Terorisme Kejahatan Negara Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo (Foto: Dok. Puspen TNI)
Panitia Khusus Revisi UU Terorisme DPR tengah mempertimbangkan memberikan kewenangan penindakan bagi Tentara Nasional Indonesia (TNI). Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo menyebut terorisme bukanlah kriminal biasa melainkan kejahatan terhadap negara.
Penambahan kewenangan TNI dalam revisi Undang-undang nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme itu mengacu pada UU No 34 tahun 2004 tentang TNI. Dalam UU tersebut, disebutkan salah satu tugas TNI adalah mengamankan negara dari tindakan terorisme namun tidka dijelaskan operasional TNI dalam mengamankan negara dari tindakan terorisme.
Kewenangan penindakan oleh TNI dalam kasus terorisme yang tengah digodok pansus adalah berkaitan dengan keamanan negara. Seperti keamanan presiden, wakil presiden, kantor kedutaan seluruh negara, pesawat udara, dan pesawat laut. Selama ini permasalahan terorisme ditangani oleh pihak kepolisian. Namun pansus menilai ada beberapa wilayah strategis yang hanya mampu ditangani oleh TNI.
Kewenangan penindakan oleh TNI nantinya bersifat situasional dnegan melihat kasus dan areal tempat terjadinya aksi terorisme. Seluruh fraksi yang ada di DPR pun sudah menyetujui akan perihal ini.
Aturan yang sedang disusun oleh Pansus DPR tampaknya sejalan dengan pandangan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo. Saat ini, terorisme di Indonesia masih didefinisikan sebagai kriminal biasa sehingga sehingga fokus penindihannya dimulai setelah ada bukti baru kemudian dilakukan penindakan (proyustisia). Inilah yang membuat pelaku teror nyaman berada di Indonesia karena hukum di Indonesia masih lemah.
"Perlu adanya perubahan pendekatan dalam menghadapi tindakan terorisme yang sudah masif dengan lebih mengutamakan tindakan deteksi dan cegah dini," ucap Jenderal TNI Gatot Nurmantyo seperti tertulis dalam siaran pers Puspen TNI yang diterima detikcom, Rabu (20/7/2016) malam.
Hal tersebut disampaikan Jenderal Gatot di saat memberikan ceramah di hadapan 965 Siswa Sesko TNI, Sespimti Polri, Sesko Angkatan dan Sespimmen Polri di Gedung Jenderal Soedirman Sekolah Calon Perwira Angkatan Darat (Secapa AD) Bandung, Jawa Barat, beberapa waktu lalu. Panglima TNI mengatakan, eskalasi ancaman terorisme bukan hanya berada di wilayah Yurisdiksi Indonesia saja, namun harus memandang terorisme sebagai jaringan global.
"ISIS sekarang sudah menjadi Islamic State bukan hanya di Suriah yang melibatkan Amerika dan Rusia, bahkan tambah meluas sekarang," ungkapnya.
"Skema dan pola ancaman terorisme semakin dinamis dan meluas secara asimetris, sehingga secara nyata mengancam Kedaulatan dan Pertahanan Negara. Masa lalu definisi terorisme adalah kejahatan kriminal, sedangkan masa kini terorisme adalah kejahatan terhadap negara," imbuh Gatot.
Skema dan pola yang masif dan asimetris ini mengakibatkan adanya dampak serius dari setiap kejadian teror di sejumlah negara. Beberapa di antaranya seperti peristiwa teror di WTC New York, Amerika Serikat, pada 11 September 2001 yang menewaskan hampir tiga ribu jiwa. Lalu kejadian di Mumbai, India, pada November 2008 dengan korban tewas 170 orang. Juga dua kejadian terorisme di Prancis yang diklaim dilakukan oleh kelompok ISIS yaitu pada 13 November 2015 di Paris dengan korban 129 jiwa dan yang baru saja terjadi di Nice pada 15 Juli lalu dengan korban tewas 80 orang.
Terorisme sebagai kejahatan negara disebut Gatot sesuai dengan Resolusi 1566 Dewan PBB. Pada resolusi itu, tercantum bahwa terorisme tidak sama dengan aksi kriminal karena mengancam aturan sosial, keamanan individu, keamanan nasional, perdamaian dunia, dan ekonomi.
