Semakin tipisnya
rasa solidaritas dan toleransi antar umat, membuat bangsa Indonesia
terpuruk dan muncul sikap anarkis di mana-mana. Sehingga sangat pas
kalau bangsa ini mulai belajar jiwa korsa.Jiwa korsa adalah jiwa satu
rasa dan satu asa dalam mencapai satu tujuan. Rasa peduli dan
sepenanggungan terhadap sesama didalam suatu organisasi atau kelompok
yang mempunyai satu tujuan. Juga dapat diartikan sebagai rasa setia
kawan, rasa persaudaraan yang sangat erat. Menurut Mayjen (Purn) TNI TB
Hasanuddin, Wakil Ketua Komisi I DPR RI Bidang Perta-hanan, Intelijen,
Luar Negeri, dan Komunikasi, jiwa korsa dalam peristiwa anarkis
ditempatkan dalam posisi yang salah. Harusnya, digunakan dalam
pertempuran untuk menyatukan pasukan sehingga terorganisir dan tidak
bergerak sen-diri-sendiri.
“Ini teori peperangan yang dibuat oleh Napoleon Bonaparte, yaitu Esprit de corps. Pasukan satu sama lain harus membantu, melindungi, berbagi, mengingatkan, menjaga. Dengan kata lain senasib sepenanggungan untuk bersama dalam satu unit memenangkan pertempuran,” jelasnya.
Hasanuddin mengatakan bahwa jiwa korsa adalah semangat positif yang sebenarnya dimiliki oleh setiap orang.
“Wartawan juga punya jiwa korsa, dimana ada jiwa satu korps dan sa-ling peduli, misalnya yang satu sakit, yang lain menjenguk,” jelasnya.
Hanya saja, penempatannya harus sesuai dengan keadaan. “Misalnya wartawan ada yang dipukul, lalu temannya yang lain balas memukul atau bahkan menusuk dan menghilangkan jiwa, ini salah,” kata dia.
Soal kasus penyerbuan oknum anggota Kopassus ke lapas Cebongan, Hasanuddin mengatakan bahwa ini adalah pelanggaran hukum.
“Saya tidak yakin ini hanya karena jiwa korsa semata. Mungkin ada hal lain, termasuk soal disiplin. Kita sepakat, preman harus diberantas, tapi jangan melanggar hukum. Jangan menyalahkan jiwa korsa,” ujarnya.
Ketua Tim Investigasi TNI AD Brigjen (CPM) Unggul K Yu-dhoyono menjelaskan, aksi yang dilakukan 11 personel Grup II Kopassus Kandang Menjangan, Kartasura dilatar belakangi jiwa korsa. Solidaritas mereka terbakar begitu mengetahui rekannya, Serka Heru Santosa, tewas mengenaskan akibat dikeroyok dan dibantai empat preman di Hugo’s Cafe, pada 19 Maret 2013 lalu. Sebagian mereka baru turun latihan dari Gunung Lawu dan masih menenteng senjata.
Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal (TNI) Pramono Edhie Wibowo menilai tidak ada yang salah dengan jiwa korsa yang dipegang oleh para prajurit TNI. Jiwa yang harus dimiliki untuk menghadapi perang.
“Itu rohnya. Kalau dia tidak punya jiwa korsa, suatu saat kawannya terluka di dalam pertempuran, mau ditinggal atau dibawa? Ditinggal, nanti dibunuh. Padahal dia masih terluka tapi tidak bisa berjalan. Kalau tidak punya jiwa korsa, dia tinggal temannya di situ,” kata Pramono di Markas Besar TNI AD di Jakarta, Selasa (9/4/2013). Pramono mengakui bahwa jiwa korsa telah salah penerapannya jika melihat peristiwa penyerangan Lapas Kelas II B Cebongan, Sleman, DI Yogyakarta. Empat tersangka yang dieksekusi di dalam sel, yakni Gameliel Yermiyanto Rohi Riwu, Adrianus Candra Galaja, Hendrik Angel Sahetapi alias Deki, dan Yohanes Juan Manbait.
