SELEMPANG Merah merupakan sebuah perkumpulan kebatinan bernafaskan Islam yang dibentuk bertujuan mengusir keberadaan pasukan Belanda di Kuala Tungkal, Tanjung Jabung Barat, Provinsi Jambi.
Perkumpulan kebatinan ini beranggotakan masyarakat dari berbagai suku bangsa yang berada di Tanjung Jabung, seperti Banjar, Bugis, Jawa, Melayu, dan lain-lain.
Diperkirakan anggotanya berjumlah 3.000 orang yang tersebar di sepanjang pesisir pantai Tanjung Jabung, bahkan sampai Indragiri, Riau.
Perkumpulan ini merupakan fraksi barisan pejuang Hisbullah yang terbentuk sebelum terjadinya Agresi Belanda II (1949) dengan keyakinan perjuangannya didasarkan mengamalkan bacaan-bacaan dari Alquran, Hadis, dan amalan para wali.
Konon untuk menjadi anggota Selempang Merah tidaklah mudah, karena syaratnya harus hafal Alquran serta tidak pernah tinggal salat lima waktu.
Kisah perjuangan pasukan Selempang Merah bersama Tentara Nasional Indonesia (TNI) dimulai ketika tentara Belanda yang berusaha memasuki kota Kuala Tungkal melalui jalur laut menghujani kota dengan tembakan artileri pada 21 Januari 1949.
Sasarannya antara lain tempat ibadah, seperti Mesjid Raya Jami' (Kuala Tungkal Ulu) dan Mesjid Agung (Kuala Tungkal Ilir). Dalam serangan tersebut Belanda meruntuhkan menara Mesjid Agung saat itu sedang ramai jamaah yang hendak melaksanakan salat.
Akibatnya para jamaah membubarkan diri menghindarkan serangan membabi buta dan mengungsi ke berbagai tempat yang dirasakan aman. Selain masyarakat, pengungsian juga dilakukan oleh staf pemerintahan dan TNI.
Staf pemerintahan mengungsi ke Pembengis yang letaknya 7 km dari kota Kuala Tungkal. Rombongan pengungsi lainnya menuju Tungkal I, Pematang Bulu, bahkan Pematang Lumut.
Pada hari yang sama (21 Januari 1949), tepatnya pukul 16.00 WIB pasukan Belanda berhasil menguasai Kuala Tungkal. Membalas serangan tersebut, pada 22 Januari 1949 Panglima Adul menemui KH. M. Daud Arief yang berada di Parit Haji Yusuf (Tungkal V) untuk berkonsultasi rencana serangan balasan.
Serangan belasan yang direncanakannya itu dilaksanakan esok harinya (23 Januari 1949) oleh Pasukan Selempang Merah yang dipimpin oleh Abdul Samad.
Abdul Samad yang dikenal dengan julukan Panglima Adul berasal dari Desa Parit Selamat berkekuatan 24 orang menyerang kedudukan pasukan Belanda di Kuala Tungkal.
Anggota Pasukan Selempang Merah ini bercirikan mengenakan pita berwarna merah. Pada penyerangan ini terjadi kontak senjata dengan pasukan Belanda yang berusaha mempertahankan kedudukannya di Kota Kuala Tungkal.
Pada 28 Januari 1949 satu regu pasukan TNI yang dipimpin oleh Letda A. Fatah L. juga bergerak dari Desa Pembengis menuju Kota Kuala Tungkal untuk melakukan penyerangan.
Penyerangan kedudukan pasukan Belanda juga dilakukan pada 13 Februari 1949 oleh gabungan barisan Selempang Merah dan TNI. Penyerangan bersama antara TNI dan barisan Selempang Merah berkekuatan 115 orang.
Dalam penyerangan ini Barisan Selempang Merah hanya menggunakan senjata tradisional, seperti parang dan badik.
Mereka berangkat dari Parit Selamat menuju Kuala Tungkal dengan pasukan yang terbagi menjadi empat bagian yang masing-masing dipimpin oleh Abdul Samad, H. Saman, H. Nafiah, dan Zaidun.
Dalam penyerangan bersama ini Barisan Selempang Merah dipimpin Panglima Adul, sedangkan TNI dipimpin Serma Murad Alwi bersama Serma Buimin Hasan (CPM) yang bergerak dari Parit Bakau menuju Kuala Tungkal.
