Ilustrasi Hawk TNI AU ♆
Singapura masih terus melakukan latihan pesawat tempur di bagian ruang udara Indonesia. Bahkan mereka pernah protes ketika pesawat tempur TNI AU terbang di tempat latihannya itu yang berada di Kepulauan Riau.
Adalah aneh ketika Singapura komplain saat pesawat tempur Indonesia terbang di ruang udara miliknya sendiri. Singapura beralasan wilayah tersebut adalah danger area yang berada dalam pengawasan mereka.
Indonesia dan Singapura sebelumnya memang pernah memiliki perjanjian mengenai Military Training Areas (MTA) dengan timbal balik beberapa hal untuk Indonesia namun lebih banyak menguntungkan pihak Singapura. Perjanjian yang sudah habis sejak tahun 2001 itu mengizinkan Singapura untuk berlatih di ruang udara Indonesia karena mereka tidak memiliki ruang udara untuk latihan pesawat tempurnya.
MTA 1 berada di area sisi timur Singapura hingga Kepulauan Natuna, bahkan hingga Pekanbaru. Sementara MTA 2 dipatok dari sebelah barat daya Singapura hingga Tanjungpinang, Kepulauan Riau, termasuk di utara Pulau Bintan yang di mana hingga saat ini Singapura masih terus berlatih di wilayah tersebut.
Memang pada tahun 2007 sempat ada perundingan mengenai perpanjangan perjanjian, namun hingga kini belum pernah ada payung hukum yang melegalkan perilaku Singapura tersebut. Artinya, itu seharusnya membuat posisi Singapura tidak boleh berada sejengkal pun di ruang udara Indonesia tanpa izin.
"Perjanjian MTA sudah nggak berlaku, nggak ada perpanjangan tapi mereka masih terus latihan di sana sampai hari ini," ungkap Danlanud Tanjung Pinang Letkol Pnb I Ketut Wahyu Wijaya dalam perbincangan, Minggu (6/9/2015) malam.
Ketut sering mendapat laporan bahwa di utara Pulau Bintan, pesawat-pesawat tempur jenis F-5 dan F-16 milik Singapura sering mengadakan latihan tempur. Tentu saja hal tersebut membuatnya geram. Namun apa daya, jajaran TNI AU di wilayahnya tak dapat bereaksi banyak karena belum ada kekuatan penuh di daerah tersebut.
"Makanya harus ada kekuatan di Kepri, harus ada minimal 4 pesawat tempur. Masalahnya untuk ada kekuatan militer diperlukan fasilitas penunjangnya. Sementara di Tanjungpinang masih belum mumpuni," ujarnya.
Landasan pacu Lanud yang gabung dengan Bandara Raja Haji Fisabilillah Tanjangpinang menurut Ketut masih pendek sehingga belum memenuhi kualifikasi sebagai landasan pacu sebuah pesawat tempur. Itu menyulitkan pesawat yang akan mendarat ataupun lepas landas.
Selain itu Lanud di Tanjungpinang juga belum memiliki hanggar yang bisa digunakan untuk parkir pesawat tempur sekaligus tempat perbaikan maupun perawatannya. Mengingat pesawat tempur kebanggaan negara harganya mahal, tidak mungkin dibiarkan kepanasan dan kehujanan.
"Apron kecil, untuk 1 heli SAR, 1 Hercules angkutan dan 1 Boeing pengintai sudah penuh. Belum lagi ada airlines juga, jadi penuh. Makanya di Tanjungpinang sering terjadi delay. Saya sering bilang yang namanya perekonomian dan pertahanan harus sejalan," kata Ketut.
"Kondisi kayak gini buat TNI nggak maksimal padahal otomatis kehadiran TNI AU di sini buat mereka nggak bisa ke daerah sana (MTA)," sambung penerbang pesawat Hercules itu.
Belum lama ini Ketut dipanggil oleh Komisi I DPRD Kepri untuk dimintai keterangan mengenai permasalahan ini. Ia pun juga membahas mengenai minimnya keadaan Lanud. Pihak DPRD disebut Ketut menyambut baik dan akan berupaya untuk menindaklanjutinya.
"Saya juga sampaikan, kalau untuk penyediaan fasilitas itu masih memerlukan waktu, untuk sementara bisa dihadirkan pesawat tanpa awak. Paling nggak bisa terbang kontrol 4-5 jam. Nggak perlu biaya mahal, yang penting ada teknisi. Perlu ada Skadron UAV di Tanjungpinang untuk patroli agar mereka (Singapura) nggak kembali," jelas Ketut.