“Kami evaluasi kembali sehingga jelas kapan jiwa korsa dipakai, kapan enggak boleh. Jiwa korsa itu tidak salah,” ucap pria yang akan pensiun awal Mei 2013.
Salah satu contoh bentuk nyata dan positif dari semangat jiwa korsa ini ditunjukkan oleh Eks Pangdam IV Diponegoro Mayjen TNI Hardiono Saroso yang enggan membicarakan soal penyerangan LP Cebongan Sleman yang telah berlalu dan lebih suka bicara ke depan. Jenderal yang kini menjadi staf KSAD itu mengaku bangga terhadap 11 anggota Kopassus yang saat ini diperiksa Pomdam terkait kasus LP Cebongan.
“Udah deh, sekarang yang perlu kita bicarakan ke depannya. Saya hormat, bangga kepada 11 prajurit yang diperiksa Pomdam,” kata Hardiono usai lepas sambut jabatan di Makodam IV Diponegoro, Jalan Perintis Kemerdekaan, Semarang, Rabu (10/4/2013).
Hardiono menyebut, pangkat dan karier ia pertaruhkan terhadap 11 prajurit tersebut. Hal itu merupakan bentuk dari solidaritas yang tak tergoyahkan.
“Penting ini, saya mau cerita sedikit tentang jiwa korsa,” kata Hardiono. Hardiono melanjutkan, di seluruh dunia, tentara lahir untuk menjaga kedaulatan, termasuk TNI. Jiwa korsa seluruh prajurit hampir sama.
Sejak letnan dua hingga kolonel, Hardiono mengaku berkecimpung di berbagai operasi. Beberapa anggotanya gugur. Dia melihat dan mengautopsi serta menemukan beberapa butir peluru yang bersarang di tubuh anggotanya.
“Itulah kehormatan prajurit” tandasnya.
Hardiono hormat dan menjunjung tinggi sikap ksatria. “Hidup adalah pilihan. Jangan pernah memilih di tengah, karena sesungguhnya itu bukan pilihan. Beranilah tentukan pilihan, walau nyawa taruhannya. Kalau saya berpikir begitu, saya tidak berpikir lagi, karier, jabatan. Nyawa saja kasih untuk Negara Kesatuan Republik Indonesia,” paparnya.
Jenderal berkumis tebal ini meminta polemik tentang Cebongan dihentikan. “Orang membuat analisis tapi tidak pernah melihat durasi CCTV yang sesungguhnya tentang apa yang terjadi di Hugo’s Cafe,” tutupnya. Acara lepas sambut Hardiono dilakukan secara tertutup. Namun sempat terlihat ia disalami personel TNI Hardiono ditemani penggantinya, Mayjen TNI Sunindyo.
Kini marak dukungan moral terhadap Korps Baret Merah tersebut. Seperti yang ditunjukkan warga Yogyakarta yang memasang spanduk dukungan terhadap Kopassus dibeberapa titik. Bahkan beberapa elemen masyarakat membawa tumpeng yang diarak berjalan kaki dalam rangka memberikan dukungan dalam menyambut ultah ke-61 Kopassus di Kandang Menjangan Kartasura Kabupaten Sukoharjo. Dukungan juga diberikan melalui pesan singkat (SMS) dan BlackBerry Messenger (BBM). Pesan berantai yang disinyalir berasal dari anggota TNI mengingatkan agar tragedi Lapas Cebongan tersebut jangan hanya dilihat dari apa yang telah dilakukan. Tetapi harus dilihat kepada siapa para prajurit ini melakukannya.
Terlepas dari itu semua, Daerah Istimewa Yogyakarta sekarang ini aman tentram dan terkendali. Para preman mulai tiarap dan menghentikan aktivitasnya. Masyarakat mendapat hikmah positif dari kasus LP Cebongan. Apalagi Cafe Hugos yang jadi sumber maksiat selama ini sudah ditutup operasionalnya. Hingga untuk sementara waktu masalah premanisme di DIY sedikit teratasi.
