Perjuangan kemerdekaan Republik ini adalah proses tirakat panjang. Pilar-pilar negara bernama Indonesia, itu dibangun tertatih-tatih dengan darah orang banyak dari berbagai kelompok dan golongan. Perjuangan mereka itu tak pernah surut, ingin menjadikan republik ini sebagai negara berdaulat penuh di muka bumi ini.
Bicara kemerdekaan Indonesia, ingatan kita seolah kembali diketuk tentang kisah-kisah heroisme perjuangan anak-anak bangsa pada zaman malaise lama. Ada banyak kisah sudah dibukukan, atau sekadar menjadi kisah tutur generasi mendatang.
Anda tentu ingat kisah perjuangan Diponegoro, Cut Nyak Dien, Imam Bonjol, Jenderal Soedirman, atau epos perjuangan anak-anak muda Bandung dalam kisah Bandung Lautan Api dan kisah arek-arek Suroboyo dalam perang 10 November. Tentu masih banyak lagi kisah perjuangan lain, lengkap dengan riwayat tokoh-tokohnya.
Namun demikian, tak sedikit kisah perjuangan itu meninggalkan noda hitam. Misalnya kisah Mayor Sabarudin. Nama mayor ini cukup ditakuti di Karesidenan Surabaya pada masa perang kemerdekaan. Dia takuti karena terkenal kejam dan bengis.
Sabarudin pernah mengeksekusi secara terbuka seorang bernama Suryo yang dituduh sebagai mata-mata Belanda. Padahal, Suryo merupakan sesama bekas anggota PETA. Eksekusi itu ternyata di latar belakangi dendam pribadi terkait asmara. Antara Sabarudin dan Suryo pernah terlibat persaingan memperebutkan putri Bupati Sidoarjo yang terkenal cantik.
Gadis itu ternyata memilih Suryo karena lulusan OSVIA dan punya pengalaman pergi ke Belanda. Sabarudin tidak terima dan menyimpan dendam kepada Suryo.
Sabarudin kemudian mendapat kesempatan melampiaskan dendam saat menjabat sebagai Komandan Polisi Tentara Keamanan Rakyat (PTKR) Karesidenan Surabaya. Kala itu, Suryo ditangkap oleh pemuda karena diduga mata-mata dan diserahkan ke PTKR. Tetapi, Suryo kemudian dibebaskan lantaran pernah membantu perjuangan Badan Keamanan Rakyat (BKR) pimpinan Moestopo mengambil mitraliur berat kaliber 12,7 mm dan mitraliur kaliber 7,7/303 LE.
Namun demikian, selang dua hari, Sabarudin kembali menangkap Suryo dan tanpa proses hukum ia mengeksekusi musuhnya di Alun-alun Sidoarjo. Anak buahnya kemudian memenggal Suryo.
Sabarudin juga dikenal sering mendatangi Markas BKR Jawa Timur untuk meminta dana perjuangan. Tidak ada yang tahu dana itu digunakan untuk apa.
Akhirnya, bendahara BKR Jawa Timur kala itu Mayor Jenderal Mohammad Mangundiprojo menolak untuk memberikan dana perjuangan kepada Sabarudin. Hal itu memicu Sabarudin menyebar fitnah yang menyebut Mohammad korupsi.
Muhammad kemudian melapor ke Markas Besar Tentara (MBT) di Yogyakarta. Ternyata, Sabarudin memiliki pasukan yang kompak di MBT, sehingga Muhammad justru dianiaya oleh pasukan Sabarudin dan dibawa kembali ke Jawa Timur, tanpa sepengetahuan Perwira MBT.
Kabar itu terdengar hingga ke Presiden, lantas memerintahkan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Divisi VI pimpinan Soediro untuk menyelamatkan Mohammad. Soediro kemudian memerintahkan Resimen Madiun dan Resimen Kediri untuk mencegat konvoi Sabarudin.
Saat pencegatan di Madiun, konvoi Sabarudin berhasil lolos. Akhirnya, Resimen Kediri pimpinan Surachmad berhasil mencegat di jembatan Kertosono. Mohammad berhasil diselamatkan dan Sabarudin dibiarkan kembali ke markasnya.
Tidak hanya itu, Sabarudin ternyata juga menculik wanita-wanita Belanda untuk dinikahi secara paksa. Sabarudin menyukai wanita-wanita Belanda karena cantik, kemudian dijadikan budak pelampiasan seksnya.
Tingkah Sabarudin membuat Panglima Besar Jenderal Soedirman marah. Ia kemudian memerintahkan pasukan gabungan yang terdiri dari Pasukan Perjuangan Polisi (P3), Pesindo, Hizbullah dan Laskar Minyak menangkap Sabarudin.
Sabarudin berhasil ditangkap atas perintah Soedirman. Gabungan pasukan itu kemudian menjebloskan Sabarudin ke Penjara Wirogunan, Yogyakarta dan menunggu proses persidangan.
Malang tak dapat diduga, proses persidangan terhadap Sabarudin belum juga dijalankan, terjadi Agresi Militer Belanda I. Pada peristiwa itu, Sabarudin lolos dari penjara dan kembali ke Jawa Timur dan mengumpulkan kekuatan sebanyak satu kompi dan mendirikan Laskar Rencong.
Nama Sabarudin menjadi lebih baik berkat peristiwa Pemberontakan PKI Madiun, 18 September 1948. Pasukan Sabarudin mampu melumpuhkan Brigade 29 pimpinan Dachlan yang menjadi kekuatan PKI.
