL, PINDAD dan PTDI, bukan karena kita tidak mampu mengelola manajemennya secara professional. Melainkan karena adanya campurtangan dari negara-negara yang secara geopolitik memiliki kepentingan langsung dengan Indonesia. Terutama Malaysia, Singapore, Australia dan Amerika. Kita tidak menafikan kemungkinan adanya konspirasi.
Sehingga kemandirian strategis kita akan selalu diganggu sampai kapan pun. Maka itu, satu hal yang bisa dilakukan Indonesia untuk mengembalikan fungsi-fungsi industr strategis adalah dengan Menggandeng negara-negara seperti Rusia. Kenapa tidak?
Kita sebenarnya punya bargaining position yang kuat. Kita punya PTDI, kita punya PINDAD, kita punya PAL, kita punya Krakatau Steel. Kita punya lembaga aerotika nasional. Kita punya itu semua. Mulai dari dinamit bahan peledak, senjata, kereta api, semua ada. Dan Rusia punya itu semua. Kenapa kita tidak memanfaatkan itu.
Sekarang bagaimana prospek kerjasama strategis Indonesia dan Rusia di bidang energy? Sekarang ini Pertamina mulai belajar lagi. Setelah sekian tahun dalam posisi mapan, maka tak ada salahnya Indonesia mulai mendekati perusahaan-perusahaan energi Rusia. Karena bagaimanapun juga Rusia berpengalaman dari segi teknologi dan sebagainya. Indonesia sangat berkepentingan dalam hal ini.
Karena seperti halnya Rusia, piranti politik luar negeri yang membuat Rusia kuat dan diperhitungkan adalah kemampuan teknologinya. Dan saya yakin Rusia mau bersedia membantu, meski saya yakin Rusia juga meminta beberapa konsesi. Namum saya yakin tidak akan seserakah Amerika lah. Karena dalam hubungan internasional, tidak mungkin lepas dari adanya kerjasama timbal-balik. Take and Give.
Di bidang Pendidikan dan Kebudayaan, kerjasama dengan Rusia juga bisa dimaksimalkan kemanfaatanya. Mengapa kita tidak mengirim para pelajar dan mahasiswanya ke Rusia. Jangan kita terlalu terkagum-kagum dengan Yale atau Harvard University di Amerika. Padahal di Rusia ada Patricia Lumumba dan sebagainya. Yang pamornya pun tidak kalah menarik.
Satu hal yang saya perlu tekankan, Rusia ini jago dalam penguasaan Ilmu Murni. Karena itu tak heran meski pernah kolaps, Ilmu Pengetahuan dan Teknologinya tetap Berjaya. Rusia tidak pernah ketinggalan dengan Uni Eropa dan Amerika. Rusia tak pernah ketinggalan dari Boeng atau Airbus. Sehingga mereka bisa memproduksi pesawat-pesawat sipil yang dari segi teknologi tidak kalah canggih.
Indonesia, Rusia dan G-20
Indonesia punya 4 channel untuk mengakses kerjasama dengan Rusia. ARF, East Asia Community, dan APEC. Kita harus bisa meyakinkan Rusia bahwa Indonesia juga pasar potensial bagi Rusia. Indonesia juga bisa menyediakan bahan mentah yang bagus. Buruh yang affordable dan terjangkau. Selain itu kita punya kemitraan strategis dengan Rusia.
Karena itu langkah strategis Indonesia, adalah memperkuat komitmen dalam menerapkan kemitraaan strategisnya baik dengan Cina maupun India. Dalam konteks BRICS, Indonesia sudah saatnya menjalin berbagai peluang kerjasama dengan Afrika Selatan, meski secara kawasan jauh dari wilayah Indonesia. Di Afrika Selatan mereka punya South African Development Cooperation. Kenapa Indonesia tidak masuk ke sana? Padahal Cina, Malaysia, India, sangat agresif menjalin kerjasama dengan Afrika Selatan. Negara-negara tersebut memandang Afrika sebagai Promising Land dari segi kesempatan.
Dalam bidang kelautan, perikanan, pariwsita dan transportasi, layak diperhitungkan. Apalagi ada fakta jumlah turis dan investasi Rusia di Bali, ada gradasi meningkat. Sekadar catatan, meningkatnya investasi Rusia secara agresif di India, ternyata menyumbang peningkatan pertumbuhan ekonomi lokal di India. Karena itu Indonesia seharusnya memaksimalkan kerjasama dengan Rusia di bidang pariwisata.
Tentu saja dalam menjalin kerjasama dengan Rusia, tidak dibuat dengan meniru karakter perjanjian kerjasama Indonesia dan Amerika yang sangat berat sebelah. Harus setaraf dan saling menguntungkan.
