Ilustrasi pasukan TNI [pr1v4t33r] ♚
Jatuhnya pesawat jenis Helly Bell 412 EP nomor HA-5171 milik TNI AD dan meninggalnya 13 anggota TNI termasuk Komandan Korem Tadulaka Kolonel Inf Syaiful Anwar, dalam operasi perburuan jaringan teroris Santoso di hutan Poso, Minggu (20/3) sore meninggalkan duka mendalam terutama bagi keluarga besar TNI.
Peristiwa naas ini juga, sekaligus menjadi kado pahit bagi Komisaris Jenderal Pol Toto Karnavian, mantan Kapolda Metro Jaya yang baru saja dipromosikan sebagai Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) pada Rabu (16/3). Kini, beban mantan Komandan Densus 88 Antiteror Mabes Polri yang pertama ini semakin berat.
Ia harus bisa membuktikan kemampuannya mengorganisasikan upaya penangkapan dan pengungkapan jaringan sekaligus target operasi (TO) utama yakni Santoso atau yang dikenal juga dengan nama Abu Wardah alias Pak De dalam waktu relatif singkat. Meskipun, peran BNPT lebih pada upaya penanggulangan-semacam operasi lunak, namun tetap saja operasi pengejaran masih dalam satu kordinasi dengan BNPT.
"Saya pikir kelompok ini kelompok kecil, kurang lebih 20-23 orang saja. Masalahnya adalah hutan dan gunung-gunung, menguasai medan hanya masalah waktu saja." Tegas Tito tanpa menyebut target waktu kapan pihaknya berhasil menangkap Santoso cs.
Kini, Tito tidak sendiri, dia diperkuat oleh dua perwira tinggi alumi BNPT yang kini memegang kendali utama di Sulawesi Tenggara. Keduanya adalah Kapolda Sulawesi Tengah Brigadir Jenderal Rudi Sufariadi dan Pangdam Wirabuana Mayor Jenderal Agus Surya Bakti. Rudi sebelumnya adalah Direktur Pembinaan Kemampuan BNPT dan mantan Kapolres Poso. Sedangkan Agus Surya sebelumnya adalah Deputi I Bidang Pencegahan, Perlindungan, dan Deradikalisasi BNPT. Agus Surya, salah satu perwira intelek di BPNT ini bahkan dikenal salah satu konseptor ide deradikalisasi BPNP dan berhasil membentuk Forum Kordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) di sejumlah daerah di Tanah Air. Dalam menapaki karir militernya Agus bahkan pernah menjabat Komandan Grup 3 Kopassus/Sandi Yudha. Nama Agus mencuat saat ia berhasil menangkap Xanana Gusmao dalam sebuah operasi terhadap kelompok sparatis Timor Timur Tahun 1992.
Usai Camar dan Tinombala
Usaha untuk menangkap kelompok Santoso yang jumlahnya diyakini kurang dari 30 orang di hutan Poso tersebut memang telah memakan waktu lama dengan pelibatan begitu banyak pasukan dari Polri. Bahkan, sebelum sandi operasi berganti menjadi Tinombala, sudah didahului dengan sandi Camar Maleo. Operasi Sandi Camar Maleo sendiripun berlangsung sekitar satu tahun dan dibagi dalam empat jilid.
Catatan Pelita, Operasi Camar Maleo I digelar mulai 26 Januari 2015 hingga 26 Maret 2015. Sebanyak 563 personel dari Brigade Mobil (Brimob) di Bawah Kendali Operasi (BKO) Tim Densus 88 Mabes Polri dan Korps Brimob Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat. Dilanjutkan Camar Maleo II pada pertengahan Mei 2015.
Kali ini jumlah pasukan ditambah menjadi total 1000 pasukan. Terdiri dari 600 personil Brimob BKO Kelapa Dua Jakarta dan 367 personil Brimob Polda Sulteng. Operasi tahap dua itu digelar sampai 7 juni 2015. Sebagai catatan, sebelum perpindahan operasi I dan II sempat digelar operasi “psy war” yakni latihan gabungan tiga matra di TNI di sekitar Hutan Poso. Lalu, setelah usai operasi ke dua, dilanjutkan Camar Maleo ke III. Kali ini Mabes Polri menambah pasukan dalam jumlah lebih besar lagi. Total ada sekitar 1300 personel dari Brimob BKO Mabes Polri dan Polda Sulteng. Mereka menyisir hutan Poso hingga 7 Juni 2015. Operasi yang belum juga berhasil menangkap Santoso ini dilanjutkan dengan Camar Maleo IV. Kali ini tak hanya Brimob Mabes Polri dan Sulteng dilibatkan.juga mulai melibatkan sedikitnya 100 personil dari Batalyon 714 Sintuwu Maroso Poso dan Kodim 1307 Poso.
