Sejarawan Aiko Kurasawa ungkap peranan Jepang dalam pusaran peristiwa G30S 1965. Membuka kotak pandora.
OLEH: HENDRI F. ISNAENI
OLEH: HENDRI F. ISNAENI
Presiden Sukarno dan Perdana Menteri Jepang Eisaku Sato. |
PADA 30 September 1965, Duta Besar Shizuo Saito berada di Cilacap seusai menghadiri peresmian sebuah proyek perusahaan Jepang. Saito diangkat menjadi duta besar pada 1964. Pilihan ini tepat karena dia pernah memiliki kedudukan penting dalam Gunseikanbu Somubu (Departemen Urusan Umum) pada masa pendudukan Jepang, dan sejak itu dekat dengan Sukarno. Dia bisa bertemu Sukarno tanpa protokol.
Tanpa mengetahui apa yang terjadi di Jakarta, rombongan duta besar berangkat menuju Bandung. Setelah check in di Hotel Savoy Homann, seorang warga negara Jepang yang tinggal di Bandung memberitahu Saito bahwa telah terjadi kudeta di Jakarta. Saito segera berangkat ke Jakarta. Tengah malam dia sampai di Jakarta dan baru mendapat informasi lengkap dari stafnya.
Menurut Aiko Kurasawa, profesor emeritus Universitas Keio, Jepang, pada waktu itu, sudah lewat 24 jam setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S). Cukup mengherankan seorang duta besar tidak mengetahui kejadian yang begitu penting dalam waktu cukup lama. “Tetapi melihat perkembangan yang begitu cepat dan sebelumnya informasi yang beredar simpang siur, maka dapat dimaklumi tindakan sang duta besar,” kata Aiko dalam seminar di Pusat Penelitian Politik LIPI, Jakarta (17/9).
Selama peristiwa itu, walaupun Kedutaan Jepang tanpa duta besar, mereka tetap mengirim telegram ke Departemen Luar Negeri di Tokyo. Dalam telegram 1 Oktober 1965pukul 12.00 siang tanggal disebut bahwa Letnan Kolonel Untung, komandan batalion Tjakrabirawa, mengambil tindakan untuk mencegah rencana kudeta oleh Angkatan Darat. Tetapi, dalam telegram yang dikirim pada jam 20.50, disebutkan bahwa peristiwa ini sebenarnya direncanakan Partai Komunis Indonesia dan penjelasan pihak Dewan Revolusi bahwa mereka mengambil tindakan untuk mencegah kudeta oleh jenderal-jenderal itu hanya dalih belaka. Laporan ini berdasarkan informasi “sumber khusus” kedutaan. Laporan ini juga menambahkan analisis bahwa “tidak mungkin presiden bisa merebut kembali kekuasaan sebelumnya” dan “ada kemungkinan terjadi civil war.”
Sementara itu, Perdana Menteri Jepang Eisaku Sato dalam catatan hariannya tanggal 2 Oktober 1965 menulis: “Sejak kemarin tidak ada lagi informasi tentang kudeta, dan kita tidak bisa menangkap situasinya. Tentu ini adalah clash antara kiri dan kanan, tetapi tidak begitu jelas pihak yang mana yang menyerang dulu.”
Pada masa awal peristiwa G30S, kebanyakan politisi dalam pemerintahan Jepang bersimpati kepada Sukarno dan berharap dia dapat mengendalikan keadaan. Perdana Menteri Sato mengirim pesan kepada Sukarno mengucupkan “rasa syukur atas keselamatan Presiden”, mengikuti pesan yang telah disampaikan sebelumnya oleh Tiongkok, Pakistan, dan Filipina.
Pesan itu langsung disampaikan oleh Duta Besar Saito pada 12 Oktober 1965. Kalimat pesannya: “Di Jepang ada pribahasa ‘sesudah hujan tanah menjadi lebih keras lagi.’ Seperti itu kami mengharapkan agar Bapak Presiden mengatasi kesulitan yang dihadapi sekarang dan basis negara RI akan menjadi lebih kuat lagi.”
“Sementara negara-negara barat tidak ada yang menyampaikan pernyataan demikian,” ujar Aiko.