"Jadi terorisme adalah kejahatan terhadap negara karena terorisme merusak negara dan sudah terbukti," kata jenderal bintang empat itu.
Pada pemaparannya, Gatot pun mengutip teori Boaz Ganor dari International Institute For Counter Terrorism, Interdiscplinary Center tentang terorisme. Teori tersebut menyatakan hukum kriminal tidak akan mampu menjerat terorisme, karena dibuat untuk mengatur kehidupan sehari-hari, namun hukum peranglah yang lebih cocok didefinisikan untuk menjerat aksi terorisme dengan tujuan politik dan sering menggunakan metode operasi layaknya militer.
Panglima TNI juga memberi contoh tentang bagaimana penanganan teroris di Amerika Serikat yang melibatkan CIA dan militer. Itu menjadi agenda prioritas pemerintah AS karena seriusnya ancaman terorisme terhadap negara.
Untuk memberantas aksi-aksi terorisme, Gatot mengatakan Indonesia memiliki peluang untuk deteksi dan pencegahan dini melalui sinergitas TNI-Polri bersama aparatur pemerintah daerah. Sebab para stakeholder ini memegang peranan penting dalam upaya tersebut sehingga upaya pencegahan tidak dapat dilakukan hanya dengan melibatkan satu pemerintahan saja. Perlu ada kerja sama dan sinergi antar lembaga pemerintah dan juga melibatkan masyarakat.
"Kita punya badan pengumpulan keterangan diseluruh pelosok Indonesia, Babinsa ada 53.000 personel lebih, Babinkamtibmas dari Kepolisian 62.000 personel, Lurah/Kepala Desa 81.000 personel, total ada 271.000 orang apabila dimanfaatkan sangatlah efektif sekali," terang Gatot.
Untuk menumpas terorisme, Panglima TNI menyebut agar semua pihak menghilangkan egosentris. Itu disebut Gatot menjadi tambahan solusi untuk menjaga kedaulatan serta keutuhan negara.
"Para elit harus bersatu bersama pemerintah, jangan hanya berwacana, apalagi saling menyerang bahkan menjelek-jelekan pemerintah, jangan ada lagi egosentris dan seharusnya kita mengutamakan berkarya hanya untuk NKRI," pungkasnya. (elz/dhn)
Penindakan Terorisme di Gunung atau Hutan, Serahkan ke TNI
Panitia Khusus Revisi Undang-undang nomor 15 tahun 2003 tentang Terorisme berencana memberi kewenangan penindakan kepada Tentara Nasional Indonesia. Jika disetujui nantinya TNI akan terlibat dalam penanganan aksi terorisme di tanah air.
Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan menyambut baik gagasan tersebut. Menurut dia ada beberapa kasus terorisme yang memang lebih cocok ditangani TNI.
"Kalau misalnya ada beberapa target, multiple target, kan bisa TNI dilibatkan di situ atau sasarannya bisa misalnya yang sifatnya lebih strategis, pasti kita libatkan TNI. TNI kan punya kemampuan sangat lebih di situ," kata Luhut di Gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (21/7/1016).
Medan penanganan terorisme juga menjadi pertimbangan. Anggota TNI yang sudah dilatih di alam bebas dinilai Luhut lebih siap menghadapi teroris di gunung dan hutan.
"Kalau seperti di gunung, di hutan ya kasih TNI itu. Karena kerjaan dia begitu kan, jadi sesuai nature-nya," kata Luhut.
Luhut juga mempertimbangkan persepsi masyarakat terhadap aparat. Oleh sebab itu perlu ada pembagian tugas antara Polri dan TNI.
"Sekarang kan kasihan teman-teman polisi terus yang dihujat. Padahal mereka yang langsung dengan masyarakat. Jadi dibagilah, dipilah-pilah sehingga jangan teman-teman polisi saja yang jadi apa namanya menghadapai ancaman seperti sekarang," ujar Luhut.
"Intinya bagaimana supaya terpadu. Jadi jangan ada kekuatan kemampuan yang tidak dimanfaatkan dengan baik," pungkasnya. (imk/erd)
Sejumlah Anggota DPR Dukung
Panitia Khusus Revisi Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme Dewan Perwakilan Rakyat berencana memberikan kewenangan penindakan kepada Tentara Nasional Indonesia. Sejumlah anggota DPR mendukung gagasan tersebut.
