TNI AL idealnya memiliki 24 kapal selam untuk mengawal dan menjaga teritorial laut Indonesia yang cukup luas. Penguatan pertahanan dan militer akan memberi dampak luas di dunia internasional.
"Jika ditilik dari geografis negara, Indonesia sebagai negara maritim membutuhkan pengawalan ekstra ketat untuk mengantisipasi invansi dari negara asing melalui laut," ujar pengamat militer Kusnanto Anggoro dalam sarasehan memperingati HUT ke-54 Kapal Selam di Jakarta, Minggu (15/9).
Namun, lanjut dia, kekuatan alutsista TNI AL masih pada kebutuhan mendasar. Sekarang ini, TNI hanya memiliki dua kapal selam yang sudah sangat tua. Sedangkan, 3 unit yang dibeli dari Korea Selatan baru akan masuk memenuhi kekuatan Alutsista TNI AL hingga awal tahun 2017. "Sebelum sampai memiliki 18 unit kapal selam, saya kira semua orang harus kritis," kata dia.
Sementara itu, delegasi Indonesia diberangkatkan ke Moskow untuk menyurvei langsung 10 kapal selam yang akan dihibahkan Rusia. Kepala Staf TNI Angkatan Laut (KSAL) Laksamana TNI Marsetio memimpin delegasi yang beranggotakan dari Kementerian Pertahanan, Mabes TNI, TNI Angkatan Laut dan TNI Angkatan Udara.
"Kita (tim-Red) akan memastikan langsung spesifikasi teknis kapal, kondisi, dan mekanisme kerja sama," ujar Marsetio. Tim berangkat Minggu (15/9) malam.
Marsetio mengungkapkan hibah kapal selam ditawarkan pemerintah Rusia kepada Indonesia melalui Kementerian Pertahanan. TNI AL sendiri sebagai rencana pengguna, belum mengetahui detail atau spesifikasi kapal selam yang ditawarkan tersebut.
"Karena itu kita ke Rusia untuk memastikan kapal selam yang akan didatangkan cocok dengan kondisi perairan Indonesia atau tidak," kata Marsetio, taruna peraih predikat Adhi Makayasa Akademi Angkatan Laut 1981.
Doktor lulusan Universitas Gajah Mada, Yogyakarta (UGM) ini memastikan kapal selam yang dibutuhkan TNI AL harus lolos kualifikasi, di antaranya meliputi kesesuaiannya dengan kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan.
Kapal selam ideal untuk Indonesia adalah yang memiliki kekhususan dan kekhasan dengan melihat kedalaman dan kontur laut. "Kita akan lihat apakah itu kapal selam samudra atau archipelago. Indonesia ini archipelago di mana kondisi perairan kita kedalamannya berbeda-beda," jelas Marsetio.
Asisten Perencanaan (Asrena) KSAL, Laksda TNI Ade Supandi memastikan hibah 10 kapal selam dari Rusia tidak mengintervensi rencana pengadaan alutsista TNI AL dalam jangka pendek, menengah dan jangka panjang sesuai dengan kekuatan pokok minimum (minimum essential force/MEF) hingga tahun 2024.
"Selain dua kapal selam KRI Cakra dan KRI Nanggala yang sudah ada, TNI AL sudah memesan 3 kapal selam dari Korea Selatan. Ditargetkan akhir tahun 2016 atau paling lambat awal tahun 2017 sudah selesai dan masuk ke dalam kekuatan tempur TNI AL," kata dia.
Satu dari tiga kapal selam yang dipesan akan dikerjakan di PT PAL, Surabaya. Indonesia akan memaksimal transfer teknologi dari pengerjaan di industri pertahanan dalam negeri.
"Sesuai dengan kesepakatan kerja sama akan ada ToT (Transfer of Technology-red). Kapal ke-3 akan dibangun di PAL degan memaksimalkan ToT," ujar Ade. Anggaran yang dikeluarkan Indonesia untuk pembelian tiga kapal selam menggunakan pinjaman luar negeri (kredit ekspor) senilai 1,07 miliar dolar AS.
Idealnya sampai tahun 2016, menurut Marsetio, Indonesia memiliki 10 kapal selam untuk memperkuat armada tempur TNI AL dalam menjaga kedaulatan laut RI. "Idealnya punya 10 (kapal selam) hingga akhir tahun 2016," kata Marsetio.
Mantan Kepala Staf TNI AL, Laksamana (Purn) Sumardjono mengingatkan pengadaan alutsista tetap harus fokus pada transfer teknologi. Industri pertahanan yang dimiliki Indonesia diberdayakan maksimal untuk menciptakan alutsista yang dibutuhkan TNI dan Polri.