Pada saat itu, pemerintah Jepang merasa perlu membantu ekonomi Indonesia dan memikirkan kemungkinan memberi bantuan pangan dan sandang senilai 2 miliar yen. Tetapi, tidak jelas bantuan tersebut ditujukan kepada Sukarno atau kepada Angkatan Darat. Bantuan sebesar itu pasti memperkuat salah satu pihak yang terlibat dalam perimbangan kekuatan. Karena sandang dan pangan kebutuhan rakyat dan tidak bersifat politik atau militer, pemerintah Jepang agak naïf dan tidak memikirkan hal itu. “Hal itu sangat berbeda dengan Amerika Serikat yang selalu berhati-hati agar bantuan mereka tidak jatuh ke tangan Sukarno,” kata Aiko.
Duta Besar Saito bertemu Sukarno pada 11 November dan terkejut mendengar ucapan Sukarno yang menghina CIA dengan mengatakan CIA membiayai propaganda pro-Amerika dengan memakai dana Rp 150 juta. “Saito kecewa sikap Sukarno yang tidak mau memahami kenyataan dan memutuskan dia tidak bisa membela Sukarno lagi,” kata Aiko.
Saito menilai Sukarno terlalu dini membuat kesimpulan kepada Amerika Serikat. Cara pandang Sukarno terhadap Amerika Serikat secara tak langsung berpengaruh kepada sikap politik Jepang terhadap Sukarno. Terlebih karena Jepang kongsi Amerika Serikat.
Sejalan dengan keputusan Saito, pemerintah Jepang juga mulai mengambil sikap demikian. Padahal, Perdana Menteri Sato pernah menyatakan kepada Menteri Listrik Setiadi Reksoprodjo ketika bertugas ke Jepang, tentang kemungkinan Jepang memberikan suaka kepada Sukarno.
Menurut Saito, Adam Malik juga pernah meminta kepadanya agar jangan memberi bantuan sebelum ada perubahan pemerintahan. Karena itu, kemungkinan besar Jepang tidak memberi bantuan apa-apa sebelum Maret 1966.
Pada awal Desember 1965, Adam Malik sendiri menerima dana sebesar Rp50 juta dari Kedutaan Besar Amerika Serikat, melalui Shigetada Nishijima. Pada masa pendudukan Jepang, Nishijima menjadi staf di kantor Angkatan Laut Jepang di bawah pimpinan Laksamana Maeda dan mempunyai hubungan erat dengan para pemuda termasuk Adam Malik. Adam Malik menyerahkan dana tersebut kepada Kesatuan Aksi Pengganyangan Gerakan 30 September (KAP-Gestapu) yang didirikannya bersama Soeharto dan Hamengku Buwono IX. Cerita ini baru dibongkar oleh McAvoy, mantan diplomat Kedutaan Besar Amerika Serikat yang menyerahkan dana tersebut kepada Nishijima. Nishijima sendiri belum pernah mengakuinya, namun dugaan tersebut telah beredar di kalangan komunitas Jepang di Jakarta. KAP-Gestapu diketuai oleh Subchan ZE dan Harry Tjan Silalahi.
Selain dana dari Nishijima, menurut pengakuan Dewi Sukarno kepada Aiko Kurasawa, juga ada uang yang diberikan kepada Sofyan Wanandi (Liem Bian Koen) atas keputusan pribadi Perdana Menteri Sato. Dana ini untuk mendukung Kesatuan Aksi Mahasiswa (KAMI). KAP-Gestapu dan KAMI adalah gerakan anti-komunis yang menuntut pembubaran PKI beserta ormas-ormasnya, perombakan kabinet Dwikora, dan turunkan harga sandang-pangan.
Pada 23 Desember 1965, Duta Besar Saito bertemu dengan Sukarno dan memberikan kredit sebesar $6 juta untuk membeli kain untuk hari raya Idulfitri. Nishijima menyampaikan keberatan kepada duta besar. “Dan Duta Besar mengakui bahwa dia telah merelakan ini karena terbawa perasaan kasihan (simpati) kepada Sukarno yang terkait dengan hubungan pribadi,” kata Aiko.
Pemerintah Jepang, yang semula bersimpati kepada Sukarno, kemudian realistis dan mengharapkan adanya rezim baru yang lebih memihak barat dan berorientasi kepada pembangunan ekonomi dengan menerima modal asing. Begitu kebijakan dasar pembangunan di Indonesia berubah, pemerintah Jepang segera mengambil prakarsa membantu Soeharto membangun Orde Baru dan akhirnya menjadi donatur terbesar rezim Soeharto. Di belakang itu, terdapat keinginan kalangan bisnis Jepang yang dari dulu sudah berminat menanamkan modal di Indonesia. Sejak itu, politik luar negeri Jepang terhadap Indonesia lebih cenderung mengutamakan dagang ketimbang politik.
● Historia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.