Sejarah Bekasi Kombatan lokal yang berjaga di Bekasi, "pintu gerbang" Republik pasca-keluarnya TKR dari Jakarta (IPPHOS)
Dalam catatan sejarah, pertempuran heroik antara kombatan republik beserta rakyat melawan tentara sekutu (Inggris) yang meletupkan peristiwa lautan api, ternyata tak hanya terjadi di Bandung.
Bekasi juga ternyata pernah mengalami yang namanya pemboman dan pembakaran serdadu sekutu, hingga banyak masyarakat awam yang belum tahu mengenai peristiwa Bekasi Lautan Api pada 13 Desember 1945.
Bekasi di masa awal revolusi bak jadi zona panas. Inggris maupun Belanda tak hanya repot dan kewalahan meladeni tentara republik, tapi juga para petarung lokal macam Laskar Hisbullah pimpinan KH Noer Ali.
Sekutu tak ayal kerap kerepotan menghadapi alotnya perlawanan kombatan Bekasi yang tak kalah, jika dibandingkan dengan inferno (neraka) di Surabaya (10 November 1945) dalam hal lamanya periode pertempuran.
“Di Bekasi memang sejarah pertempurannya, skalanya tidak sebesar di Surabaya (Pertempuran 10 November) dan daerah-daerah lain,” ungkap Endra Kusnawan, penggiat sejarah Bekasi dalam soft launching bukunya, ‘Sejarah Bekasi: Sejak Peradaban Buni Ampe Wayah Gini’ di Bekasi Utara belum lama ini.
“Tapi pertempuran di terjadi Bekasi hampir setiap hari. (Letkol) Muffreini Moe’min (pemimpin Komandemen I Jawa Barat Resimen V Cikampek Divisi II Sunan Gunung Jati) pernah bilang, pertempuran di Bekasi itu melelahkan (bagi republik dan sekutu),” tambahnya.
Kadang Bekasi bisa disebut wild wild west atau daerah yang liar. Tak hanya prajurit reguler republik yang pegang senjata, tapi juga laskar-laskar yang acap sukar diatur pemerintah republik. “Bader” sebutannya kalau bahasa warga Bekasi setempat.
“Belum lagi setiap kelompok liar, partai, suku, garong pasti punya senjata. Situasi di Bekasi selalu tegang, tidak seperti di daerah-daerah lain. Rakyat pun serba salah,” sambung Endra lagi.
Bekasi di masa revolusi bisa dikatakan sebagai pintu gerbang republik. Pasalnya semenjak Tentara Keamanan Rakyat (TKR) diperintahkan keluar dari Jakarta atas perintah Perdana Menteri (PM) Sutan Sjahrir pada 19 November 1945, kombatan republik banyak ‘ngepos’ di Bekasi.
Sementara garis demarkasi pun dibuat atas kesepakatan pemerintah republik dengan sekutu, di mana Kali Cakung jadi batasnya. Garis demarkasi ini di tapal batas ini pun sempat beberapa kali berubah akibat sejumlah insiden, hingga garis demarkasinya beralih ke Kali Bekasi dan terakhir di Sasak Jarang (kini Bulak Kapal).
Dalam buku setebal 468 halaman yang diluncurkan pada Sabtu, 16 Juli 2016 lalu, disebutkan pula beberapa pertempuran serta insiden yang membuat marah Laksamana Tadashi Maeda, hingga insiden pembantaian serdadu Inggris pasca-jatuhnya sebuah pesawat sekutu di Cakung.
Maeda yang diketahui “menyediakan” tempat di rumahnya dalam perumusan teks proklamasi, disebutkan marah besar setelah pada 19 Oktober 1945, rangkaian kereta pemulangan tentara Kaigun (Angkatan Laut Jepang), dihadang sekelompok laskar liar.
Padahal rangkaian kereta tersebut turut dikawal beberapa personel TKR. Total, sekitar 90 serdadu Kaigun jadi korban pembantaian. Maeda pun naik pitam dan emosi kala Kapolri saat itu, Raden Said Soekanto Tjokroadiatmodjo dan seorang staf Departemen Luar Negeri menghadap Maeda.
Presiden RI pertama, Soekarno pun sampai harus datang ke Bekasi, demi melantangkan seruan agar peristiwa serupa tak terulang ke depannya. Tapi ternyata insiden serupa terulang dengan korban yang berbeda. Kali ini serdadu Inggris yang ‘apes’ jadi korbannya.
Insiden itu terjadi pasca-Pesawat Dakota sekutu mendarat darurat di Rawa Gatel, Cakung (saat itu masih masuk daerah Bekasi) pada 23 November 1945. Sejumlah serdadu dari pasukan infantri ringan Mahratta yang selamat, menyerah pada laskar setempat.
Mereka dibawa ke daerah Klender tapi kemudian dihabisi di Bekasi. Pihak Inggris menduga, mereka dihabisi laskar pimpinan tokoh lokal H. Darip yang kala itu, menguasai Klender-Bekasi. Perwira tertinggi sekutu di Indonesia, Jenderal Philip Christison pun murka mendengarnya.