Menurut Ilmuwan militer Amos Perlmutter selain jiwa korsa masih ada tiga nilai dasar yang menjadi landasan tentara professional yaitu: Keahlian (expertise), Tanggung jawab social (Social Responsibility), dan Ideologi Militer (military ideology).
Keahlian yang dimaksud adalah dalam hal mengelola dan menggunakan senjata yang sah. Keahlian yang dilindungi undang undang untuk melayani sebaik-baiknya negara dan masyarakat.
Dalam lingkup kecil di kehidupan sehari hari, tanggung jawab sosial tentara bisa berwujud pertolongan dan pembelaan terhadap anggota masyarakat yang keselamatannya terancam. Ancaman itu bisa datang dari perorangan atau kelompok dan ancaman dari alam (bencana alam).
Apabila kapasitas bencana alam tergolong besar dan berat maka diperlukan kekuatan besar untuk pertolongan melalui Operasi Militer Selain Perang (Millitary Operation Other Than War; MOOTW). Hal ini bisa dilihat saat TNI membantu pe-nanggulangan bencana yang terjadi di negeri ini, mulai bencana Tsuami Aceh, Gempa Jogya, Meletusnya Gunung Merapi dan yang terakhir bencana banjir di Jakarta.
Saat tentara sudah mempunyai jiwa korsa yang mendarah daging, akan terbentuk dalam dirinya tugas dan tanggung jawab sosial (Social Responsbility). Seorang prajurit dihadapkan pilihan dilematis ketika jiwa korsa dan tanggung jawab sosial dibenturkan dan justru dianggap bertabrakan dengan nilai-nilai tertentu. Misalnya bertabrakan dengan pelanggaran hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM).
Di sini bisa saja Prajurit memi-lih tindakan spontan atas dorongan jiwa korsa dan rasa tanggung jawab sosial yang diyakininya. Walaupun tindakan itu akan berakibat melanggar hukum dan harus diakui dan dipertanggung jawabkan secara ksatria. Tetapi akan sangat tidak arif apabila harus dibumbui dengan pelanggaran HAM oleh sekelompok organisasi dan lembaga.
Bila fenomena bumbu bumbu ini dibiarkan, dikhawatirkan jiwa korsa dan tanggung jawab sosial Prajurit TNI kepada masyarakat menurun, karena semakin takutnya seorang tentara menggunakan dorongan jiwa korsa dan tanggung jawab sosialnya karena ditabrakkan dengan HAM.(wan)
“Ini teori peperangan yang dibuat oleh Napoleon Bonaparte, yaitu Esprit de corps. Pasukan satu sama lain harus membantu, melindungi, berbagi, mengingatkan, menjaga. Dengan kata lain senasib sepenanggungan untuk bersama dalam satu unit memenangkan pertempuran,” jelasnya.
Hasanuddin mengatakan bahwa jiwa korsa adalah semangat positif yang sebenarnya dimiliki oleh setiap orang.
“Wartawan juga punya jiwa korsa, dimana ada jiwa satu korps dan sa-ling peduli, misalnya yang satu sakit, yang lain menjenguk,” jelasnya.
Hanya saja, penempatannya harus sesuai dengan keadaan. “Misalnya wartawan ada yang dipukul, lalu temannya yang lain balas memukul atau bahkan menusuk dan menghilangkan jiwa, ini salah,” kata dia.
Soal kasus penyerbuan oknum anggota Kopassus ke lapas Cebongan, Hasanuddin mengatakan bahwa ini adalah pelanggaran hukum.
“Saya tidak yakin ini hanya karena jiwa korsa semata. Mungkin ada hal lain, termasuk soal disiplin. Kita sepakat, preman harus diberantas, tapi jangan melanggar hukum. Jangan menyalahkan jiwa korsa,” ujarnya.
