Ditulis Oleh :
Mayor Pnb Taufik Nur Cahyanto, ST
Kontributor KERIS
Kementerian Perdagangan menyebutkan sepuluh negara tujuan yang memiliki pencapain ekspor non migas terbesar pada 2012. Ke-10 pasar ekspor utama tersebut berkontribusi sebesar 68,6 persen dari total ekspor non migas. Dari sepuluh pasar tujuan ekspor tersebut, China berada di urutan pertama sebesar USD 20,9 miliar. Kemudian Jepang (USD17,2 miliar), Amerika Serikat (USD14,6 miliar), India (USD12,4 miliar), Singapura (USD10,6 miliar), Malaysia (USD8,5 miliar), Korea Selatan (USD6,7 miliar), Thailand (USD5,5 miliar), Belanda (USD4,6 miliar), dan Taiwan (USD4,1 miliar)[3]. Korea Selatan adalah Negara ke-7 tujuan ekspor Indonesia dengan nilai yang cukup significant. Sedangkan China, Jepang, Malaysia, dan Thailand adalah negara-negara yang terletak di sekitar Laut Cina Selatan yang cukup rentan terhadap pengaruh konflik di semenanjung Korea. Korea Selatan sendiri selama lebih dari dua dekade belakangan ini tercatat telah mengembangkan Indonesia sebagai pusat produksi sekaligus rekanan bisnis yang sangat penting dalam perencanaan perluasan ekonomi internasional. Beberapa perusahan atau konglomerasi besar ; Samsung, Hyundae dan Lotte secara besar- besaran telah melakukan ekpansi bisnis ke Indonesia. Statistik lain yang menunjukan keterkaitan ekonomi Indonesia dan Korea Selatan adalah tingginya tingkat populasi ekspatriat Korea Selatan di Indonesia. Tercatat kurang lebih 35.000 warga Korea tinggal sekaligus bekerja di Indonesia dan merupakan komunitas ekspatriat terbesar di Indonesia[4].
Referensi :
[1] The Korean War: The West Confronts Communism, 1950-1953by Michael Hickey (John Murray, 1999) [2] http://www.bbc.co.uk/history/worldwars/coldwar/korea_hickey_01.shtml [3] http://ekbis.sindonews.com/read/2013/03/04/34/723885/ini-10-negara-tujuan-ekspor-terbesar-indonesia [4] http://lomboktoday.co.id/read/2012/09/24/kerjasama-indonesia-korea-selatan-makin-kuat.html [5] http://www.kemenperin.go.id/artikel/955/Investor-Korsel-dinilai-makin-agresif
Mayor Pnb Taufik Nur Cahyanto, ST
Kontributor KERIS
”War is a continuation of politic by other mean”
(Carl Von Clausewitz)
(Carl Von Clausewitz)
Perang pada dasarnya adalah kelanjutan
dari sebuah perjuangan politik yang sudah tidak bisa diselesaikan dengan
jalan damai. Apapun alasannya, belum pernah ada perang yang
menyenangkan bahkan menyejahteraan rakyat. Akan tetapi, nampaknya
konflik di semenanjung Korea yang dibintangi oleh actor laga
Korea Utara dan Selatan dengan “sutradara” handal negara – negara
pendukung mulai mengkawatirkan negara-negara sekitarnya dengan isu yang
berkembang.
Sementara itu konflik kepentingan di
wilayah perairan Laut Cina Selatan pun sudah mulai menggelora. Kehadiran
negara-negara yang mempunyai kepentingan sudah mulai nampak dengan
segala tingkah polah manuvernya. Ketegangan di Laut China Selatan telah
berkembang sedemikian pesat dengan berbagai kompleksitas permasalahan
dan kepentingan tarik ulur kepemilikan wilayah dan kepulauan di sekitar
wilayah perairan tersebut. Teori ada gula ada semut, ada minyak ada ribut
tidak bisa di naïf kan lagi. Menurut data yang dikutip oleh Informasi
Energi Amerika Serikat (EIA), Cina memperkirakan cadangan minyak di sana
sebesar 213 miliar barel atau 10 kali lipat dari cadangan milik Amerika
Serikat. Ilmuwan AS memperkirakan jumlah minyak di sana 28 miliar
barel. Menurut EIA, cadangan terbesar kemungkinan adalah gas alam.
Perkiraannya sekitar 900 triliun kaki kubik, sama dengan cadangan yang
dimiliki Qatar. Sehingga sudah jelaslah kenapa beberapa negara di
sekitar perairan tersebut saling mengklaim pulau-pulau yang bertebaran
diatasnya.