Dukungan antara lain datang dari anggota DPR Fraksi Partai Golongan Karya Muhammad Misbakhun. Menurut dia, terorisme bukan semata persoalan gangguan keamanan dan ketertiban umum tapi sudah menjadi gangguan keamanan dan kedaulatan negara.
"Untuk itu, (perlu) keterlibatan seluruh unsur kekuatan negara untuk mengatasi masalah terorisme termasuk Tentara Nasional Indonesia (TNI)," kata Misbakhun kepada wartawan di Jakarta, Kamis (21/7/2016).
TNI, kata Misbakhun, memiliki kemampuan personel yang terlatih. "Ada unit khusus yang mempunyai kualifikasi kemampuan tempur yang terlatih secara khusus maka dilibatkannya TNI dalam penanggulangan terorisme diharapkan akan memperkuat peran negara dalam upaya penanggulanggan ancaman terorisme yang kelihatannya makin nyata mengganggu keamanan, ketertiban umum dan kedaulatan negara," kata dia.
Anggota DPR lainnya dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Nasir Djamil juga mendukung keterlibatan TNI dalam penanganan terorisme. Menurut dia terorisme bukan hanya mengancam keamanan rakyat, tapi juga kedaulatan negara. "Itu sebabnya mengapa ada ide agar TNI ikut bersama sama (menangani terorisme) yang diatur dalam undang undang," kata Nasir. (erd/nrl)
Kepala BNPT Dalami Soal Kewenangan Penindakan oleh TNI
Pansus revisi UU Tindak Pidana Terorisme akan beri kewenangan kepada TNI untuk menindak teroris. Kepala BNPT Komjen Suhardi Alius belum mau berkomentar lebih jauh soal usulan itu.
"Saya masih mendalami itu. Yang paling penting semua penegakan harus ada payung hukum. Ini yang harus kita pagari betul," kata Suhardi di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (21/7/2016).
Suhardi mendorong adanya format hukum yang jelas dalam penanganan terorisme. Aspek HAM juga menjadi salah satu yang perlu dipertimbangkan.
"Kita bisa lihat kemarin bagaimana Kapolri dan Panglima dalam penindakan kelompok Santoso. Semua kita rangkul," ungkap Suhardi.
Dia menekankan bahwa penindakan teroris bergantung pada aspek hukum yang berlaku. Dia melihat adanya prospek positif dalam ravisi undang-undang tersebut. (bag/erd)
Polri: Nggak Ada Masalah
Panitia Khusus Revisi Undang-undang nomor 15 tahun 2003 tentang Terorisme Dewan Perwakilan Rakyat berencana memberikan kewenangan penindakan kepada TNI. Markas Besar Kepolisian RI menyebut selama ini TNI sudah sering membantu dan terlibat dalam penanganan kasus terorisme.
Hal itu dikatakan oleh Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Markas Besar Kepolisian RI Inspektur Jenderal Boy Rafli Amar. "Sejauh ini bantuan TNI (menangani terorisme) sudah berjalan dan nggak ada masalah," kata dia di kompleks Mabes Polri, jalan Trunojoyo, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Kamis (21/7/2016).
Keterlibatan TNI dalam penanganan kasus terorisme tak hanya di Satgas Tinombala. TNI, kata Boy, selalu memberi dukungan kepada Polri termasuk informasi intelijen terkait aktivitas terorisme.
Mabes Polri, kata Boy, akan mengikuti dan menghormati proses pembahasan revisi UU Terorisme yang saat ini sudah berjalan di DPR. "Berkaitan revisi UU Terorisme itu semuanya menjadi dinamika, saat ini sudah berjalan di legislatif. Masing-masing ada panitia, merumuskan diskusikan mendengarkan masukan dari berbagai unsur," papar Boy.
Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan menyambut baik gagasan melibatkan TNI dalam menangani kasus terorisme. Menurut dia ada beberapa kasus terorisme yang memang lebih cocok ditangani TNI.
