Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menjelaskan minimnya data identitas diri bagi pemilik akun adalah hal yang membuat aplikasi Telegram diblokir di Indonesia.
"Kalau menurut pantauan yang kami lihat, bahwa Telegram ini tidak harus menyertakan identitas yang lengkap dalam membuat akun. Beda dengan Facebook, aplikasi tersebut memasukkan data nomor, data diri, dan harus dikonfirmasi benar. Kalau di Telegram tidak," kata Deputi Pencegahan, Perlindungan, dan Deradikalisasi BNPT, Abdul Rahman Kadir di Jakarta, Selasa (18/7/2017).
Menurutnya, kelompok radikal baru menyadari hal tersebut, sehingga celah dari sistem keamanan Telegram dimanfaatkan untuk berkomunikasi antaranggota lainnya.
BNPT menemukan adanya pembicaraan yang memuat cara pembuatan bom, bahkan bahan-bahan bom tersebut dijelaskan detail dengan bahan yang biasa tersedia di dapur rumah. Ia menjelaskan tidak menunggu upaya Telegram membuka perwakilan di Indonesia karena dirasa terlalu lama hal tersebut jika dibiarkan.
"Bagus kalau Telegram ingin membuka perwakilan di Indonesia dan bekerja sama dengan pemerintah melawan teroris, tapi ya terlalu lama kalau ditunggu," sebutnya.
Sementara itu, Direktur Jenderal Aplikasi dan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), Samuel A Pangerapan mengatakan, normalisasi aplikasi Telegram berbasis web menunggu respons perusahaan tersebut dalam memenuhi ketentuan yang ada.
Ia mengatakan Telegram telah disalahgunakan oleh para teroris untuk melakukan komunikasi dan koordinasi, selain itu juga menyebarkan materi-materi terkait terorisme.
Kemenkominfo sendiri telah mengirim surat elektronik enam kali tanpa jawaban, sehingga pada 14 Juli 2017 diputuskan untuk melakukan pemblokiran. Kini, menurut dia, telah terjadi perkembangan. Pihak Telegram juga telah memulai komunikasi guna menyelesaikan persoalan ini. (put)
"Kalau menurut pantauan yang kami lihat, bahwa Telegram ini tidak harus menyertakan identitas yang lengkap dalam membuat akun. Beda dengan Facebook, aplikasi tersebut memasukkan data nomor, data diri, dan harus dikonfirmasi benar. Kalau di Telegram tidak," kata Deputi Pencegahan, Perlindungan, dan Deradikalisasi BNPT, Abdul Rahman Kadir di Jakarta, Selasa (18/7/2017).
Menurutnya, kelompok radikal baru menyadari hal tersebut, sehingga celah dari sistem keamanan Telegram dimanfaatkan untuk berkomunikasi antaranggota lainnya.
BNPT menemukan adanya pembicaraan yang memuat cara pembuatan bom, bahkan bahan-bahan bom tersebut dijelaskan detail dengan bahan yang biasa tersedia di dapur rumah. Ia menjelaskan tidak menunggu upaya Telegram membuka perwakilan di Indonesia karena dirasa terlalu lama hal tersebut jika dibiarkan.
"Bagus kalau Telegram ingin membuka perwakilan di Indonesia dan bekerja sama dengan pemerintah melawan teroris, tapi ya terlalu lama kalau ditunggu," sebutnya.
Sementara itu, Direktur Jenderal Aplikasi dan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), Samuel A Pangerapan mengatakan, normalisasi aplikasi Telegram berbasis web menunggu respons perusahaan tersebut dalam memenuhi ketentuan yang ada.
Ia mengatakan Telegram telah disalahgunakan oleh para teroris untuk melakukan komunikasi dan koordinasi, selain itu juga menyebarkan materi-materi terkait terorisme.
Kemenkominfo sendiri telah mengirim surat elektronik enam kali tanpa jawaban, sehingga pada 14 Juli 2017 diputuskan untuk melakukan pemblokiran. Kini, menurut dia, telah terjadi perkembangan. Pihak Telegram juga telah memulai komunikasi guna menyelesaikan persoalan ini. (put)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.