Kembali kepada permasalahan ancaman
terbesar bagi negara sekitar bila dihadapkan dengan kondisi konflik
Korut dan Korsel, yang terletak di sekitar perairan Laut Cina Selatan,
saat ini adalah kepemilikan senjata nuklir oleh Korea Utara yang menjadi
isu utama. Sedangkan Korea Selatan sendiri telah di back up
secara penuh oleh negara Amerika Serikat yang memiliki kekuatan
pertahanan yang tidak diragukan lagi. Sehingga api ketegangan ini sangat
mudah untuk disulut menjadi kobaran api yang siap melahab wilayah
sekitarnya. Oleh karena itu pada tulisan ini, perlu kiranya kita kupas
pengaruh ketegangan konflik ini bagi negara Indonesia pada perspektif
kondisi perekonomian, keamanan dan pertahanan negara.
Sejarah Konflik Kedua Negara
Sebelum lebih jauh kita mengupas pengaruh konflik ini, perlu kiranya kita flash back ke
belakang sejarah konflik pada jilid satu. Sejarah telah mencatat bahwa
kedua negara ini telah terlibat konflik sejak puluhan tahun yang lalu,
tepatnya pada tanggal 25 Juni 1950 sampai dengan 27 Juli 1953. Pada masa itu telah tercatat terjadinya perang Korea antara Korea Utara yang didukung oleh Uni Soviet, RRC dengan Korea Selatan yang didukung oleh negara Amerika Serikat, Inggris dan commonwealth countries. Kisah cerita diawali pada era perang dunia tahun 1939-45, saat masa depan kekaisaran Jepang ditentukan oleh pertemuan negara sekutu sebagai penakluk negara Jepang. Detik-detik pengembalian kemerdekaan Korea sebagai salah satu koloni Jepang sejak tahun 1910, bagian utara negara tersebut diduduki oleh Soviet Russia. Sedangkan di bagian selatan, pemerintahan militer Amerika Serikat dibawah pimpinan Jendral D. MacArthur akan mengontrol dari markas besar di Tokyo. Sebagai respon dari pembentukan North Korean Peoples’ Army oleh Stalinist regime ,Kim Il-Sung, yang di back up oleh Soviet, Amerika Serikat memback up kondisi chaos
politik yang terjadi di bagian selatan dibawah kepemerintahan presiden
Syngman Rhee yang secara terbuka telah menyatakan ingin menyatukan
dengan paksa. Dalam kondisi ini, tentara Korea selatan yang dilatih oleh
Amerika baru terbatas pada kemampuan terbatas.[1] Meningkatnya incident
berdarah di perbatasan memicu invasi Korea utara untuk menduduki Korea
selatan. Ekskalasi peningkatan ini akhirnya membuahkan resolusi Dewan
keamanan PBB yang diprakarsai oleh Amerika Serikat dengan mengklaim
Korea Utara sebagai Aggresor. Hal ini ditindak lanjuti dengan
pengiriman pasukan dari anggota PBB untuk menghadapi gerakan Korea Utara
yang semakin agresif untuk menduduki Pelabuhan utama Pusan. Pada perang tersebut, kekuatan Udara (Air Power) sudah sangat menentukan. Kekuatan Udara Korea utara telah dikendalikan oleh superior equipment US Air Force, Navy dan Marines. Heavy bombers menghancurkan kota-kota dan pusat perindustrian Korea Utara. Serangan secara terus menerus memaksa China untuk memanfaatkan pasukan berkuda untuk menggeser dukungan logistic. Fase baru peperangan udara terbuka, ketika pesawat Bomber B-29 yang dikawal oleh pesawat tempur Amerika Serikat berhadapan dengan pesawat Rusia, MiG -15 yang diterbangkan oleh penerbang – penerbang China. Pesawat MiG-15 mampu menyapu pesawat jet Amerika generasi pertama, sampai dengan dikenalkannya pesawat bersayap swept, F-86 Sabre, yang di claim sebagai pesawat combat supersonic pertama di dunia [2]. Sebagai akhir cerita peperangan perbedaan ideologi ini berhenti di atas meja , pada pertengahan 1951. Armistice disepakati dengan beberapa konsekuensi dari kedua belah pihak. Pada bulan Juli 1953, ribuan mantan tahanan dari kedua belah pihak dikembalikan. DMZ (Demilitarised Zone) di tetapkan di daerah perbatasan, kedua belah pihak menarik dari posisi pertempuran diikuti oleh tindakan supervisi dari PBB.