"Kalau misalnya ada beberapa target, multiple target, kan bisa TNI dilibatkan di situ atau sasarannya bisa misalnya yang sifatnya lebih strategis, pasti kita libatkan TNI. TNI kan punya kemampuan sangat lebih di situ," kata Luhut di Gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (21/7/1016). (erd/erd)
Panitia Khusus Revisi UU Terorisme DPR tengah mempertimbangkan memberikan kewenangan penindakan bagi Tentara Nasional Indonesia (TNI). Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo menyebut terorisme bukanlah kriminal biasa melainkan kejahatan terhadap negara.
Penambahan kewenangan TNI dalam revisi Undang-undang nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme itu mengacu pada UU No 34 tahun 2004 tentang TNI. Dalam UU tersebut, disebutkan salah satu tugas TNI adalah mengamankan negara dari tindakan terorisme namun tidka dijelaskan operasional TNI dalam mengamankan negara dari tindakan terorisme.
Kewenangan penindakan oleh TNI dalam kasus terorisme yang tengah digodok pansus adalah berkaitan dengan keamanan negara. Seperti keamanan presiden, wakil presiden, kantor kedutaan seluruh negara, pesawat udara, dan pesawat laut. Selama ini permasalahan terorisme ditangani oleh pihak kepolisian. Namun pansus menilai ada beberapa wilayah strategis yang hanya mampu ditangani oleh TNI.
Kewenangan penindakan oleh TNI nantinya bersifat situasional dnegan melihat kasus dan areal tempat terjadinya aksi terorisme. Seluruh fraksi yang ada di DPR pun sudah menyetujui akan perihal ini.
Aturan yang sedang disusun oleh Pansus DPR tampaknya sejalan dengan pandangan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo. Saat ini, terorisme di Indonesia masih didefinisikan sebagai kriminal biasa sehingga sehingga fokus penindihannya dimulai setelah ada bukti baru kemudian dilakukan penindakan (proyustisia). Inilah yang membuat pelaku teror nyaman berada di Indonesia karena hukum di Indonesia masih lemah.
"Perlu adanya perubahan pendekatan dalam menghadapi tindakan terorisme yang sudah masif dengan lebih mengutamakan tindakan deteksi dan cegah dini," ucap Jenderal TNI Gatot Nurmantyo seperti tertulis dalam siaran pers Puspen TNI yang diterima detikcom, Rabu (20/7/2016) malam.
Hal tersebut disampaikan Jenderal Gatot di saat memberikan ceramah di hadapan 965 Siswa Sesko TNI, Sespimti Polri, Sesko Angkatan dan Sespimmen Polri di Gedung Jenderal Soedirman Sekolah Calon Perwira Angkatan Darat (Secapa AD) Bandung, Jawa Barat, beberapa waktu lalu. Panglima TNI mengatakan, eskalasi ancaman terorisme bukan hanya berada di wilayah Yurisdiksi Indonesia saja, namun harus memandang terorisme sebagai jaringan global.
"ISIS sekarang sudah menjadi Islamic State bukan hanya di Suriah yang melibatkan Amerika dan Rusia, bahkan tambah meluas sekarang," ungkapnya.
"Skema dan pola ancaman terorisme semakin dinamis dan meluas secara asimetris, sehingga secara nyata mengancam Kedaulatan dan Pertahanan Negara. Masa lalu definisi terorisme adalah kejahatan kriminal, sedangkan masa kini terorisme adalah kejahatan terhadap negara," imbuh Gatot.
Skema dan pola yang masif dan asimetris ini mengakibatkan adanya dampak serius dari setiap kejadian teror di sejumlah negara. Beberapa di antaranya seperti peristiwa teror di WTC New York, Amerika Serikat, pada 11 September 2001 yang menewaskan hampir tiga ribu jiwa. Lalu kejadian di Mumbai, India, pada November 2008 dengan korban tewas 170 orang. Juga dua kejadian terorisme di Prancis yang diklaim dilakukan oleh kelompok ISIS yaitu pada 13 November 2015 di Paris dengan korban 129 jiwa dan yang baru saja terjadi di Nice pada 15 Juli lalu dengan korban tewas 80 orang.
Terorisme sebagai kejahatan negara disebut Gatot sesuai dengan Resolusi 1566 Dewan PBB. Pada resolusi itu, tercantum bahwa terorisme tidak sama dengan aksi kriminal karena mengancam aturan sosial, keamanan individu, keamanan nasional, perdamaian dunia, dan ekonomi.