Rusia punya beberapa agenda strategis yang perlu diketahui Indonesia sebagai latarbelakang untuk menyusun konsepsi kerjasama strategis dengan Rusia. Yaitu:
1. Mengembalikan Rusia sebagai Negara Superpower.
2. Menjadi Penyeimbang Global.
3. Keluar dari Cengkraman Amerika dan Negara-Negara Barat.
4. Menjadikan dirinya sebagai Peace Conflict Catalisator
Yang menarik, Rusia sekarang sedang berusaha untuk menciptakan konsepsi perdamaian yang berada di luar skema pemahaman Amerika dan Uni Eropa. Jadi lebih merujuk pada Scandinavian School. Sehingga negara-negara otonom seperti Rusia dan Cina berusaha menciptakan konsepsi perdamaian tidak sebagaimana dipaksakan oleh Amerika dan Uni Eropa.
Kehadiran Rusia di APEC maupun G-20, karenanya harus dipandang sebagai momentum Rusia untuk menjadikan dirinya sebagai negara adidaya di bidang ekonomi. Karena sewaktu perang dingin, Rusia sebenarnya hanya sekadar Diabled Superpower. Selama 70 tahun Rusia Cuma jadi negara superpower tanpa kekuatan ekonomi dan keuangan.
Prestasi Rusia di bidang ekonomi adalah berhasil melunasi semua hutang-hutangnya kepada IMF hanya dalam waktu kurang dari satu dekade. Pertumbuhan ekonominya juga meningkat secara signifikan. Ini jelas harus jadi inspirasi buat Indonesia. Karena dari segi sumberdaya manusia, kandungan kekayaan sumberdaya alamnya, luas wilayah secara geografis dan jumlah penduduk, Indonesia dan Rusia sebenarnya tidak terlalu jauh perbedaannya.
Jadi kalau Rusia bisa, kenapa Indonesia tidak. Karena itu yang harus jadi inspirasi adalah, membangun formasi dan formulasi kepemimpinan nasional kita. Vladimir Putin itu harus jadi inspirasi bagi Indonesia. Setidaknya Rusia di bawah kepemimpinan Putin, bangsa Rusia sekarang kembali punya martabat dan kebanggaan nasional. Sehingga Rusia memiliki nilai tawar yang cukup tinggi di hadapan negara-negara lain.
Karena itu, Indonesia harus menyadari bahwa forum APEC dan G-20 merupakan manifestasi dari pembuktian kapasitas ekonomi dan perdagangan Rusia. Melalui APEC dan G-20, Rusia bermaksud unjuk kekuatan sekaligus success story bahwa Rusia punya asset menarik dan berharga sebagai dasar untuk tawar-menawar.
Tersirat bahwa Rusia, juga tertarik untuk menjalin kerjasama di Timur Jauh. Hadir di Kawasan Asia Pasifik. Mengimbangi kehadiran Amerika dan Jepang. Hal inilah yang harus dimanfaatkan oleh Indonesia. Karena itu kita harus bisa secara cerdas memanfaatkan negara-negara seperti Rusia untuk kepentingan strategis Indonesia. Kita harus menumpang “ajian” Rusia.
Selain itu para pemangku kebijakan strategis Indonesia juga harus menyadari bahwa forum APEC dan G-20 menjadi ajang interaksi dan upaya untuk melakukan konstruksi mekanisme balance of power. Sehingga sekaligus juga menciptakan ruang baru bagi manajemen kepentingan dan manajemen strategis terkait dengan kepentingan geostrategis yang tadi saya sampaikan.
Yang perlu digarisbawahi, Rusia datang ke Asia Pasifik dan Timur Jauh, bukan untuk membuat konflik baru, melainkan ingin menghiasi konflik itu, semacam membuat interior design, sehingga konflik yang berlangsung selama ini bisa lebih mengarah ke tren yang lebih positif di masa depan.
Dengan demikian, untuk ringkasnya, Indonesia harus memanfaatkan kemitraan strategis dengan Rusia, khususnya dalam meningkatkan kapasitas dan kapabilitas dalam bidang Ilmu Pengetahuan Teknologi, khususnya di bidang perangkat keras di bidang Industri strategis khususnya milter, ruang angkasa, transportasi, pertambangan dan pertanian.
Dalam bidang peningkatan kapastias SDM, sudah selayaknya mempertimbangkan kerjasama bidang riset dengan Rusia. Maupun peningkatan anggaran beasiswa baik dalam skema Bappenas maupun Pemerintah Rusia.
Pengadaan Alutsista/Alat Utama Sistem Persenjataan dan Perangkat Keras. Sehingga Indonesia harus memperluas jaringan pasarnya ke Afrika, Asia Tengah dan Caucasus.
● GFI
Setuju..
BalasHapusAlutsita buatan rusia pun tidak kalah bagus dengan buatan AS,,terbukti S-300 yg akan di beli suriah bkin israel ma AS ketakutan.
harusnya kita lebih pro rusia apa lagi kita di berikan state credit oleh rusia,kurang apa lagi coba.