"Deterence effect itu sebenarnya jika kita mampu membangun alutsista canggih yang kita butuhkan, bukan mengadakan alutsista yang diimport dari negara lain," ujar dia.
"Jika ditilik dari geografis negara, Indonesia sebagai negara maritim membutuhkan pengawalan ekstra ketat untuk mengantisipasi invansi dari negara asing melalui laut," ujar pengamat militer Kusnanto Anggoro dalam sarasehan memperingati HUT ke-54 Kapal Selam di Jakarta, Minggu (15/9).
Namun, lanjut dia, kekuatan alutsista TNI AL masih pada kebutuhan mendasar. Sekarang ini, TNI hanya memiliki dua kapal selam yang sudah sangat tua. Sedangkan, 3 unit yang dibeli dari Korea Selatan baru akan masuk memenuhi kekuatan Alutsista TNI AL hingga awal tahun 2017. "Sebelum sampai memiliki 18 unit kapal selam, saya kira semua orang harus kritis," kata dia.
Sementara itu, delegasi Indonesia diberangkatkan ke Moskow untuk menyurvei langsung 10 kapal selam yang akan dihibahkan Rusia. Kepala Staf TNI Angkatan Laut (KSAL) Laksamana TNI Marsetio memimpin delegasi yang beranggotakan dari Kementerian Pertahanan, Mabes TNI, TNI Angkatan Laut dan TNI Angkatan Udara.
"Kita (tim-Red) akan memastikan langsung spesifikasi teknis kapal, kondisi, dan mekanisme kerja sama," ujar Marsetio. Tim berangkat Minggu (15/9) malam.
Marsetio mengungkapkan hibah kapal selam ditawarkan pemerintah Rusia kepada Indonesia melalui Kementerian Pertahanan. TNI AL sendiri sebagai rencana pengguna, belum mengetahui detail atau spesifikasi kapal selam yang ditawarkan tersebut.
"Karena itu kita ke Rusia untuk memastikan kapal selam yang akan didatangkan cocok dengan kondisi perairan Indonesia atau tidak," kata Marsetio, taruna peraih predikat Adhi Makayasa Akademi Angkatan Laut 1981.
Doktor lulusan Universitas Gajah Mada, Yogyakarta (UGM) ini memastikan kapal selam yang dibutuhkan TNI AL harus lolos kualifikasi, di antaranya meliputi kesesuaiannya dengan kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan.
Kapal selam ideal untuk Indonesia adalah yang memiliki kekhususan dan kekhasan dengan melihat kedalaman dan kontur laut. "Kita akan lihat apakah itu kapal selam samudra atau archipelago. Indonesia ini archipelago di mana kondisi perairan kita kedalamannya berbeda-beda," jelas Marsetio.
Fokus ToT
Asisten Perencanaan (Asrena) KSAL, Laksda TNI Ade Supandi memastikan hibah 10 kapal selam dari Rusia tidak mengintervensi rencana pengadaan alutsista TNI AL dalam jangka pendek, menengah dan jangka panjang sesuai dengan kekuatan pokok minimum (minimum essential force/MEF) hingga tahun 2024.
"Selain dua kapal selam KRI Cakra dan KRI Nanggala yang sudah ada, TNI AL sudah memesan 3 kapal selam dari Korea Selatan. Ditargetkan akhir tahun 2016 atau paling lambat awal tahun 2017 sudah selesai dan masuk ke dalam kekuatan tempur TNI AL," kata dia.
Satu dari tiga kapal selam yang dipesan akan dikerjakan di PT PAL, Surabaya. Indonesia akan memaksimal transfer teknologi dari pengerjaan di industri pertahanan dalam negeri.
"Sesuai dengan kesepakatan kerja sama akan ada ToT (Transfer of Technology-red). Kapal ke-3 akan dibangun di PAL degan memaksimalkan ToT," ujar Ade. Anggaran yang dikeluarkan Indonesia untuk pembelian tiga kapal selam menggunakan pinjaman luar negeri (kredit ekspor) senilai 1,07 miliar dolar AS.
Idealnya sampai tahun 2016, menurut Marsetio, Indonesia memiliki 10 kapal selam untuk memperkuat armada tempur TNI AL dalam menjaga kedaulatan laut RI. "Idealnya punya 10 (kapal selam) hingga akhir tahun 2016," kata Marsetio.
Mantan Kepala Staf TNI AL, Laksamana (Purn) Sumardjono mengingatkan pengadaan alutsista tetap harus fokus pada transfer teknologi. Industri pertahanan yang dimiliki Indonesia diberdayakan maksimal untuk menciptakan alutsista yang dibutuhkan TNI dan Polri.
"Deterence effect itu sebenarnya jika kita mampu membangun alutsista canggih yang kita butuhkan, bukan mengadakan alutsista yang diimport dari negara lain," ujar dia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.