Nama Sabarudin kembali kotor lantaran terjadi insiden yang menewaskan tiga perwira TNI di Kediri. Atas hal itu, Kolonel Sungkono selaku pimpinan tentara di Jawa Timur memerintahkan Corps Polisi Militer (CPM) menangkap Sabarudin. Di tangan pasukan inilah, kisah keberingasan Sabarudin berakhir.(mdk/mtf)
Bicara kemerdekaan Indonesia, ingatan kita seolah kembali diketuk tentang kisah-kisah heroisme perjuangan anak-anak bangsa pada zaman malaise lama. Ada banyak kisah sudah dibukukan, atau sekadar menjadi kisah tutur generasi mendatang.
Anda tentu ingat kisah perjuangan Diponegoro, Cut Nyak Dien, Imam Bonjol, Jenderal Soedirman, atau epos perjuangan anak-anak muda Bandung dalam kisah Bandung Lautan Api dan kisah arek-arek Suroboyo dalam perang 10 November. Tentu masih banyak lagi kisah perjuangan lain, lengkap dengan riwayat tokoh-tokohnya.
Namun demikian, tak sedikit kisah perjuangan itu meninggalkan noda hitam. Misalnya kisah Mayor Sabarudin. Nama mayor ini cukup ditakuti di Karesidenan Surabaya pada masa perang kemerdekaan. Dia takuti karena terkenal kejam dan bengis.
Sabarudin pernah mengeksekusi secara terbuka seorang bernama Suryo yang dituduh sebagai mata-mata Belanda. Padahal, Suryo merupakan sesama bekas anggota PETA. Eksekusi itu ternyata di latar belakangi dendam pribadi terkait asmara. Antara Sabarudin dan Suryo pernah terlibat persaingan memperebutkan putri Bupati Sidoarjo yang terkenal cantik.
Gadis itu ternyata memilih Suryo karena lulusan OSVIA dan punya pengalaman pergi ke Belanda. Sabarudin tidak terima dan menyimpan dendam kepada Suryo.
Sabarudin kemudian mendapat kesempatan melampiaskan dendam saat menjabat sebagai Komandan Polisi Tentara Keamanan Rakyat (PTKR) Karesidenan Surabaya. Kala itu, Suryo ditangkap oleh pemuda karena diduga mata-mata dan diserahkan ke PTKR. Tetapi, Suryo kemudian dibebaskan lantaran pernah membantu perjuangan Badan Keamanan Rakyat (BKR) pimpinan Moestopo mengambil mitraliur berat kaliber 12,7 mm dan mitraliur kaliber 7,7/303 LE.
Namun demikian, selang dua hari, Sabarudin kembali menangkap Suryo dan tanpa proses hukum ia mengeksekusi musuhnya di Alun-alun Sidoarjo. Anak buahnya kemudian memenggal Suryo.
Sabarudin juga dikenal sering mendatangi Markas BKR Jawa Timur untuk meminta dana perjuangan. Tidak ada yang tahu dana itu digunakan untuk apa.
Akhirnya, bendahara BKR Jawa Timur kala itu Mayor Jenderal Mohammad Mangundiprojo menolak untuk memberikan dana perjuangan kepada Sabarudin. Hal itu memicu Sabarudin menyebar fitnah yang menyebut Mohammad korupsi.
Muhammad kemudian melapor ke Markas Besar Tentara (MBT) di Yogyakarta. Ternyata, Sabarudin memiliki pasukan yang kompak di MBT, sehingga Muhammad justru dianiaya oleh pasukan Sabarudin dan dibawa kembali ke Jawa Timur, tanpa sepengetahuan Perwira MBT.
Kabar itu terdengar hingga ke Presiden, lantas memerintahkan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Divisi VI pimpinan Soediro untuk menyelamatkan Mohammad. Soediro kemudian memerintahkan Resimen Madiun dan Resimen Kediri untuk mencegat konvoi Sabarudin.
Saat pencegatan di Madiun, konvoi Sabarudin berhasil lolos. Akhirnya, Resimen Kediri pimpinan Surachmad berhasil mencegat di jembatan Kertosono. Mohammad berhasil diselamatkan dan Sabarudin dibiarkan kembali ke markasnya.
Tidak hanya itu, Sabarudin ternyata juga menculik wanita-wanita Belanda untuk dinikahi secara paksa. Sabarudin menyukai wanita-wanita Belanda karena cantik, kemudian dijadikan budak pelampiasan seksnya.
Tingkah Sabarudin membuat Panglima Besar Jenderal Soedirman marah. Ia kemudian memerintahkan pasukan gabungan yang terdiri dari Pasukan Perjuangan Polisi (P3), Pesindo, Hizbullah dan Laskar Minyak menangkap Sabarudin.
Sabarudin berhasil ditangkap atas perintah Soedirman. Gabungan pasukan itu kemudian menjebloskan Sabarudin ke Penjara Wirogunan, Yogyakarta dan menunggu proses persidangan.
Malang tak dapat diduga, proses persidangan terhadap Sabarudin belum juga dijalankan, terjadi Agresi Militer Belanda I. Pada peristiwa itu, Sabarudin lolos dari penjara dan kembali ke Jawa Timur dan mengumpulkan kekuatan sebanyak satu kompi dan mendirikan Laskar Rencong.
Nama Sabarudin menjadi lebih baik berkat peristiwa Pemberontakan PKI Madiun, 18 September 1948. Pasukan Sabarudin mampu melumpuhkan Brigade 29 pimpinan Dachlan yang menjadi kekuatan PKI.
Nama Sabarudin kembali kotor lantaran terjadi insiden yang menewaskan tiga perwira TNI di Kediri. Atas hal itu, Kolonel Sungkono selaku pimpinan tentara di Jawa Timur memerintahkan Corps Polisi Militer (CPM) menangkap Sabarudin. Di tangan pasukan inilah, kisah keberingasan Sabarudin berakhir.(mdk/mtf)
● Merdeka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.