Setuju mas, pengadaan alutsista utama dari Rusia. Ada 3 alutsista yg kalau dibeli sekarang tidak perlu menunggu lagi rencana MEF tuntas 2024.
BalasHapusYakhont versi darat
Rudal Yakhont dibuat dalam 3 versi yaitu untuk kapal perang seperti KRI OWA, dari darat seperti punya Vietnam, dan dari pesawat terbang (Sukhoi seri Flanker). Rudal Yakhont versi land based system P-800 Oniks / Bastion-P inilah yang harus dibeli. Untuk sasaran over-the-horizon dapat menggunakan helikopter, pesawat udara, atau kapal laut sebagai pemindai. Sistem ini defensif, karena itu tidak ada alasan bagi negara tetangga untuk umpamanya komplain dan protes. Berapa yang dibeli? Diusulkan 3 batere, satu diposisikan untuk pertahanan choking point Selat Sunda ALKI I, satu lagi untuk Selat Makasar ALKI II, dan satu sebagai cadangan merangkap pertahanan Laut Jawa. Karena mobilitas yang cukup tinggi maka dapat didorong untuk ofensif defensif misalnya ke Pulau Bintan, Natuna, Sangata, Palu atau Nusatenggara, sesuai keperluan. Dari segi harga, jumlah dan pelatihan awak, logistik dll jauh lebih murah daripada kapal perang yang mengusung Yakhont.
Seandainya Indonesia telah mempunyai rudal Yakhont versi land based system P-800 Oniks / Bastion-P, apalagi ditambah dengan rudal SAM S-300/400, maka pasti AL AS maupun AL negara lain akan lebih menghormati kedaulatan maritim Indonesia (ingat insiden Bawean). Dengan bergesernya kekuatan AS dan sekutunya ke Asia-Pasific, maka ke depan akan sangat sering gugus tugas AL mereka bolak balik melewati ALKI I dan II karena sudah padatnya lalu lintas kapal di selat Malaka.
Lihat http://en.wikipedia.org/wiki/P-800_Oniks) (http://www.ausairpower.net/APA-Rus-Cruise-Missiles.html. Negara pengguna di luar Rusia adalah Vietnam dan Siria, kemungkinan juga Venezuela.
Rudal SAM S-300/400
Rusia juga punya SAM IAD (integrated Air Defense) sistem S-300/400 yang telah diekspor ke negara lain. Keluarga SAM S-300/400 adalah rudal darat ke udara canggih untuk menghancurkan sasaran udara berupa pesawat udara termasuk pesawat siluman dan rudal jelajah yang terbang rendah maupun tinggi, ataupun rudal balistik. Sistem ini diakui negara Barat setara dengan sistem rudal SAM Patriot PAC-2/3 mereka. Radar SAM S-300 mempunyai kemampuan untuk secara simultan memantau 100 sasaran sementara menyerang sampai dengan 12 sasaran di antaranya. Waktu pergelaran cuma 5 menit. Pengembangan selanjutnya adalah SAM S-400. Jarak jangkaunya 120 – 400 km tergantung dari versinya. Lihat (http://en.wikipedia.org/wiki/S-400, http://en.wikipedia.org/wiki/S-300_(missile), http://www.ausairpower.net/APA-Grumble-Gargoyle.html#mozTocId490214, http://www.ausairpower.net/APA-S-300PMU2-Favorit.html, http://www.ausairpower.net/APA-S-400-Triumf.html).
Negara pengguna di luar Rusia adalah Aljazair, Armenia, Azerbaijan, Belarus, India, Bulgaria, China, Cyprus, Yunani, Korea Utara, Slovakia, Siria, Venezuela dan Vietnam.
Diusulkan dibeli 3 batere. satu diposisikan untuk pertahanan area pusat pemerintahan DKI Jakarta dan pusat komunikasi Cilangkap dan Cibinong, satu lagi untuk pertahanan area Lanal Surabaya dan Lanud Iswahyudi, satu sebagai cadangan merangkap pertahanan Lanud Makasar. Sistem adalah defensif, namun karena mobilitas yang cukup tinggi maka dapat didorong untuk ofensif defensif misalnya diposisikan ke Pulau Bintan, Natuna, Sangata, Palu atau Nusatenggara, sesuai keperluan.
Lihat juga http://www.abc.net.au/4corners/content/2007/20071029_hornets/interviews.htm , file:///I:/DOWNLOAD/MILITARY/Indonesia/HTML/Four%20Corners%20-%2029%2010%202007%20%20Program%20Transcript.htm.
Flanker series heavy fighter
Yang sudah dibeli sekarang hanya 1 skuadron (16 pesawat) masih kurang untuk operasi air superiority dan maritime strike yang berkelanjutan. Diperlukan minimal 2 skuadron lagi, tipe SU-30 MKI/SM atau sekalian SU-35BM atau PAK-FA, mengapa tidak?
Setuju banget..
HapusPake aja tu state credit dari rusia buat beli.