Pengaruh Kondisi Perekonomian
Kembali pada topic bahasan pengaruh
konflik ini terhadap kondisi perekonomian bangsa kita, mari kita
perhatikan kerjasama mutualisme yang sudah berlangsung sampai dengan
saat ini.
Kementerian Perdagangan menyebutkan sepuluh negara tujuan yang memiliki pencapain ekspor non migas terbesar pada 2012. Ke-10 pasar ekspor utama tersebut berkontribusi sebesar 68,6 persen dari total ekspor non migas. Dari sepuluh pasar tujuan ekspor tersebut, China berada di urutan pertama sebesar USD 20,9 miliar. Kemudian Jepang (USD17,2 miliar), Amerika Serikat (USD14,6 miliar), India (USD12,4 miliar), Singapura (USD10,6 miliar), Malaysia (USD8,5 miliar), Korea Selatan (USD6,7 miliar), Thailand (USD5,5 miliar), Belanda (USD4,6 miliar), dan Taiwan (USD4,1 miliar)[3]. Korea Selatan adalah Negara ke-7 tujuan ekspor Indonesia dengan nilai yang cukup significant. Sedangkan China, Jepang, Malaysia, dan Thailand adalah negara-negara yang terletak di sekitar Laut Cina Selatan yang cukup rentan terhadap pengaruh konflik di semenanjung Korea. Korea Selatan sendiri selama lebih dari dua dekade belakangan ini tercatat telah mengembangkan Indonesia sebagai pusat produksi sekaligus rekanan bisnis yang sangat penting dalam perencanaan perluasan ekonomi internasional. Beberapa perusahan atau konglomerasi besar ; Samsung, Hyundae dan Lotte secara besar- besaran telah melakukan ekpansi bisnis ke Indonesia. Statistik lain yang menunjukan keterkaitan ekonomi Indonesia dan Korea Selatan adalah tingginya tingkat populasi ekspatriat Korea Selatan di Indonesia. Tercatat kurang lebih 35.000 warga Korea tinggal sekaligus bekerja di Indonesia dan merupakan komunitas ekspatriat terbesar di Indonesia[4].
Berdasarkan data lain yang dilansir
situs resmi Kementrian Industri RI, peningkatan Investor dari Korea
Selatan cukup cemerlang di tahun-tahun mendatang. Dengan masuknya Posco
dan Hankook ke Indonesia, sekitar 100 perusahaan asal Korea Selatan
datang ke BKPM dan menyatakan keseriusan mereka untuk berinvestasi di
Indonesia. Seperti diketahui, Pohang Steel and Iron Company (Posco)
bekerja sama dengan PT Krakatau Steel Tbk membentuk PT Krakatau Posco
untuk berinvestasi sebesar US$6 miliar guna membangun industri baja
dengan teknologi yang lebih baik. Adapun, Hankook juga telah mulai
merealisasikan komitmen investasinya yang hingga 2018 akan mencapai
US$1,1 miliar. Secara keseluruhan komitmen investasi dari Korea Selatan
telah mencapai US$12 miliar dan berpotensi meningkat menjadi US$20
miliar[5]. Belum lagi dari sektor pariwisata, hubungan kedua negara
cukup baik dalam hal kerjasama dalam rangka memajukan bidang budaya dan
pariwisata. Tercatat bahwa Korea selatan menempati peringkat ke lima
jumlah wisatawan terbanyak yang datang ke Indonesia. Sehingga cukup
jelas bahwa keterkaitan konflik di Semenanjung Korea akan sedikit banyak
mempengaruhi kondisi perekonomian bangsa baik implikasi kenaikan
ataupun kecenderungan penurunan terhadap perekonomian bangsa.
Pengaruh Terhadap Bidang Pertahanan
-
Masa depan Kerjasama proyek KFX/IFX dan Kapal Selam. Program KFX/ IFX yang telah lama direncanakan tentunya akan sedikit banyak terpengaruh oleh adanya konflik ini. Setidaknya ada dua kemungkinan, yang pertama proyek ini akan mengalami percepatan karena adanya desakan kebutuhan pesawat tempur generasi 4,5 untuk memperkuat sekaligus deterrence effect bagi Korut. Sedangkan kemungkinan yang kedua proyek ini terhenti karena alasan efektifitas pengalokasian anggaran pertahanan Korea Selatan yang memilih membeli pesawat yang sudah battle proven dan lebih cepat proses pengadaannya. Sedangkan kerja sama produksi Kapal Selam pun tentunya akan terpengaruh oleh adanya potensi konflik kedepan.