Permasalahan MTA ini sebenarnya masih berkesinambungan dengan persoalan Flight Information Region (FIR) di mana untuk wilayah Kepri masih berada dalam penguasaan Singapura sejak satu tahun Indonesia merdeka. Hingga kini, Indonesia belum bisa merebut pengurusan FIR untuk penerbangan komersil di jalur gemuk itu. Dengan FIR masih dipegang negeri seribu satu larangan tersebut, Singapura Airforce bebas keluar masuk ruang udara Indonesia meski perjanjian sudah habis.
"Makanya langkah pertama yang harus dilakukan adalah menghadirkan gelar kekuatan. Dengan begitu mereka jadi takut untuk datang. Itu awal supaya FIR bisa diambil alih. Kami kesulitan mengusir mereka karena tidak ada pesawat tempur. Padahal itu adalah bentuk pelanggaran resmi batas ruang udara. Ini sudah bicara tentang kedaulatan NKRI," tutur Ketut.
Bukan tanpa alasan Ketut mengemukakan pendapat itu. Pasalnya beberapa waktu lalu, pesawat tempur Singapura yang sedang berlatih di kawasan tersebut kabur ketika melihat pesawat tempur Indonesia. Anehnya, Singapura justru protes dengan kehadiran pesawat tempur TNI AU di wilayah udara negaranya sendiri.
"Begitu ada kekuatan kita hadir mereka tidak kembali. Pernah ada kan pengamanan Alki 1, pesawat tempur sedang melakukan Pam (pengamanan) Alki 1 dengan homebase Tanjungpinang, dan melintasi utara Bintan," cerita Ketut.
Kemudian melalui ATC negaranya, Singapura mengajukan protes ke ATC Tanjungpinang. Pihak ATC pun lantas mengadukan hal tersebut kepada Ketut. Pengamanan Alki 1 disebut Ketut dilakukan pada April lalu dengan kekuatan pesawat tempur jenis Hawk.
Alki sendiri merupakan Alur Laut Kepulauan Indonesia yang merupakan jalur pelayaran yang rentan akan bajak laut. Ada 3 Alki di Indonesia di mana Alki 1 ini cukup rawan sehingga memerlukan pengamanan dari udara. Letaknya di sebelah barat termasuk di daerah Selat Malaka yang juga melalui Kepri.
"Mereka komplain telepon ke ATC Bandara Tanjungpinang terus bilang 'kenapa pesawat tempur Indonesia di sana (MTA), itu danger area'. Saya bilang ke pihak ATC, ngapain kamu takut? Harusnya kamu ambil parang lempar ke mereka. Itu ruang udara kita. Masa mau datang ke rumah kita sendiri harus izin sama tetangga," ucap Ketut kesal.
"Saya nggak mau lah. Saya bilang ke pihak ATC untuk sampaikan TNI AU nggak mau pergi, itu wilayah kita. Akhirnya mereka pergi, itu artinya mereka ngerasa salah kan," sambungnya.
Kehadiran pesawat tempur dengan segala penunjangnya di Tanjungpinang, termasuk juga di Natuna, bukan hanya bermanfaat untuk menjaga daerah perbatasan RI. Hal tersebut juga bertujuan untuk membantu TNI AL menghadapi pencurian ikan. Ini dalam upaya menjadikan Indonesia sebagai negara maritim seperti visi misi Presiden Joko Widodo.
"Kepri itu masuk zona ketiga pencurian ikan. Ikan hilang setahun merugikan negara Rp 3 T. Artinya di Kepri Rp 1 T sendiri. Di sini juga banyak penyelundupan tapi ruang udara masih dikontrol Singapura. Untuk kepulauan itu pertahanan laut dan udara harus berkesinambungan, supaya bisa menjadi negara maritim," terang Ketut.
Sementara itu Pangkoopsau 1 Marsda A Dwi Putranto saat dihubungi mengatakan sudah ada perintah dari Panglima TNI mengenai permasalahan ini. Ia menegaskan Singapura tidak boleh melakukan latihan yang berada di ruang udara Indonesia.
"Itu nggak boleh. Panglima TNI sudah menegaskan dan menyampaikan Singapura nggak boleh latihan di sana. Sebab perpanjangan perjanjian batal, tidak disetujui Komisi I DPR. Itu wilayahnya Kohanudnas. Coba hubungi Kapuspen TNI karena Panglima TNI sudah menegaskan itu," jelas Agus.
Sayangnya saat detikcom mencoba menghubungi untuk mengkonfirmasi, Kapuspen TNI Mayjen Endang Sodik belum merespon panggilan telepon. Sebenarnya area MTA sendiri hanya sebagian kecil dari penguasaan Singapura terhadap FIR di daerah Kepri dan Natuna. Namun terlepas dari itu, membiarkan pesawat tempur negara lain dengan gampang melengang keluar masuk ruang udara Indonesia tanpa izin dirasa seperti membiarkan harga diri negara diinjak-injak. (elz/rvk)
Singapura masih terus melakukan latihan pesawat tempur di bagian ruang udara Indonesia. Bahkan mereka pernah protes ketika pesawat tempur TNI AU terbang di tempat latihannya itu yang berada di Kepulauan Riau.