Ketua Tim Investigasi TNI AD Brigjen (CPM) Unggul K Yu-dhoyono menjelaskan, aksi yang dilakukan 11 personel Grup II Kopassus Kandang Menjangan, Kartasura dilatar belakangi jiwa korsa. Solidaritas mereka terbakar begitu mengetahui rekannya, Serka Heru Santosa, tewas mengenaskan akibat dikeroyok dan dibantai empat preman di Hugo’s Cafe, pada 19 Maret 2013 lalu. Sebagian mereka baru turun latihan dari Gunung Lawu dan masih menenteng senjata.
Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal (TNI) Pramono Edhie Wibowo menilai tidak ada yang salah dengan jiwa korsa yang dipegang oleh para prajurit TNI. Jiwa yang harus dimiliki untuk menghadapi perang.
“Itu rohnya. Kalau dia tidak punya jiwa korsa, suatu saat kawannya terluka di dalam pertempuran, mau ditinggal atau dibawa? Ditinggal, nanti dibunuh. Padahal dia masih terluka tapi tidak bisa berjalan. Kalau tidak punya jiwa korsa, dia tinggal temannya di situ,” kata Pramono di Markas Besar TNI AD di Jakarta, Selasa (9/4/2013). Pramono mengakui bahwa jiwa korsa telah salah penerapannya jika melihat peristiwa penyerangan Lapas Kelas II B Cebongan, Sleman, DI Yogyakarta. Empat tersangka yang dieksekusi di dalam sel, yakni Gameliel Yermiyanto Rohi Riwu, Adrianus Candra Galaja, Hendrik Angel Sahetapi alias Deki, dan Yohanes Juan Manbait.
“Kami evaluasi kembali sehingga jelas kapan jiwa korsa dipakai, kapan enggak boleh. Jiwa korsa itu tidak salah,” ucap pria yang akan pensiun awal Mei 2013.
Hidup Itu Pilihan
Salah satu contoh bentuk nyata dan positif dari semangat jiwa korsa ini ditunjukkan oleh Eks Pangdam IV Diponegoro Mayjen TNI Hardiono Saroso yang enggan membicarakan soal penyerangan LP Cebongan Sleman yang telah berlalu dan lebih suka bicara ke depan. Jenderal yang kini menjadi staf KSAD itu mengaku bangga terhadap 11 anggota Kopassus yang saat ini diperiksa Pomdam terkait kasus LP Cebongan.
“Udah deh, sekarang yang perlu kita bicarakan ke depannya. Saya hormat, bangga kepada 11 prajurit yang diperiksa Pomdam,” kata Hardiono usai lepas sambut jabatan di Makodam IV Diponegoro, Jalan Perintis Kemerdekaan, Semarang, Rabu (10/4/2013).
Hardiono menyebut, pangkat dan karier ia pertaruhkan terhadap 11 prajurit tersebut. Hal itu merupakan bentuk dari solidaritas yang tak tergoyahkan.
“Penting ini, saya mau cerita sedikit tentang jiwa korsa,” kata Hardiono. Hardiono melanjutkan, di seluruh dunia, tentara lahir untuk menjaga kedaulatan, termasuk TNI. Jiwa korsa seluruh prajurit hampir sama.
Sejak letnan dua hingga kolonel, Hardiono mengaku berkecimpung di berbagai operasi. Beberapa anggotanya gugur. Dia melihat dan mengautopsi serta menemukan beberapa butir peluru yang bersarang di tubuh anggotanya.
“Itulah kehormatan prajurit” tandasnya.
Hardiono hormat dan menjunjung tinggi sikap ksatria. “Hidup adalah pilihan. Jangan pernah memilih di tengah, karena sesungguhnya itu bukan pilihan. Beranilah tentukan pilihan, walau nyawa taruhannya. Kalau saya berpikir begitu, saya tidak berpikir lagi, karier, jabatan. Nyawa saja kasih untuk Negara Kesatuan Republik Indonesia,” paparnya.
