Tuduhan negara Vanuatu bahwa terjadi pelanggaran hak asasi manusia besar-besaran di Papua adalah sebuah kebohongan yang justru melukai masyarakat di negeri "burung surga", kata mantan wakil menteri luar negeri Organisasi Papua Merdeka, Nicholas Messet.

"Pernyataan Kalosil merupakan sebuah kebohongan. Masyarakat Papua telah menolak tudingan itu karena tidak berdasar dan mengandung unsur politis terselubung," kata Nicholas di Jakarta, Rabu.

Sebelumnya, Perdana Menteri Vanuatu Moana Carcasses Kalosil meminta Dewan Hak Asasi Manusia PBB untuk melakukan penyelidikan formal atas pelanggaran HAM di Papua.

"(Masyarakat internasional) telah mengabaikan suara masyarakat Papua yang dilanggar hak asasinya dan dengan kejam direpresi oleh aparat keamanan sejak 1969", kata Kalosil di depan sidang hak asasi manusia PBB di Jenewa pada 4 Maret lalu.

Menurut Kalosil, pasukan keamaanan Indonesia telah melakukan serangkaian penyiksaan, pembunuhan, perkosaan, dan penangkapan kepada masyaraakat Papua serta memecah belah masyarakat di wilayah itu dengan operasi intelejen.

Namun di sisi lain, Nicholas mengatakan bahwa bukti foto-foto yang diklaim sebagai pelanggaran hak asasi manusia yang digunakan Kolasil sebagai dasar argumentasi adalah kejadian pada sekitar tahun 1970-an.

Bagi Nicholas, adanya pelanggaran HAM pada tahun 1970-an mulai dari Aceh sampai Papua memang merupakan fakta yang tidak bisa dipungkiri.

"Namun saat Soeharto turun dan era reformasi bergulir dan kebebasan demokrasi dikedepankan, pelanggaran HAM sudah tidak ada lagi," imbuh tokoh yang bergabung dengan NKRI tahun 2007 ini.

Nicholas mengatakan bahwa kondisi Papua saat ini sudah jauh lebih baik dibanding era Orde Baru tahun 1970an. Papua menurut dia sedang mengalami pertumbuhan ekonomi dan perkembangan infrastruktur yang baik, demikian juga dengan penegakan hukum.(G005/M009)