Adalah aneh ketika Singapura komplain saat pesawat tempur Indonesia terbang di ruang udara miliknya sendiri. Singapura beralasan wilayah tersebut adalah danger area yang berada dalam pengawasan mereka.
Indonesia dan Singapura sebelumnya memang pernah memiliki perjanjian mengenai Military Training Areas (MTA) dengan timbal balik beberapa hal untuk Indonesia namun lebih banyak menguntungkan pihak Singapura. Perjanjian yang sudah habis sejak tahun 2001 itu mengizinkan Singapura untuk berlatih di ruang udara Indonesia karena mereka tidak memiliki ruang udara untuk latihan pesawat tempurnya.
MTA 1 berada di area sisi timur Singapura hingga Kepulauan Natuna, bahkan hingga Pekanbaru. Sementara MTA 2 dipatok dari sebelah barat daya Singapura hingga Tanjungpinang, Kepulauan Riau, termasuk di utara Pulau Bintan yang di mana hingga saat ini Singapura masih terus berlatih di wilayah tersebut.
Memang pada tahun 2007 sempat ada perundingan mengenai perpanjangan perjanjian, namun hingga kini belum pernah ada payung hukum yang melegalkan perilaku Singapura tersebut. Artinya, itu seharusnya membuat posisi Singapura tidak boleh berada sejengkal pun di ruang udara Indonesia tanpa izin.
"Perjanjian MTA sudah nggak berlaku, nggak ada perpanjangan tapi mereka masih terus latihan di sana sampai hari ini," ungkap Danlanud Tanjung Pinang Letkol Pnb I Ketut Wahyu Wijaya dalam perbincangan, Minggu (6/9/2015) malam.
Ketut sering mendapat laporan bahwa di utara Pulau Bintan, pesawat-pesawat tempur jenis F-5 dan F-16 milik Singapura sering mengadakan latihan tempur. Tentu saja hal tersebut membuatnya geram. Namun apa daya, jajaran TNI AU di wilayahnya tak dapat bereaksi banyak karena belum ada kekuatan penuh di daerah tersebut.
"Makanya harus ada kekuatan di Kepri, harus ada minimal 4 pesawat tempur. Masalahnya untuk ada kekuatan militer diperlukan fasilitas penunjangnya. Sementara di Tanjungpinang masih belum mumpuni," ujarnya.
Landasan pacu Lanud yang gabung dengan Bandara Raja Haji Fisabilillah Tanjangpinang menurut Ketut masih pendek sehingga belum memenuhi kualifikasi sebagai landasan pacu sebuah pesawat tempur. Itu menyulitkan pesawat yang akan mendarat ataupun lepas landas.
Selain itu Lanud di Tanjungpinang juga belum memiliki hanggar yang bisa digunakan untuk parkir pesawat tempur sekaligus tempat perbaikan maupun perawatannya. Mengingat pesawat tempur kebanggaan negara harganya mahal, tidak mungkin dibiarkan kepanasan dan kehujanan.
"Apron kecil, untuk 1 heli SAR, 1 Hercules angkutan dan 1 Boeing pengintai sudah penuh. Belum lagi ada airlines juga, jadi penuh. Makanya di Tanjungpinang sering terjadi delay. Saya sering bilang yang namanya perekonomian dan pertahanan harus sejalan," kata Ketut.
"Kondisi kayak gini buat TNI nggak maksimal padahal otomatis kehadiran TNI AU di sini buat mereka nggak bisa ke daerah sana (MTA)," sambung penerbang pesawat Hercules itu.
Belum lama ini Ketut dipanggil oleh Komisi I DPRD Kepri untuk dimintai keterangan mengenai permasalahan ini. Ia pun juga membahas mengenai minimnya keadaan Lanud. Pihak DPRD disebut Ketut menyambut baik dan akan berupaya untuk menindaklanjutinya.
"Saya juga sampaikan, kalau untuk penyediaan fasilitas itu masih memerlukan waktu, untuk sementara bisa dihadirkan pesawat tanpa awak. Paling nggak bisa terbang kontrol 4-5 jam. Nggak perlu biaya mahal, yang penting ada teknisi. Perlu ada Skadron UAV di Tanjungpinang untuk patroli agar mereka (Singapura) nggak kembali," jelas Ketut.