Pada operasi pamungkas dan Camar Maleo ini sebenanya mulai ada titik terang. Kapolri Jenderal Badrodin Haiti kepada pers mengklaim pihaknya sudah berhasil mendeteksi posisi Santoso. “Tapi, belum bisa dilakukan penindakan,” ujar Badrodin saat berada di Istana Negara, Jumat (20/11/2015) lalu. Dia tak menjelaskan lebih lanjut kenapa pihaknya belum bisa melakukan penindakan. Operasi Camar Maleopun usai hingga 9 Januari 2016 yang ditandai dengan penarikan 1.700 pasukan gabungan baik dari Polri maupun TNI.
Belum berhasilnya operasi Camar Maleo I – IV ini rupanya menjadi beban yang kian besar terutama bagi Densus 88. Polri lalu minta waktu 60 hari pasca berakhirnya operasi Camar Maleo IV. Namun, hingga berakhir batas 60 hari yakni 9 Maret 2016 lalu, usaha mencari Santoso belum berhasil.
Sampai-sampai Anggota Komisi Pertahanan DPR RI Ahmad Zainuddin mempertanyakan dan meminta dilakukan evaluasi menyeluruh. Jika merujuk dari batas akhir operasi Tinombala, 9 Maret, peristiwa perburuan jaringan teroris dengan helikopter TNI AD yang jatuh di sekitar kawasan hutan Poso, Minggu (20/3) bisa disebut operasi ini sudah di luar rentang Operasi Tinombala.
"Musibah ini harus menjadi evaluasi menyeluruh terhadap operasi Tinombala. Musibah ini mungkin saja tidak terjadi jika rencana operasi berhasil sesuai target dan jadwal yang ditetapkan," kata Zainudin kepada pers, Senin (21/3).
Sementara itu, dalam kesempatan terpisah anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Letjen Mar (Pur) Nono Sampono mendesak agar instrument khusus anti teror milik tiga matra di TNI dilibatkan. Menurutnya, kondisi lapangan dan kemampuan pasukan Santoso yang sudah selevel militer lebih tepat di didekati dengan menerjukan densus antiteror TNI, mulai Gultor 81 (TNI AD), Bravo 90 (TNI AU) dan Denjaka (TNI AL).
“Aksi terorisme tidak bisa hanya didekati dengan pendekatan hukum dan cara biasa,” ujar Nono kepada Pelita. Mantan Komandan Paspampres dan Gubernur AAL ini meminta agar berbagai pihak lebih mengedepankan kepentingan negara ketimbang hanya soal yang disebutnya sebagai pride sektoral kelembagaan. “Saya pahamlah soal pride (Polri/ Densus 88), tapi kepentingan negara harus dikedepankan,” ujar Nono. Lantas, sampaikah operasi yang kini tanpa sandi itu akan berhasil mengendus dan meringkus seorang Santoso? Kita tunggu saja. (esa)
Jatuhnya pesawat jenis Helly Bell 412 EP nomor HA-5171 milik TNI AD dan meninggalnya 13 anggota TNI termasuk Komandan Korem Tadulaka Kolonel Inf Syaiful Anwar, dalam operasi perburuan jaringan teroris Santoso di hutan Poso, Minggu (20/3) sore meninggalkan duka mendalam terutama bagi keluarga besar TNI.
Peristiwa naas ini juga, sekaligus menjadi kado pahit bagi Komisaris Jenderal Pol Toto Karnavian, mantan Kapolda Metro Jaya yang baru saja dipromosikan sebagai Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) pada Rabu (16/3). Kini, beban mantan Komandan Densus 88 Antiteror Mabes Polri yang pertama ini semakin berat.
Ia harus bisa membuktikan kemampuannya mengorganisasikan upaya penangkapan dan pengungkapan jaringan sekaligus target operasi (TO) utama yakni Santoso atau yang dikenal juga dengan nama Abu Wardah alias Pak De dalam waktu relatif singkat. Meskipun, peran BNPT lebih pada upaya penanggulangan-semacam operasi lunak, namun tetap saja operasi pengejaran masih dalam satu kordinasi dengan BNPT.
"Saya pikir kelompok ini kelompok kecil, kurang lebih 20-23 orang saja. Masalahnya adalah hutan dan gunung-gunung, menguasai medan hanya masalah waktu saja." Tegas Tito tanpa menyebut target waktu kapan pihaknya berhasil menangkap Santoso cs.
Kini, Tito tidak sendiri, dia diperkuat oleh dua perwira tinggi alumi BNPT yang kini memegang kendali utama di Sulawesi Tenggara. Keduanya adalah Kapolda Sulawesi Tengah Brigadir Jenderal Rudi Sufariadi dan Pangdam Wirabuana Mayor Jenderal Agus Surya Bakti. Rudi sebelumnya adalah Direktur Pembinaan Kemampuan BNPT dan mantan Kapolres Poso. Sedangkan Agus Surya sebelumnya adalah Deputi I Bidang Pencegahan, Perlindungan, dan Deradikalisasi BNPT. Agus Surya, salah satu perwira intelek di BPNT ini bahkan dikenal salah satu konseptor ide deradikalisasi BPNP dan berhasil membentuk Forum Kordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) di sejumlah daerah di Tanah Air. Dalam menapaki karir militernya Agus bahkan pernah menjabat Komandan Grup 3 Kopassus/Sandi Yudha. Nama Agus mencuat saat ia berhasil menangkap Xanana Gusmao dalam sebuah operasi terhadap kelompok sparatis Timor Timur Tahun 1992.
