Bronco Diserbu Cuaca Ganas Marsda (Pur) M Koesbeni, alumni AAU 69 'Bogowonto'. (Beny Adrian)
Pada tahun 1977, saat masih berlangsung Operasi Seroja di Timor Timur (sekarang Timor Leste), empat OV-10 Bronco TNI Angkatan Udara (AU) yang mendukung Operasi itu ditugaskan untuk mendukung operasi lainnya di Irian Barat. Keempat Bronco dari Skadron Udara 3 tersebut mengemban tugas untuk melaksanakan Operasi Tumpas di Irian Barat guna melumpuhkan gerakan separatis Organisasi Papua Merdeka (OPM). Namun diakui oleh mantan penerbang Bronco TNI AU, Marsekal Muda (Pur) M Koesbeni, cuaca di langit Irian menjadi tantangan tersendiri untuk menjalankan misi menumpas OPM.
Selain cuaca, terdapat tantangan lain yang harus dihadapi oleh para penunggang Bronco dalam misi. Para pilot Bronco harus menempuh jarak yang lumayan jauh untuk sampai ke sektor pelaksanaan operasi di Bokondini, Waris, Wamena serta dua daerah lainnya. Saat menjalankan Operasi Tumpas di Irian Barat, Biak dijadikan base untuk sang kuda besi. Karena pada saat itu, di Jayapura pun kondisi tidak kondusif, sehingga kurang memungkinkan untuk dijadikan base di sana bagi keempat Bronco itu.
“Jadi kita betul-betul alert dengan cuaca, kita (lakukan) misi itu betul-betul lihat cuaca, jam berapa sampai jam berapa baiknya, terus harus ada alternate atau yang bisa untuk mendarat bagi yang tidak bisa kembali ke Biak. Yang penting itu ada alternate, jadi kalau misalnya kita di daerah tengah Irian itu, mendarat dulu di Wamena, isi bahan bakar, baru dia kembali. Tapi enggak pernah nginap disana (Wamena), rawan,” terang sang mantan Panglima Komando Pertahanan Udara Nasional (Pangkohanudnas) kepada Angkasa, Kamis (25/8).
Koesbeni yang alumni AAU 69 ini mengatakan, untuk mengatasi permasalahan cuaca di langit Irian yang cepat sekali berubah, mudah saja caranya. Patokannya adalah jika mereka tidak dapat melihat tanah, mereka tidak akan melakukan penerbangan. Karena nilai minus dari OV-10 Bronco adalah belum dilengkapi oksigen, sehingga tidak memungkinkan untuk dapat naik lebih dari ketinggian 15.000 kaki. Sementara langit bersih berada di ketinggian lebih dari 30.000 kaki.
“Karena OV (OV-10F Bronco) kan waktu itu belum dilengkapi oksigen, dia hanya terbatas 10.000 kaki, ya maksimum 15.000 kaki lah. Kalau sudah pakai oksigen bisa di atas 15.000 kaki, jadi bisa naik kalau cuacanya jelek, jadi kita harus kenal betul medannya. Jadi misi kebanyakkan pagi, karena perubahannya (cuaca) cepat sekali,” jelas Koesbeni.
Sementara untuk alternatif pendaratan, Koesbeni mengatakan pada saat itu Merauke merupakan tempat yang aman, sehingga pesawat dapat bermalam di sana. Untuk mencapai Merauke, mereka harus melewati Oksibil baru dapat mendarat di sana.
“Dari Biak ke Merauke, dari Merauke kembali ke Biak, nah itu kita harus hati-hati masalah cuaca, karena kita juga pernah terjebak cuaca buruk di situ. Naik tidak bisa karena oksigen tidak ada, tidak bisa untuk instrument pesawatnya,” tutur mantan Asisten Operasi KSAU ini.
Ia menceritakan, Bad weather (cuaca buruk) yang ia dan rekannya hadapi saat itu berupa awan cumulusnimbus. Mereka harus terbang nyimpang untuk menghindarinya, dan mendarat di lokasi memungkinkan terdekat sambil menunggu cuaca normal kembali.
“Kita akhirnya break off (empat pesawat Bronco), rendezvous di pantai. Jadi mengarah ke arah barat, kita turun sampai melihat laut, kalau melihat pantai pasti aman kita. Tinggal ke arah utara hingga ketemu Nabire, nah kita mendarat di Nabire,” ungkap Koesbeni.
Sesampainya keempat Bronco di Nabire, hari sudah sore dan telah masuk waktu maghrib. Walau telah berhasil menghindari ganasnya cuaca dan mendarat, keempat Kuda Liar itu tidak bermalam di Nabire karena harus kembali ke base di Biak. Namun yang menjadi kendala adalah persedian bahan bakar yang tidak cukup untuk kembali ke Biak.
“Untung Merpati (penerbangan perintis yang digunakan saat itu) punya cadangan minyak di situ, kita bisa pinjam dulu. Yang penting diisi cukup untuk ke Biak, karena terbang malam. Di Biak juga cuaca buruk, hujan, jadi kita nunggu dulu, kita holding, baru setelah itu kita turun,” tandasnya.
Selama mengabdi di TNI AU sejak tahun 1976, pesawat antigerilya OV-10F Bronco yang dibeli dari Amerika Serikat, telah menjadi andalan bagi pasukan darat TNI dalam melaksanakan operasi. Kisah-kisah seperti yang dialami Marsda (Pur) Koesbeni ini, hanyalah segelintir dari kenangan yang terus terpatri di benak para penerbang Bronco.