Sementara PM Sjahrir, minta penjelasan dari Letkol Muffreini. Presiden Soekarno juga sampai harus kembali berkunjung ke Bekasi, untuk minta penjelasan yang sama pada perwira Resimen V/Cikampek tersebut.
Belum lagi pecah beberapa bentrokan dalam pertempuran Rawa Pasung hingga pertempuran Sasak Panjang, serta insiden pembantaian Tambun Sungai Angke yang diungkapkan dalam buku terbitan Herya Media ini.
“Ini di Bekasi ada apa lagi ini? Bikin orang bule pada marah aja. Oktober kemarin tentara Jepang pada dibunuhin. Saban hari ada aja pertempuran. Sekarang gantian tentara Inggris ditawan, bahkan sampai dibunuh segala,” cetus Soekarno dalam buku tersebut.
Sedianya Endra dalam buku ini juga tidak melulu mengungkap beberapa fakta baru tentang Bekasi di era revolusi fisik (1945-1949), tapi juga turut membahas A sampai Z tentang Bekasi, bahkan sedari zaman neolithikum.
Bahasan lain juga menyinggung “Peradaban Buni” yang ada sebelum Bekasi dikuasai Kerajaan Tarumanagara, di mana Bekasi pada awalnya disebutkan bernama Chandrabhaga.
Lantas era kekuasaan Kerajaan Banten yang turut menguasai Bekasi, hingga masa industri di Bekasi yang sudah ada sejak abad 18 kala masih dikuasai VOC (Kongsi Dagang Belanda), sampai peradaban saat ini di abad ke-21.
“Kenapa pembahasannya dari zaman neolithikum? Karena banyak yang belum tahu sejarah Bekasi dari ujung ke ujung. Lantas juga bagaimana tentang Islam di Bekasi, sampai era industri yang ternyata, sudah ada 12 pabrik di Bekasi pada tahun 1700-an (abad 18),” imbuh Endra.
“Buku ini prosesnya selama empat tahun dan berawal dari pertanyaan sederhana. Apa yang bisa saya berikan ke Bekasi? Buku tentang sejarah Bekasi sebenarnya sudah ada sekitar 4-5 buku,” sambung ayah tiga anak tersebut.
“Tapi enggak ada akses ke buku-buku itu, karena ada di bawah pemerintah daerah (pemda). Setahu saya, warga biasa enggak ada akses. Tapi bagaimana buat orang-orang kayak saya (warga Bekasi) yang pengin tahu sejarah Bekasi? Oleh karena itulah buku ini saya buat,” tandasnya. (raw)
Dalam catatan sejarah, pertempuran heroik antara kombatan republik beserta rakyat melawan tentara sekutu (Inggris) yang meletupkan peristiwa lautan api, ternyata tak hanya terjadi di Bandung.
Bekasi juga ternyata pernah mengalami yang namanya pemboman dan pembakaran serdadu sekutu, hingga banyak masyarakat awam yang belum tahu mengenai peristiwa Bekasi Lautan Api pada 13 Desember 1945.
Bekasi di masa awal revolusi bak jadi zona panas. Inggris maupun Belanda tak hanya repot dan kewalahan meladeni tentara republik, tapi juga para petarung lokal macam Laskar Hisbullah pimpinan KH Noer Ali.
Sekutu tak ayal kerap kerepotan menghadapi alotnya perlawanan kombatan Bekasi yang tak kalah, jika dibandingkan dengan inferno (neraka) di Surabaya (10 November 1945) dalam hal lamanya periode pertempuran.
“Di Bekasi memang sejarah pertempurannya, skalanya tidak sebesar di Surabaya (Pertempuran 10 November) dan daerah-daerah lain,” ungkap Endra Kusnawan, penggiat sejarah Bekasi dalam soft launching bukunya, ‘Sejarah Bekasi: Sejak Peradaban Buni Ampe Wayah Gini’ di Bekasi Utara belum lama ini.
“Tapi pertempuran di terjadi Bekasi hampir setiap hari. (Letkol) Muffreini Moe’min (pemimpin Komandemen I Jawa Barat Resimen V Cikampek Divisi II Sunan Gunung Jati) pernah bilang, pertempuran di Bekasi itu melelahkan (bagi republik dan sekutu),” tambahnya.
Kadang Bekasi bisa disebut wild wild west atau daerah yang liar. Tak hanya prajurit reguler republik yang pegang senjata, tapi juga laskar-laskar yang acap sukar diatur pemerintah republik. “Bader” sebutannya kalau bahasa warga Bekasi setempat.
“Belum lagi setiap kelompok liar, partai, suku, garong pasti punya senjata. Situasi di Bekasi selalu tegang, tidak seperti di daerah-daerah lain. Rakyat pun serba salah,” sambung Endra lagi.
Bekasi di masa revolusi bisa dikatakan sebagai pintu gerbang republik. Pasalnya semenjak Tentara Keamanan Rakyat (TKR) diperintahkan keluar dari Jakarta atas perintah Perdana Menteri (PM) Sutan Sjahrir pada 19 November 1945, kombatan republik banyak ‘ngepos’ di Bekasi.