Penyerangan ini dilandasi keyakinan bahwa apabila gugur mereka mati syahid demi negara, bangsa, agama, dan Kota Kuala Tungkal.
Dalam peristiwa penyerangan ini barisan Selempang Merah menggunakan 11 perahu. Satu di antara kesebelas perahu tersebut (urutan ke 3) bertemu pasukan Belanda di tengah laut, Panglima Adul beserta anak buahnya segera melepaskan tembakan.
Seketika itu juga terjadi tembak menembak dan Panglima Adul segera melompak ke laut berenang menuju kapal Belanda. Tujuannya agar dapat naik ke atas kapal Belanda.
Saat memegang bagian jangkar kapal, Panglima Adul diberondong peluru senjata Belanda hingga tewas tenggelam di laut Sungai Pengabuan.
Gugurnya Panglima Adul dan Panglima H. A. Hamid, pimpinan Barisan Selempang Merah digantikan oleh H. Saman yang selama ini mendampingi Panglima Adul dalam penyerangan terhadap Belanda.
Beberapa kali melakukan penyerangan dari laut yang mengakibatkan banyaknya jatuh korban, para tokoh pemimpin Selempang Merah dan TNI memutuskan mengalihkan penyerangan dari daratan.
Untuk melakukan penyerangan melalui darat ke Kuala Tungkal, terdaftar lebih kurang 1.000 orang partisipan, tetapi hanya 441 orang terseleksi ikut dalam penyerangan ini, dan sisanya disiapkan sebagai pasukan cadangan.
Terpenuhinya semua persiapan, pada 23 Februari 1949 di bawah pimpinan H. Saman sejumlah 441 orang yang terdiri dari anggota Barisan Selempang Merah, TNI, Kepolisian, pegawai pemerintah, pamong desa, alim ulama, dan masyarakat lainnya menyerang kedudukan Belanda di Kuala Tungkal.
Serangan ini merupakan serangan terbesar dan terbaik persiapannya dibandingkan dengan serangan-serangan yang dilakukan sebelumnya.
Dalam penyerangan ini pasukan dibagi menjadi 21 kelompok yang dipimpin oleh seorang ketua kelompok dan pemberangkatan dilakukan dari Desa Pembengis.
Sebelum subuh menjelang, pasukan yang diketuai oleh H. Saman menyerang Kota Kuala Tungkal dengan membakar rumah-rumah di sekitar tempat yang dijadikan tempat tinggal tentara Belanda.
Kurang lebih 3 jam pertempuran, barisan Selempang Merah mundur kembali ke Pembengis dengan korban sebanyak 30 orang pejuang tewas, tidak diketahui korban dari pihak tentara Belanda.
Semenjak penyerangan tersebut, tentara Belanda membuat rintangan-rintangan kawat berduri di sekeliling kamp mereka agar TNI dan Barisan Selempang Merah tidak berani lagi menyerang Belanda.
Namun, TNI dan Barisan Selempang Merah tidak surut menghentikan penyerangannya. Tentara Belanda yang keluar dari kamp mengadakan patroli selalu dihadang oleh TNI dan Barisan Selempang Merah.
Pada 8 Maret 1949 kembali gabungan pasukan TNI dan barisan Selempang Merah berkekuatan 150 orang yang dipimpin H. Saman menyerang kedudukan Belanda di Kuala Tungkal. 12 orang anggota barisan Selempang Merah gugur dalam penyerangan ini.
Selanjutnya pada 16 Maret 1949 Panglima Camak, pemimpin Barisan Selempang Merah dari Sungai Undan memimpin 250 pasukan menyerang Kuala Tungkal.
Turut dalam penyerangan ini 25 anggota TNI yang dipimpin oleh Mayor Kadet Madhan A.R. Dalam penyerangan ini pasukan diberangkatkan dari Mesjid Tua Pembengis.
Oleh karena tidak seimbang persenjataan banyak anggota barisan Selempang Merah gugur, termasuk Panglima Camak bersama 90 orang anggotanya.
Meski begitu semangat juang pasukan Selempang Merah tak pernah surut bersama TNI dalam mengusir penjajah, hingga akhirnya Belanda pun angkat kaki dari bumi Kuala Tungkal, Jambi.