Jenderal berkumis tebal ini meminta polemik tentang Cebongan dihentikan. “Orang membuat analisis tapi tidak pernah melihat durasi CCTV yang sesungguhnya tentang apa yang terjadi di Hugo’s Cafe,” tutupnya. Acara lepas sambut Hardiono dilakukan secara tertutup. Namun sempat terlihat ia disalami personel TNI Hardiono ditemani penggantinya, Mayjen TNI Sunindyo.
Maraknya Dukungan
Kini marak dukungan moral terhadap Korps Baret Merah tersebut. Seperti yang ditunjukkan warga Yogyakarta yang memasang spanduk dukungan terhadap Kopassus dibeberapa titik. Bahkan beberapa elemen masyarakat membawa tumpeng yang diarak berjalan kaki dalam rangka memberikan dukungan dalam menyambut ultah ke-61 Kopassus di Kandang Menjangan Kartasura Kabupaten Sukoharjo. Dukungan juga diberikan melalui pesan singkat (SMS) dan BlackBerry Messenger (BBM). Pesan berantai yang disinyalir berasal dari anggota TNI mengingatkan agar tragedi Lapas Cebongan tersebut jangan hanya dilihat dari apa yang telah dilakukan. Tetapi harus dilihat kepada siapa para prajurit ini melakukannya.
Terlepas dari itu semua, Daerah Istimewa Yogyakarta sekarang ini aman tentram dan terkendali. Para preman mulai tiarap dan menghentikan aktivitasnya. Masyarakat mendapat hikmah positif dari kasus LP Cebongan. Apalagi Cafe Hugos yang jadi sumber maksiat selama ini sudah ditutup operasionalnya. Hingga untuk sementara waktu masalah premanisme di DIY sedikit teratasi.
Menurut Ilmuwan militer Amos Perlmutter selain jiwa korsa masih ada tiga nilai dasar yang menjadi landasan tentara professional yaitu: Keahlian (expertise), Tanggung jawab social (Social Responsibility), dan Ideologi Militer (military ideology).
Keahlian yang dimaksud adalah dalam hal mengelola dan menggunakan senjata yang sah. Keahlian yang dilindungi undang undang untuk melayani sebaik-baiknya negara dan masyarakat.
Dalam lingkup kecil di kehidupan sehari hari, tanggung jawab sosial tentara bisa berwujud pertolongan dan pembelaan terhadap anggota masyarakat yang keselamatannya terancam. Ancaman itu bisa datang dari perorangan atau kelompok dan ancaman dari alam (bencana alam).
Apabila kapasitas bencana alam tergolong besar dan berat maka diperlukan kekuatan besar untuk pertolongan melalui Operasi Militer Selain Perang (Millitary Operation Other Than War; MOOTW). Hal ini bisa dilihat saat TNI membantu pe-nanggulangan bencana yang terjadi di negeri ini, mulai bencana Tsuami Aceh, Gempa Jogya, Meletusnya Gunung Merapi dan yang terakhir bencana banjir di Jakarta.
Saat tentara sudah mempunyai jiwa korsa yang mendarah daging, akan terbentuk dalam dirinya tugas dan tanggung jawab sosial (Social Responsbility). Seorang prajurit dihadapkan pilihan dilematis ketika jiwa korsa dan tanggung jawab sosial dibenturkan dan justru dianggap bertabrakan dengan nilai-nilai tertentu. Misalnya bertabrakan dengan pelanggaran hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM).
Di sini bisa saja Prajurit memi-lih tindakan spontan atas dorongan jiwa korsa dan rasa tanggung jawab sosial yang diyakininya. Walaupun tindakan itu akan berakibat melanggar hukum dan harus diakui dan dipertanggung jawabkan secara ksatria. Tetapi akan sangat tidak arif apabila harus dibumbui dengan pelanggaran HAM oleh sekelompok organisasi dan lembaga.
Bila fenomena bumbu bumbu ini dibiarkan, dikhawatirkan jiwa korsa dan tanggung jawab sosial Prajurit TNI kepada masyarakat menurun, karena semakin takutnya seorang tentara menggunakan dorongan jiwa korsa dan tanggung jawab sosialnya karena ditabrakkan dengan HAM.(wan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.