Permasalahan MTA ini sebenarnya masih berkesinambungan dengan persoalan Flight Information Region (FIR) di mana untuk wilayah Kepri masih berada dalam penguasaan Singapura sejak satu tahun Indonesia merdeka. Hingga kini, Indonesia belum bisa merebut pengurusan FIR untuk penerbangan komersil di jalur gemuk itu. Dengan FIR masih dipegang negeri seribu satu larangan tersebut, Singapura Airforce bebas keluar masuk ruang udara Indonesia meski perjanjian sudah habis.
"Makanya langkah pertama yang harus dilakukan adalah menghadirkan gelar kekuatan. Dengan begitu mereka jadi takut untuk datang. Itu awal supaya FIR bisa diambil alih. Kami kesulitan mengusir mereka karena tidak ada pesawat tempur. Padahal itu adalah bentuk pelanggaran resmi batas ruang udara. Ini sudah bicara tentang kedaulatan NKRI," tutur Ketut.
Bukan tanpa alasan Ketut mengemukakan pendapat itu. Pasalnya beberapa waktu lalu, pesawat tempur Singapura yang sedang berlatih di kawasan tersebut kabur ketika melihat pesawat tempur Indonesia. Anehnya, Singapura justru protes dengan kehadiran pesawat tempur TNI AU di wilayah udara negaranya sendiri.
"Begitu ada kekuatan kita hadir mereka tidak kembali. Pernah ada kan pengamanan Alki 1, pesawat tempur sedang melakukan Pam (pengamanan) Alki 1 dengan homebase Tanjungpinang, dan melintasi utara Bintan," cerita Ketut.
Kemudian melalui ATC negaranya, Singapura mengajukan protes ke ATC Tanjungpinang. Pihak ATC pun lantas mengadukan hal tersebut kepada Ketut. Pengamanan Alki 1 disebut Ketut dilakukan pada April lalu dengan kekuatan pesawat tempur jenis Hawk.
Alki sendiri merupakan Alur Laut Kepulauan Indonesia yang merupakan jalur pelayaran yang rentan akan bajak laut. Ada 3 Alki di Indonesia di mana Alki 1 ini cukup rawan sehingga memerlukan pengamanan dari udara. Letaknya di sebelah barat termasuk di daerah Selat Malaka yang juga melalui Kepri.
"Mereka komplain telepon ke ATC Bandara Tanjungpinang terus bilang 'kenapa pesawat tempur Indonesia di sana (MTA), itu danger area'. Saya bilang ke pihak ATC, ngapain kamu takut? Harusnya kamu ambil parang lempar ke mereka. Itu ruang udara kita. Masa mau datang ke rumah kita sendiri harus izin sama tetangga," ucap Ketut kesal.
"Saya nggak mau lah. Saya bilang ke pihak ATC untuk sampaikan TNI AU nggak mau pergi, itu wilayah kita. Akhirnya mereka pergi, itu artinya mereka ngerasa salah kan," sambungnya.
Kehadiran pesawat tempur dengan segala penunjangnya di Tanjungpinang, termasuk juga di Natuna, bukan hanya bermanfaat untuk menjaga daerah perbatasan RI. Hal tersebut juga bertujuan untuk membantu TNI AL menghadapi pencurian ikan. Ini dalam upaya menjadikan Indonesia sebagai negara maritim seperti visi misi Presiden Joko Widodo.
"Kepri itu masuk zona ketiga pencurian ikan. Ikan hilang setahun merugikan negara Rp 3 T. Artinya di Kepri Rp 1 T sendiri. Di sini juga banyak penyelundupan tapi ruang udara masih dikontrol Singapura. Untuk kepulauan itu pertahanan laut dan udara harus berkesinambungan, supaya bisa menjadi negara maritim," terang Ketut.
Sementara itu Pangkoopsau 1 Marsda A Dwi Putranto saat dihubungi mengatakan sudah ada perintah dari Panglima TNI mengenai permasalahan ini. Ia menegaskan Singapura tidak boleh melakukan latihan yang berada di ruang udara Indonesia.
"Itu nggak boleh. Panglima TNI sudah menegaskan dan menyampaikan Singapura nggak boleh latihan di sana. Sebab perpanjangan perjanjian batal, tidak disetujui Komisi I DPR. Itu wilayahnya Kohanudnas. Coba hubungi Kapuspen TNI karena Panglima TNI sudah menegaskan itu," jelas Agus.
Sayangnya saat detikcom mencoba menghubungi untuk mengkonfirmasi, Kapuspen TNI Mayjen Endang Sodik belum merespon panggilan telepon. Sebenarnya area MTA sendiri hanya sebagian kecil dari penguasaan Singapura terhadap FIR di daerah Kepri dan Natuna. Namun terlepas dari itu, membiarkan pesawat tempur negara lain dengan gampang melengang keluar masuk ruang udara Indonesia tanpa izin dirasa seperti membiarkan harga diri negara diinjak-injak. (elz/rvk)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.