Sumber:
museumperjuanganrakyatjambi.blogspot, diolah dari berbagai sumber (nag)
Perkumpulan kebatinan ini beranggotakan masyarakat dari berbagai suku bangsa yang berada di Tanjung Jabung, seperti Banjar, Bugis, Jawa, Melayu, dan lain-lain.
Diperkirakan anggotanya berjumlah 3.000 orang yang tersebar di sepanjang pesisir pantai Tanjung Jabung, bahkan sampai Indragiri, Riau.
Perkumpulan ini merupakan fraksi barisan pejuang Hisbullah yang terbentuk sebelum terjadinya Agresi Belanda II (1949) dengan keyakinan perjuangannya didasarkan mengamalkan bacaan-bacaan dari Alquran, Hadis, dan amalan para wali.
Konon untuk menjadi anggota Selempang Merah tidaklah mudah, karena syaratnya harus hafal Alquran serta tidak pernah tinggal salat lima waktu.
Kisah perjuangan pasukan Selempang Merah bersama Tentara Nasional Indonesia (TNI) dimulai ketika tentara Belanda yang berusaha memasuki kota Kuala Tungkal melalui jalur laut menghujani kota dengan tembakan artileri pada 21 Januari 1949.
Sasarannya antara lain tempat ibadah, seperti Mesjid Raya Jami' (Kuala Tungkal Ulu) dan Mesjid Agung (Kuala Tungkal Ilir). Dalam serangan tersebut Belanda meruntuhkan menara Mesjid Agung saat itu sedang ramai jamaah yang hendak melaksanakan salat.
Akibatnya para jamaah membubarkan diri menghindarkan serangan membabi buta dan mengungsi ke berbagai tempat yang dirasakan aman. Selain masyarakat, pengungsian juga dilakukan oleh staf pemerintahan dan TNI.
Staf pemerintahan mengungsi ke Pembengis yang letaknya 7 km dari kota Kuala Tungkal. Rombongan pengungsi lainnya menuju Tungkal I, Pematang Bulu, bahkan Pematang Lumut.
Pada hari yang sama (21 Januari 1949), tepatnya pukul 16.00 WIB pasukan Belanda berhasil menguasai Kuala Tungkal. Membalas serangan tersebut, pada 22 Januari 1949 Panglima Adul menemui KH. M. Daud Arief yang berada di Parit Haji Yusuf (Tungkal V) untuk berkonsultasi rencana serangan balasan.
Serangan belasan yang direncanakannya itu dilaksanakan esok harinya (23 Januari 1949) oleh Pasukan Selempang Merah yang dipimpin oleh Abdul Samad.
Abdul Samad yang dikenal dengan julukan Panglima Adul berasal dari Desa Parit Selamat berkekuatan 24 orang menyerang kedudukan pasukan Belanda di Kuala Tungkal.
Anggota Pasukan Selempang Merah ini bercirikan mengenakan pita berwarna merah. Pada penyerangan ini terjadi kontak senjata dengan pasukan Belanda yang berusaha mempertahankan kedudukannya di Kota Kuala Tungkal.
Pada 28 Januari 1949 satu regu pasukan TNI yang dipimpin oleh Letda A. Fatah L. juga bergerak dari Desa Pembengis menuju Kota Kuala Tungkal untuk melakukan penyerangan.
Penyerangan kedudukan pasukan Belanda juga dilakukan pada 13 Februari 1949 oleh gabungan barisan Selempang Merah dan TNI. Penyerangan bersama antara TNI dan barisan Selempang Merah berkekuatan 115 orang.
Dalam penyerangan ini Barisan Selempang Merah hanya menggunakan senjata tradisional, seperti parang dan badik.
Mereka berangkat dari Parit Selamat menuju Kuala Tungkal dengan pasukan yang terbagi menjadi empat bagian yang masing-masing dipimpin oleh Abdul Samad, H. Saman, H. Nafiah, dan Zaidun.
Dalam penyerangan bersama ini Barisan Selempang Merah dipimpin Panglima Adul, sedangkan TNI dipimpin Serma Murad Alwi bersama Serma Buimin Hasan (CPM) yang bergerak dari Parit Bakau menuju Kuala Tungkal.