"Jadi terorisme adalah kejahatan terhadap negara karena terorisme merusak negara dan sudah terbukti," kata jenderal bintang empat itu.
Pada pemaparannya, Gatot pun mengutip teori Boaz Ganor dari International Institute For Counter Terrorism, Interdiscplinary Center tentang terorisme. Teori tersebut menyatakan hukum kriminal tidak akan mampu menjerat terorisme, karena dibuat untuk mengatur kehidupan sehari-hari, namun hukum peranglah yang lebih cocok didefinisikan untuk menjerat aksi terorisme dengan tujuan politik dan sering menggunakan metode operasi layaknya militer.
Panglima TNI juga memberi contoh tentang bagaimana penanganan teroris di Amerika Serikat yang melibatkan CIA dan militer. Itu menjadi agenda prioritas pemerintah AS karena seriusnya ancaman terorisme terhadap negara.
Untuk memberantas aksi-aksi terorisme, Gatot mengatakan Indonesia memiliki peluang untuk deteksi dan pencegahan dini melalui sinergitas TNI-Polri bersama aparatur pemerintah daerah. Sebab para stakeholder ini memegang peranan penting dalam upaya tersebut sehingga upaya pencegahan tidak dapat dilakukan hanya dengan melibatkan satu pemerintahan saja. Perlu ada kerja sama dan sinergi antar lembaga pemerintah dan juga melibatkan masyarakat.
"Kita punya badan pengumpulan keterangan diseluruh pelosok Indonesia, Babinsa ada 53.000 personel lebih, Babinkamtibmas dari Kepolisian 62.000 personel, Lurah/Kepala Desa 81.000 personel, total ada 271.000 orang apabila dimanfaatkan sangatlah efektif sekali," terang Gatot.
Untuk menumpas terorisme, Panglima TNI menyebut agar semua pihak menghilangkan egosentris. Itu disebut Gatot menjadi tambahan solusi untuk menjaga kedaulatan serta keutuhan negara.
"Para elit harus bersatu bersama pemerintah, jangan hanya berwacana, apalagi saling menyerang bahkan menjelek-jelekan pemerintah, jangan ada lagi egosentris dan seharusnya kita mengutamakan berkarya hanya untuk NKRI," pungkasnya. (elz/dhn)
Penindakan Terorisme di Gunung atau Hutan, Serahkan ke TNI
Panitia Khusus Revisi Undang-undang nomor 15 tahun 2003 tentang Terorisme berencana memberi kewenangan penindakan kepada Tentara Nasional Indonesia. Jika disetujui nantinya TNI akan terlibat dalam penanganan aksi terorisme di tanah air.
Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan menyambut baik gagasan tersebut. Menurut dia ada beberapa kasus terorisme yang memang lebih cocok ditangani TNI.
"Kalau misalnya ada beberapa target, multiple target, kan bisa TNI dilibatkan di situ atau sasarannya bisa misalnya yang sifatnya lebih strategis, pasti kita libatkan TNI. TNI kan punya kemampuan sangat lebih di situ," kata Luhut di Gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (21/7/1016).
Medan penanganan terorisme juga menjadi pertimbangan. Anggota TNI yang sudah dilatih di alam bebas dinilai Luhut lebih siap menghadapi teroris di gunung dan hutan.
"Kalau seperti di gunung, di hutan ya kasih TNI itu. Karena kerjaan dia begitu kan, jadi sesuai nature-nya," kata Luhut.
Luhut juga mempertimbangkan persepsi masyarakat terhadap aparat. Oleh sebab itu perlu ada pembagian tugas antara Polri dan TNI.
"Sekarang kan kasihan teman-teman polisi terus yang dihujat. Padahal mereka yang langsung dengan masyarakat. Jadi dibagilah, dipilah-pilah sehingga jangan teman-teman polisi saja yang jadi apa namanya menghadapai ancaman seperti sekarang," ujar Luhut.
"Intinya bagaimana supaya terpadu. Jadi jangan ada kekuatan kemampuan yang tidak dimanfaatkan dengan baik," pungkasnya. (imk/erd)
Sejumlah Anggota DPR Dukung
Panitia Khusus Revisi Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme Dewan Perwakilan Rakyat berencana memberikan kewenangan penindakan kepada Tentara Nasional Indonesia. Sejumlah anggota DPR mendukung gagasan tersebut.