Usai Camar dan Tinombala
Usaha untuk menangkap kelompok Santoso yang jumlahnya diyakini kurang dari 30 orang di hutan Poso tersebut memang telah memakan waktu lama dengan pelibatan begitu banyak pasukan dari Polri. Bahkan, sebelum sandi operasi berganti menjadi Tinombala, sudah didahului dengan sandi Camar Maleo. Operasi Sandi Camar Maleo sendiripun berlangsung sekitar satu tahun dan dibagi dalam empat jilid.
Catatan Pelita, Operasi Camar Maleo I digelar mulai 26 Januari 2015 hingga 26 Maret 2015. Sebanyak 563 personel dari Brigade Mobil (Brimob) di Bawah Kendali Operasi (BKO) Tim Densus 88 Mabes Polri dan Korps Brimob Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat. Dilanjutkan Camar Maleo II pada pertengahan Mei 2015.
Kali ini jumlah pasukan ditambah menjadi total 1000 pasukan. Terdiri dari 600 personil Brimob BKO Kelapa Dua Jakarta dan 367 personil Brimob Polda Sulteng. Operasi tahap dua itu digelar sampai 7 juni 2015. Sebagai catatan, sebelum perpindahan operasi I dan II sempat digelar operasi “psy war” yakni latihan gabungan tiga matra di TNI di sekitar Hutan Poso. Lalu, setelah usai operasi ke dua, dilanjutkan Camar Maleo ke III. Kali ini Mabes Polri menambah pasukan dalam jumlah lebih besar lagi. Total ada sekitar 1300 personel dari Brimob BKO Mabes Polri dan Polda Sulteng. Mereka menyisir hutan Poso hingga 7 Juni 2015. Operasi yang belum juga berhasil menangkap Santoso ini dilanjutkan dengan Camar Maleo IV. Kali ini tak hanya Brimob Mabes Polri dan Sulteng dilibatkan.juga mulai melibatkan sedikitnya 100 personil dari Batalyon 714 Sintuwu Maroso Poso dan Kodim 1307 Poso.
Pada operasi pamungkas dan Camar Maleo ini sebenanya mulai ada titik terang. Kapolri Jenderal Badrodin Haiti kepada pers mengklaim pihaknya sudah berhasil mendeteksi posisi Santoso. “Tapi, belum bisa dilakukan penindakan,” ujar Badrodin saat berada di Istana Negara, Jumat (20/11/2015) lalu. Dia tak menjelaskan lebih lanjut kenapa pihaknya belum bisa melakukan penindakan. Operasi Camar Maleopun usai hingga 9 Januari 2016 yang ditandai dengan penarikan 1.700 pasukan gabungan baik dari Polri maupun TNI.
Belum berhasilnya operasi Camar Maleo I – IV ini rupanya menjadi beban yang kian besar terutama bagi Densus 88. Polri lalu minta waktu 60 hari pasca berakhirnya operasi Camar Maleo IV. Namun, hingga berakhir batas 60 hari yakni 9 Maret 2016 lalu, usaha mencari Santoso belum berhasil.
Sampai-sampai Anggota Komisi Pertahanan DPR RI Ahmad Zainuddin mempertanyakan dan meminta dilakukan evaluasi menyeluruh. Jika merujuk dari batas akhir operasi Tinombala, 9 Maret, peristiwa perburuan jaringan teroris dengan helikopter TNI AD yang jatuh di sekitar kawasan hutan Poso, Minggu (20/3) bisa disebut operasi ini sudah di luar rentang Operasi Tinombala.
"Musibah ini harus menjadi evaluasi menyeluruh terhadap operasi Tinombala. Musibah ini mungkin saja tidak terjadi jika rencana operasi berhasil sesuai target dan jadwal yang ditetapkan," kata Zainudin kepada pers, Senin (21/3).
Sementara itu, dalam kesempatan terpisah anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Letjen Mar (Pur) Nono Sampono mendesak agar instrument khusus anti teror milik tiga matra di TNI dilibatkan. Menurutnya, kondisi lapangan dan kemampuan pasukan Santoso yang sudah selevel militer lebih tepat di didekati dengan menerjukan densus antiteror TNI, mulai Gultor 81 (TNI AD), Bravo 90 (TNI AU) dan Denjaka (TNI AL).
“Aksi terorisme tidak bisa hanya didekati dengan pendekatan hukum dan cara biasa,” ujar Nono kepada Pelita. Mantan Komandan Paspampres dan Gubernur AAL ini meminta agar berbagai pihak lebih mengedepankan kepentingan negara ketimbang hanya soal yang disebutnya sebagai pride sektoral kelembagaan. “Saya pahamlah soal pride (Polri/ Densus 88), tapi kepentingan negara harus dikedepankan,” ujar Nono. Lantas, sampaikah operasi yang kini tanpa sandi itu akan berhasil mengendus dan meringkus seorang Santoso? Kita tunggu saja. (esa)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.