Tokoh OPM Benny Wenda Bukan Lagi Warga Indonesia
Benny adalah warga asing yang coba ganggu hubungan RI-Inggris.
Pemimpin kelompok Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Inggris, Benny Wenda, tidak memegang paspor Indonesia bahkan diketahui bukan lagi menjadi bagian dari Warga Negara Indonesia (WNI). Sejak tahun 2003, pria kelahiran Lembah Baliem tahun 1975 silam sudah sejak lama diketahui menetap di Inggris, khususnya setelah berhasil melarikan diri dari penjara.
Hal ini disampaikan oleh Menteri Luar Negeri, Marty Natelegawa, usai menerima kunjungan Menlu Mozambik, Oldemiro Baloi, pada Senin 6 Mei 2013 di Gedung Pancasila, Kemlu. Menurut Marty, aksi Benny yang membuka kantor perwakilan OPM di kota Oxford, Inggris, menjadi bukti nyata bahwa pria tersebut merupakan ancaman yang dapat menganggu hubungan bilateral antara Inggris dengan Indonesia.
"Berarti bila Benny sudah menjadi warga negara Inggris tandanya ada orang asing yang coba menganggu hubungan bilateral kedua negara dengan melalui aksi ini," ujar Menlu Marty.
Dalam kesempatan itu Marty kembali menegaskan bahwa Indonesia tidak bisa menerima dan menentang adanya pembukaan kantor perwakilan OPM di Oxford. "Pembukaan kantor itu jelas bertolak belakang dengan prinsip persahabatan antar bangsa yang selama dipegang oleh Indonesia dan Inggris," kata Marty.
Dia pun menyatakan apa yang dilakukan oleh Benny di Oxford tidak lebih dari upaya kelompok tertentu yang ingin mencari perhatian publik. Marty menginginkan wacana mengenai pembahasan masalah pembangunan di Papua dan Papua Barat tidak didominasi oleh publik di kota Oxford.
"Oleh sebab itu saya tidak akan memberikan forum atau platform yang lebih besar dan lebih tinggi dari yang seharusnya kepada kelompok separatis ini," kata Marty di hadapan para pewarta berita.
Seperti diberitakan sebelumnya, pada 28 April lalu kelompok OPM di Inggris yang dipimpin oleh Benny Wenda, membuka kantor perwakilan di kota Oxford. Dengan titel Koordinator Free West Papua Campaign, Benny turut mengundang Walikota Oxford, Mohammad Niaz Abbasi, mantan Walikota Oxford, Elise Benjamin dan satu anggota parlemen Inggris, Andrew Smith untuk hadir.
Hal ini membuat Indonesia kebakaran jenggot dan memprotes keras. Protes ini disampaikan oleh Kemlu RI kepada Duta Besar Inggris untuk Indonesia, Mark Canning.(eh)
Gubernur Papua Tak Ambil Pusing
"Itu tidak ada urusannya dengan saya," kata Lukas Enembe.
Gubernur Papua, Lukas E |
Namun Gubernur Papua Lukas Enembe terlihat tidak ambil pusing atas ulah OPM itu. Menurutnya, pembukaan kantor OPM di Oxford bukan kewernangan dia sebagai gubernur. "Soal kantor OPM di Oxford itu bukan kewenangan saya, itu kewenangan menteri luar negeri," kata Lukas di Gedung DPR, Senin 6 Mei 2013.
Ketika ditanya apakah akan memanggil pemimpin OPM Benny Wenda, Enembe menjawab, "Itu tidak ada urusannya dengan saya."
Menurut dia, tugasnya sebagai gubernur adalah untuk membangun dan menyejahterakan rakyat Papua. "Saya ditugaskan oleh negara untuk membangun dan mensejahterakan rakyat Papua. Kalau rakyat Papua sudah sejahtera saya yakin tidak akan ada lagi itu (gerakan separatisme)," ujar dia.
Untuk itu, kata Lukas, dia meminta kepada pemerintah pusat agar pemerintah Papua diberikan kewenangan yang lebih luas untuk mengatur wilayahnya.
"Kewenangan yang lebih luas untuk mengatur diri. Undang-Undang Otsus (otonomi khusus) sebenarnya sudah bagus tapi implementasinya tidak jalan. Kita berharap bobot harus diberikan kepada pemerintah provinsi sehingga dengan kewenangan yang lebih luas itu bisa mengatur rakyat, menyejahterakan rakyat di Papua," kata dia.
DPR: Diplomasi Indonesia dengan Inggris dan Jerman, Lemah
Wakil Ketua Komisi I DPR Tubagus Hasanuddin menilai, pembukaan resmi kantor Perwakilan Free West Papua (Pembebasan Papua Barat), di Kota Oxford, Inggris, akibat lemahnya diplomasi pemerintah Indonesia.
"Lancarnya pembukaan pos perwakilan OPM (Organisasi Papua Merdeka) di Inggris, dan akan menyusul di Jerman, menunjukkan bahwa kemampuan diplomatik Indonesia dalam membentuk opini di luar negeri sangat rendah dan keteteran," nilai Hasanuddin, di Jakarta, Senin (6/5).
Padahal, menurutnya, Indonesia sudah menempatkan banyak diplomat, atase, dan pejabat teras lainnya di Inggris dan Jerman. "Coba bandingkan, di dua negara itu, kita menempatkan puluhan diplomat, atase dan pejabat teras lainnya termasuk atase pertahanan dan perwakilan dari BIN," tandasnya.
Tapi ternyata, ujar politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ini, tak mudah meyakinkan publik Inggris dan Jerman. Puluhan perwakilan pemerintah Indonesia itu, malah kalah oleh seorang Beny Wenda yang bergerak sendirian tanpa staf dan tanpa dukungan logistik yang memadai.
Menurutnya, Benny juga hanya membutuhkan tiga tahun, sejak tahun 2010 untuk dapat mulai menggalang massa, sehingga sekarang sukses membentuk opini dan diterima publik Inggris dan Jerman.
Guna mencegah hal tersebut terulang kembali, maka pemerintah Indonesia harus melakukan sejumlah langkah penting. "Ke depan, pemerintah harus lebih fokus lagi menyelelesaikan masalah Papua dari 3 sisi secara komprehensif," tandas Hasanuddin.
Pertama, penyelesaian masalah politik dan ekonomi di dalam negeri sendiri, khususnya publik internasional. Kedua, menyelesaikan masalah pasukan bersenjata OPM, dan ketiga, menghadapi opini politik dan opini publik di luar negeri.(IS)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.