Author: Fery Setiawan
Pada tahun 1977, saat masih berlangsung Operasi Seroja di Timor Timur (sekarang Timor Leste), empat OV-10 Bronco TNI Angkatan Udara (AU) yang mendukung Operasi itu ditugaskan untuk mendukung operasi lainnya di Irian Barat. Keempat Bronco dari Skadron Udara 3 tersebut mengemban tugas untuk melaksanakan Operasi Tumpas di Irian Barat guna melumpuhkan gerakan separatis Organisasi Papua Merdeka (OPM). Namun diakui oleh mantan penerbang Bronco TNI AU, Marsekal Muda (Pur) M Koesbeni, cuaca di langit Irian menjadi tantangan tersendiri untuk menjalankan misi menumpas OPM.
Selain cuaca, terdapat tantangan lain yang harus dihadapi oleh para penunggang Bronco dalam misi. Para pilot Bronco harus menempuh jarak yang lumayan jauh untuk sampai ke sektor pelaksanaan operasi di Bokondini, Waris, Wamena serta dua daerah lainnya. Saat menjalankan Operasi Tumpas di Irian Barat, Biak dijadikan base untuk sang kuda besi. Karena pada saat itu, di Jayapura pun kondisi tidak kondusif, sehingga kurang memungkinkan untuk dijadikan base di sana bagi keempat Bronco itu.
“Jadi kita betul-betul alert dengan cuaca, kita (lakukan) misi itu betul-betul lihat cuaca, jam berapa sampai jam berapa baiknya, terus harus ada alternate atau yang bisa untuk mendarat bagi yang tidak bisa kembali ke Biak. Yang penting itu ada alternate, jadi kalau misalnya kita di daerah tengah Irian itu, mendarat dulu di Wamena, isi bahan bakar, baru dia kembali. Tapi enggak pernah nginap disana (Wamena), rawan,” terang sang mantan Panglima Komando Pertahanan Udara Nasional (Pangkohanudnas) kepada Angkasa, Kamis (25/8).
Koesbeni yang alumni AAU 69 ini mengatakan, untuk mengatasi permasalahan cuaca di langit Irian yang cepat sekali berubah, mudah saja caranya. Patokannya adalah jika mereka tidak dapat melihat tanah, mereka tidak akan melakukan penerbangan. Karena nilai minus dari OV-10 Bronco adalah belum dilengkapi oksigen, sehingga tidak memungkinkan untuk dapat naik lebih dari ketinggian 15.000 kaki. Sementara langit bersih berada di ketinggian lebih dari 30.000 kaki.
“Karena OV (OV-10F Bronco) kan waktu itu belum dilengkapi oksigen, dia hanya terbatas 10.000 kaki, ya maksimum 15.000 kaki lah. Kalau sudah pakai oksigen bisa di atas 15.000 kaki, jadi bisa naik kalau cuacanya jelek, jadi kita harus kenal betul medannya. Jadi misi kebanyakkan pagi, karena perubahannya (cuaca) cepat sekali,” jelas Koesbeni.
Sementara untuk alternatif pendaratan, Koesbeni mengatakan pada saat itu Merauke merupakan tempat yang aman, sehingga pesawat dapat bermalam di sana. Untuk mencapai Merauke, mereka harus melewati Oksibil baru dapat mendarat di sana.
“Dari Biak ke Merauke, dari Merauke kembali ke Biak, nah itu kita harus hati-hati masalah cuaca, karena kita juga pernah terjebak cuaca buruk di situ. Naik tidak bisa karena oksigen tidak ada, tidak bisa untuk instrument pesawatnya,” tutur mantan Asisten Operasi KSAU ini.
Ia menceritakan, Bad weather (cuaca buruk) yang ia dan rekannya hadapi saat itu berupa awan cumulusnimbus. Mereka harus terbang nyimpang untuk menghindarinya, dan mendarat di lokasi memungkinkan terdekat sambil menunggu cuaca normal kembali.
“Kita akhirnya break off (empat pesawat Bronco), rendezvous di pantai. Jadi mengarah ke arah barat, kita turun sampai melihat laut, kalau melihat pantai pasti aman kita. Tinggal ke arah utara hingga ketemu Nabire, nah kita mendarat di Nabire,” ungkap Koesbeni.
Sesampainya keempat Bronco di Nabire, hari sudah sore dan telah masuk waktu maghrib. Walau telah berhasil menghindari ganasnya cuaca dan mendarat, keempat Kuda Liar itu tidak bermalam di Nabire karena harus kembali ke base di Biak. Namun yang menjadi kendala adalah persedian bahan bakar yang tidak cukup untuk kembali ke Biak.
“Untung Merpati (penerbangan perintis yang digunakan saat itu) punya cadangan minyak di situ, kita bisa pinjam dulu. Yang penting diisi cukup untuk ke Biak, karena terbang malam. Di Biak juga cuaca buruk, hujan, jadi kita nunggu dulu, kita holding, baru setelah itu kita turun,” tandasnya.
Selama mengabdi di TNI AU sejak tahun 1976, pesawat antigerilya OV-10F Bronco yang dibeli dari Amerika Serikat, telah menjadi andalan bagi pasukan darat TNI dalam melaksanakan operasi. Kisah-kisah seperti yang dialami Marsda (Pur) Koesbeni ini, hanyalah segelintir dari kenangan yang terus terpatri di benak para penerbang Bronco.
Author: Fery Setiawan
♖ Angkasa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.