Sementara garis demarkasi pun dibuat atas kesepakatan pemerintah republik dengan sekutu, di mana Kali Cakung jadi batasnya. Garis demarkasi ini di tapal batas ini pun sempat beberapa kali berubah akibat sejumlah insiden, hingga garis demarkasinya beralih ke Kali Bekasi dan terakhir di Sasak Jarang (kini Bulak Kapal).
Dalam buku setebal 468 halaman yang diluncurkan pada Sabtu, 16 Juli 2016 lalu, disebutkan pula beberapa pertempuran serta insiden yang membuat marah Laksamana Tadashi Maeda, hingga insiden pembantaian serdadu Inggris pasca-jatuhnya sebuah pesawat sekutu di Cakung.
Maeda yang diketahui “menyediakan” tempat di rumahnya dalam perumusan teks proklamasi, disebutkan marah besar setelah pada 19 Oktober 1945, rangkaian kereta pemulangan tentara Kaigun (Angkatan Laut Jepang), dihadang sekelompok laskar liar.
Padahal rangkaian kereta tersebut turut dikawal beberapa personel TKR. Total, sekitar 90 serdadu Kaigun jadi korban pembantaian. Maeda pun naik pitam dan emosi kala Kapolri saat itu, Raden Said Soekanto Tjokroadiatmodjo dan seorang staf Departemen Luar Negeri menghadap Maeda.
Presiden RI pertama, Soekarno pun sampai harus datang ke Bekasi, demi melantangkan seruan agar peristiwa serupa tak terulang ke depannya. Tapi ternyata insiden serupa terulang dengan korban yang berbeda. Kali ini serdadu Inggris yang ‘apes’ jadi korbannya.
Insiden itu terjadi pasca-Pesawat Dakota sekutu mendarat darurat di Rawa Gatel, Cakung (saat itu masih masuk daerah Bekasi) pada 23 November 1945. Sejumlah serdadu dari pasukan infantri ringan Mahratta yang selamat, menyerah pada laskar setempat.
Mereka dibawa ke daerah Klender tapi kemudian dihabisi di Bekasi. Pihak Inggris menduga, mereka dihabisi laskar pimpinan tokoh lokal H. Darip yang kala itu, menguasai Klender-Bekasi. Perwira tertinggi sekutu di Indonesia, Jenderal Philip Christison pun murka mendengarnya.
Sementara PM Sjahrir, minta penjelasan dari Letkol Muffreini. Presiden Soekarno juga sampai harus kembali berkunjung ke Bekasi, untuk minta penjelasan yang sama pada perwira Resimen V/Cikampek tersebut.
Belum lagi pecah beberapa bentrokan dalam pertempuran Rawa Pasung hingga pertempuran Sasak Panjang, serta insiden pembantaian Tambun Sungai Angke yang diungkapkan dalam buku terbitan Herya Media ini.
“Ini di Bekasi ada apa lagi ini? Bikin orang bule pada marah aja. Oktober kemarin tentara Jepang pada dibunuhin. Saban hari ada aja pertempuran. Sekarang gantian tentara Inggris ditawan, bahkan sampai dibunuh segala,” cetus Soekarno dalam buku tersebut.
Sedianya Endra dalam buku ini juga tidak melulu mengungkap beberapa fakta baru tentang Bekasi di era revolusi fisik (1945-1949), tapi juga turut membahas A sampai Z tentang Bekasi, bahkan sedari zaman neolithikum.
Bahasan lain juga menyinggung “Peradaban Buni” yang ada sebelum Bekasi dikuasai Kerajaan Tarumanagara, di mana Bekasi pada awalnya disebutkan bernama Chandrabhaga.
Lantas era kekuasaan Kerajaan Banten yang turut menguasai Bekasi, hingga masa industri di Bekasi yang sudah ada sejak abad 18 kala masih dikuasai VOC (Kongsi Dagang Belanda), sampai peradaban saat ini di abad ke-21.
“Kenapa pembahasannya dari zaman neolithikum? Karena banyak yang belum tahu sejarah Bekasi dari ujung ke ujung. Lantas juga bagaimana tentang Islam di Bekasi, sampai era industri yang ternyata, sudah ada 12 pabrik di Bekasi pada tahun 1700-an (abad 18),” imbuh Endra.
“Buku ini prosesnya selama empat tahun dan berawal dari pertanyaan sederhana. Apa yang bisa saya berikan ke Bekasi? Buku tentang sejarah Bekasi sebenarnya sudah ada sekitar 4-5 buku,” sambung ayah tiga anak tersebut.
“Tapi enggak ada akses ke buku-buku itu, karena ada di bawah pemerintah daerah (pemda). Setahu saya, warga biasa enggak ada akses. Tapi bagaimana buat orang-orang kayak saya (warga Bekasi) yang pengin tahu sejarah Bekasi? Oleh karena itulah buku ini saya buat,” tandasnya. (raw)
♖ Okezone
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.