Dukungan antara lain datang dari anggota DPR Fraksi Partai Golongan Karya Muhammad Misbakhun. Menurut dia, terorisme bukan semata persoalan gangguan keamanan dan ketertiban umum tapi sudah menjadi gangguan keamanan dan kedaulatan negara.
"Untuk itu, (perlu) keterlibatan seluruh unsur kekuatan negara untuk mengatasi masalah terorisme termasuk Tentara Nasional Indonesia (TNI)," kata Misbakhun kepada wartawan di Jakarta, Kamis (21/7/2016).
TNI, kata Misbakhun, memiliki kemampuan personel yang terlatih. "Ada unit khusus yang mempunyai kualifikasi kemampuan tempur yang terlatih secara khusus maka dilibatkannya TNI dalam penanggulangan terorisme diharapkan akan memperkuat peran negara dalam upaya penanggulanggan ancaman terorisme yang kelihatannya makin nyata mengganggu keamanan, ketertiban umum dan kedaulatan negara," kata dia.
Anggota DPR lainnya dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Nasir Djamil juga mendukung keterlibatan TNI dalam penanganan terorisme. Menurut dia terorisme bukan hanya mengancam keamanan rakyat, tapi juga kedaulatan negara. "Itu sebabnya mengapa ada ide agar TNI ikut bersama sama (menangani terorisme) yang diatur dalam undang undang," kata Nasir. (erd/nrl)
Kepala BNPT Dalami Soal Kewenangan Penindakan oleh TNI
Pansus revisi UU Tindak Pidana Terorisme akan beri kewenangan kepada TNI untuk menindak teroris. Kepala BNPT Komjen Suhardi Alius belum mau berkomentar lebih jauh soal usulan itu.
"Saya masih mendalami itu. Yang paling penting semua penegakan harus ada payung hukum. Ini yang harus kita pagari betul," kata Suhardi di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (21/7/2016).
Suhardi mendorong adanya format hukum yang jelas dalam penanganan terorisme. Aspek HAM juga menjadi salah satu yang perlu dipertimbangkan.
"Kita bisa lihat kemarin bagaimana Kapolri dan Panglima dalam penindakan kelompok Santoso. Semua kita rangkul," ungkap Suhardi.
Dia menekankan bahwa penindakan teroris bergantung pada aspek hukum yang berlaku. Dia melihat adanya prospek positif dalam ravisi undang-undang tersebut. (bag/erd)
Polri: Nggak Ada Masalah
Panitia Khusus Revisi Undang-undang nomor 15 tahun 2003 tentang Terorisme Dewan Perwakilan Rakyat berencana memberikan kewenangan penindakan kepada TNI. Markas Besar Kepolisian RI menyebut selama ini TNI sudah sering membantu dan terlibat dalam penanganan kasus terorisme.
Hal itu dikatakan oleh Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Markas Besar Kepolisian RI Inspektur Jenderal Boy Rafli Amar. "Sejauh ini bantuan TNI (menangani terorisme) sudah berjalan dan nggak ada masalah," kata dia di kompleks Mabes Polri, jalan Trunojoyo, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Kamis (21/7/2016).
Keterlibatan TNI dalam penanganan kasus terorisme tak hanya di Satgas Tinombala. TNI, kata Boy, selalu memberi dukungan kepada Polri termasuk informasi intelijen terkait aktivitas terorisme.
Mabes Polri, kata Boy, akan mengikuti dan menghormati proses pembahasan revisi UU Terorisme yang saat ini sudah berjalan di DPR. "Berkaitan revisi UU Terorisme itu semuanya menjadi dinamika, saat ini sudah berjalan di legislatif. Masing-masing ada panitia, merumuskan diskusikan mendengarkan masukan dari berbagai unsur," papar Boy.
Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan menyambut baik gagasan melibatkan TNI dalam menangani kasus terorisme. Menurut dia ada beberapa kasus terorisme yang memang lebih cocok ditangani TNI.
"Kalau misalnya ada beberapa target, multiple target, kan bisa TNI dilibatkan di situ atau sasarannya bisa misalnya yang sifatnya lebih strategis, pasti kita libatkan TNI. TNI kan punya kemampuan sangat lebih di situ," kata Luhut di Gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (21/7/1016). (erd/erd)
♖ detik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.