-
Keberlangsungan Pesawat T-50. Pada tahun 2013 ini, beberapa penerbang telah dikirim dalam rangka proyek pembelian 16 pesawat T-50 buatan Korea Selatan yang rencana akan segera datang pada tahun ini. Pengaruh kedepan tentunya bila konflik tersebut berlanjut dan berakhir buruk pada kondisi Korea Selatan, harus kita siapkan langkah alternative keberlangsungan pesawat ini. Keberlangsungan tersebut meliputi dukungan pemeliharaan dan alih tehnologi baik segi operator maupun maintenance.
-
Peluang Indonesia diatas konflik. Di lain pihak kondisi ini berimplikasi terhadap kondisi regional dan Internasional negara di sekeliling wilayah konflik. Posisi Indonesia yang berpegang pada politik Luar Negeri Bebas aktif, akan membuahkan sebuah peluang sebagai mediator. Namun demikian, adanya beberapa kekuatan dan kepentingan yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung akan berusaha mendekati Indonesia sebagai negara yang mempunyai kedudukan di negara ASEAN cukup terpandang sebagai developing country yang mempunyai masa depan cemerlang. Usaha pendekatan tersebut akan terimplikasi dengan tawaran kerja sama di berbagai bidang sampai dengan hibah beberapa alutsista dan latihan bersama. Rencana Hibah F-16 dari Amerika Serikat, C-130 dari Australia, hibah F-5 dari Korea Selatan merupakan beberapa konsekuensi posisi strategis bangsa kita terhadap konflik tersebut. Sehingga hal ini tentunya akan berdampak positif pada peningkatan kekuatan angkatan perang kita sebagai salah satu faktor pendukung posisi Indonesia di negara-negara Asia.
Tidak bisa kita dipungkiri bahwa kekuatan angkatan bersenjata suatu negara merupakan alat diplomasi yang cukup efektif. Detterance effect
merupakan kekuatan diplomasi yang saat ini masih kurang dipahami dengan
baik oleh masyarakat dan pemerintah kita. Sehingga peluang ini harus
dimanfaatkan dengan asas penggunaan tanpa melibatkan diri pada salah
satu kekuatan yang sedang bertikai.
Pengaruh Terhadap Keamanan
Dampak buruk perang sudah banyak kita
jumpai dalam sejarah kehidupan manusia. Korban jiwa bukan lah sesuatu
yang bisa dinafikkan dalam memperebutkan kepentingan pihak yang
bertikai. Bagi negara tetangga pihak yang bertikai setidaknya menerima
dampak yang berakibat pada keamanan dalam negeri. Beberapa kemungkinan
yang dihadapi bangsa kita terkait dengan dampak konflik Korea Utara dan
Selatan adalah banyaknya ekspatriat yang selama ini berada di Indonesia sebagai warga temporary akan enggan untuk kembali ke negaranya. Keamanan
perjalanan menuju wilayah yang berada di sekitar daerah konflik juga
akan terganggu karena rawan dengan kegiatan yang mengancam jiwa kita.
Terlebih khusus jalur perdagangan Laut Cina Selatan yang sangat diminati
untuk jalur pelayaran Internasional strategis menghubungkan benua Asia,
Australia dan Eropa.
Happy Ending
Sebagai pengharapan kita bersama bahwa
kondisi konflik ini akan dapat diselesaikan di meja perundingan,
sehingga hal-hal yang kita antisipasi tidak akan menjadi sebuah
kenyataan pahit. Perang adalah kegagalan dari sebuah proses negosiasi
yang sejatinya adalah perjuangan untuk kepentingan politik pihak
tertentu. Namun demikian, potensi terburuk harus kita siapkan agar
kewibawaan dan eksistensi bangsa Indonesia tetap dipertahankan.
[1] The Korean War: The West Confronts Communism, 1950-1953by Michael Hickey (John Murray, 1999) [2] http://www.bbc.co.uk/history/worldwars/coldwar/korea_hickey_01.shtml [3] http://ekbis.sindonews.com/read/2013/03/04/34/723885/ini-10-negara-tujuan-ekspor-terbesar-indonesia [4] http://lomboktoday.co.id/read/2012/09/24/kerjasama-indonesia-korea-selatan-makin-kuat.html [5] http://www.kemenperin.go.id/artikel/955/Investor-Korsel-dinilai-makin-agresif
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.