Penyerangan ini dilandasi keyakinan bahwa apabila gugur mereka mati syahid demi negara, bangsa, agama, dan Kota Kuala Tungkal.
Dalam peristiwa penyerangan ini barisan Selempang Merah menggunakan 11 perahu. Satu di antara kesebelas perahu tersebut (urutan ke 3) bertemu pasukan Belanda di tengah laut, Panglima Adul beserta anak buahnya segera melepaskan tembakan.
Seketika itu juga terjadi tembak menembak dan Panglima Adul segera melompak ke laut berenang menuju kapal Belanda. Tujuannya agar dapat naik ke atas kapal Belanda.
Saat memegang bagian jangkar kapal, Panglima Adul diberondong peluru senjata Belanda hingga tewas tenggelam di laut Sungai Pengabuan.
Gugurnya Panglima Adul dan Panglima H. A. Hamid, pimpinan Barisan Selempang Merah digantikan oleh H. Saman yang selama ini mendampingi Panglima Adul dalam penyerangan terhadap Belanda.
Beberapa kali melakukan penyerangan dari laut yang mengakibatkan banyaknya jatuh korban, para tokoh pemimpin Selempang Merah dan TNI memutuskan mengalihkan penyerangan dari daratan.
Untuk melakukan penyerangan melalui darat ke Kuala Tungkal, terdaftar lebih kurang 1.000 orang partisipan, tetapi hanya 441 orang terseleksi ikut dalam penyerangan ini, dan sisanya disiapkan sebagai pasukan cadangan.
Terpenuhinya semua persiapan, pada 23 Februari 1949 di bawah pimpinan H. Saman sejumlah 441 orang yang terdiri dari anggota Barisan Selempang Merah, TNI, Kepolisian, pegawai pemerintah, pamong desa, alim ulama, dan masyarakat lainnya menyerang kedudukan Belanda di Kuala Tungkal.
Serangan ini merupakan serangan terbesar dan terbaik persiapannya dibandingkan dengan serangan-serangan yang dilakukan sebelumnya.
Dalam penyerangan ini pasukan dibagi menjadi 21 kelompok yang dipimpin oleh seorang ketua kelompok dan pemberangkatan dilakukan dari Desa Pembengis.
Sebelum subuh menjelang, pasukan yang diketuai oleh H. Saman menyerang Kota Kuala Tungkal dengan membakar rumah-rumah di sekitar tempat yang dijadikan tempat tinggal tentara Belanda.
Kurang lebih 3 jam pertempuran, barisan Selempang Merah mundur kembali ke Pembengis dengan korban sebanyak 30 orang pejuang tewas, tidak diketahui korban dari pihak tentara Belanda.
Semenjak penyerangan tersebut, tentara Belanda membuat rintangan-rintangan kawat berduri di sekeliling kamp mereka agar TNI dan Barisan Selempang Merah tidak berani lagi menyerang Belanda.
Namun, TNI dan Barisan Selempang Merah tidak surut menghentikan penyerangannya. Tentara Belanda yang keluar dari kamp mengadakan patroli selalu dihadang oleh TNI dan Barisan Selempang Merah.
Pada 8 Maret 1949 kembali gabungan pasukan TNI dan barisan Selempang Merah berkekuatan 150 orang yang dipimpin H. Saman menyerang kedudukan Belanda di Kuala Tungkal. 12 orang anggota barisan Selempang Merah gugur dalam penyerangan ini.
Selanjutnya pada 16 Maret 1949 Panglima Camak, pemimpin Barisan Selempang Merah dari Sungai Undan memimpin 250 pasukan menyerang Kuala Tungkal.
Turut dalam penyerangan ini 25 anggota TNI yang dipimpin oleh Mayor Kadet Madhan A.R. Dalam penyerangan ini pasukan diberangkatkan dari Mesjid Tua Pembengis.
Oleh karena tidak seimbang persenjataan banyak anggota barisan Selempang Merah gugur, termasuk Panglima Camak bersama 90 orang anggotanya.
Meski begitu semangat juang pasukan Selempang Merah tak pernah surut bersama TNI dalam mengusir penjajah, hingga akhirnya Belanda pun angkat kaki dari bumi Kuala Tungkal, Jambi.
Sumber:
museumperjuanganrakyatjambi.blogspot, diolah dari berbagai sumber (nag)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.