Ambisi ekspansi klaim teritorial Cina sudah menampakkan inkubasinya dan
mulai memberikan rasa gerah pada negara di sekitarnya yang berseteru.
Sepertinya dia tidak peduli dengan protes negara tetangganya antara lain
Jepang, Vietnam, Filipina dan Malaysia. Cina sedang giat membangun
kekuatan milternya dan bercita-cita menjadi kekuatan berkemampuan serbu.
Kemampuan untuk itu sudah di depan mata. Manuver armada angkatan
lautnya di Laut Cina Selatan sudah membuat Filipina, Vietnam dan
Malaysia berteriak kencang.
Salah satu halaman yang diperebutkan itu adalah perairan Natuna yang notabene adalah pagar terdepan teritori Indonesia. Jika terjadi tawuran bersenjata di halaman itu bukan mustahil pagar rumah kita kena imbas bahkan ikut diobrak abrik. Nah karena ini menyangkut pagar kehormatan bangsa tentu jalan terbaik adalah memperkuat pagar tadi dengan konstruksi “beton bertulang”. Maksudnya pengawal republik dan sejumlah persenjataannya wajib digelar di bumi Natuna. Tidak hanya alat pandang dengar berupa satuan radar dan satuan intelijen tok, tapi alat pemukulnya juga harus ikut dibawa dan disandingkan disana.
Perwujudannya bisa berupa peningkatan status Lanal Natuna menjadi pangkalan utama (Lantamal) dan menjadi salah satu basis kehadiran sejumlah KRI striking force. Demikian juga dengan pangkalan udara Ranai sudah harus tersedia dan menginap ditempat sejumlah jet tempur dan pesawat intai maritim untuk memberikan nilai kewibawaan pada pagar bertulang tadi. Angkatan darat diwajibkan pula menggelar satuan arhanud dengan kemampuan rudal SAM jarak sedang.
Lho emang kita mau perang. Jawabnya tidak. Kehadiran satuan tempur TNI di Natuna justru untuk menjaga agar tidak terjadi konflik sekaligus menjaga kehormatan dan kedaulatan teritori NKRI. Kehadiran sejumlah KRI di Natuna diyakini mampu mengefisienkan biaya operasi patroli gugus keamanan laut atau gugus tempur laut karena dukungan logistik dan amunisi lebih dekat. Tidak seperti sekarang jika satuan patroli tadi melakukan tugasnya, jarak tempuh dan dukungan logistik dari Tanjung Pinang dan Jakarta menjadi bengkak karena jauhnya jarak dan harus isi ulang logistik. Demikian juga dalam hal kecepatan reaksi diperlukan waktu minimal 4 hari untuk sampai di Natuna.
Pergelaran milter dalam ukuran global ketika terjadi perang dingin antara NATO dan Pakta Warsawa, puluhan ribu prajurit dan alutsista di sepanjang garis perbatasan kedua blok cukup mencengangkan. Ribuan MBT, Artileri, Rudal, Jet Tempur, Kapal Perang pada siaga semuanya tapi toh tidak terjadi insiden apalagi konflik terbuka sampai akhirnya salah satu blok militer itu bubar jalan. Jadi gelar militer itu justru memberikan rasa enggan untuk memulai atau mengganggu. Natuna harus dilihat dalam perspektif itu. Perspektif lain adalah kandungan minyak dan gas bumi di kawasan itu yang sangat besar. Itu harus dilindungi.
Sebenarnya ada dua nilai tambah yang diperoleh dengan memperkuat Natuna sebagai basis militer gabungan setingkat brigade. Selain untuk menjaga kewibawaan teritori dari klaim Cina juga menjadi kekuatan yang mampu melakukan blokade militer dari pergerakan militer negara tetangga yang berkepentingan dengan klaim Ambalat. Pergerakan armada angkatan laut negara jiran yang hendak menuju Ambalat jika terjadi konflik terbuka akan mampu dihadang oleh armada barat TNI AL yang berada di Natuna dan Tanjung Pinang.
Perkuatan angkatan laut dengan membentuk tiga armada tempur tentu sangat diharapkan. Lebih dari itu pengisian KRI striking force adalah formula utamanya yang akan memberikan nilai kekuatan gebuk armada. Saat ini sedang disiapkan penambahan kekuatan. PT PAL dan galangan kapal swasta dalam negeri sedang membangun sedikitnya 20 kapal perang berbagai jenis. Dengan Belanda sedang dibangun 2-3 kapal perang jenis PKR, sementara 3 kapal perang second ex Brunai jenis korvet sedang dipoles sebelum datang di tanah air. Demikian juga dengan pengerjaan 3 kapal selam Changbogo di Korsel sedang dalam proses.
Sejalan dengan pengembangan armada angkatan laut dan pembentukan Kogabwilhan maka Natuna sangat diharapkan menjadi salah satu opsi untuk basis kekuatan militer dengan alutsista pemukulnya. Natuna diyakini akan masuk Kogabwilhan I dengan Sumatera sebagai induknya dan Medan sebagai “Mabesnya”. Lantamal yang ada di armada barat saat ini adalah Tanjung Pinang, Belawan, Padang dan Jakarta. Secara geografi posisi Tanjung Pinang adalah yang terdekat dengan Natuna meski masih harus berlayar sejauh 550 km jarak udara.
Oleh sebab itu diperlukan peningkatan status Natuna dengan menjadikannya sebagai pangkalan utama TNI AL. Kecepatan reaksi salah satu argumennya. Misalnya ada pergerakan armada angkatan laut negara asing di perairan utara Natuna maka satuan KRI yang ada di Lantamal Natuna lebih cepat mengantisipasinya. Itu aspek teknis operasionalnya. Lebih dari itu dari aspek strategis menempatkan satuan pemukul KRI, rudal SAM dan jet tempur di kawasan Natuna tentu memberikan nilai kewibawaan bagi bangsa ini. Sudah saatnya kita memperkuat Natuna dan TNI memang harus tampil gagah menjaga kewibawaan negeri ini.
Jagvane
Salah satu halaman yang diperebutkan itu adalah perairan Natuna yang notabene adalah pagar terdepan teritori Indonesia. Jika terjadi tawuran bersenjata di halaman itu bukan mustahil pagar rumah kita kena imbas bahkan ikut diobrak abrik. Nah karena ini menyangkut pagar kehormatan bangsa tentu jalan terbaik adalah memperkuat pagar tadi dengan konstruksi “beton bertulang”. Maksudnya pengawal republik dan sejumlah persenjataannya wajib digelar di bumi Natuna. Tidak hanya alat pandang dengar berupa satuan radar dan satuan intelijen tok, tapi alat pemukulnya juga harus ikut dibawa dan disandingkan disana.
Perwujudannya bisa berupa peningkatan status Lanal Natuna menjadi pangkalan utama (Lantamal) dan menjadi salah satu basis kehadiran sejumlah KRI striking force. Demikian juga dengan pangkalan udara Ranai sudah harus tersedia dan menginap ditempat sejumlah jet tempur dan pesawat intai maritim untuk memberikan nilai kewibawaan pada pagar bertulang tadi. Angkatan darat diwajibkan pula menggelar satuan arhanud dengan kemampuan rudal SAM jarak sedang.
Lho emang kita mau perang. Jawabnya tidak. Kehadiran satuan tempur TNI di Natuna justru untuk menjaga agar tidak terjadi konflik sekaligus menjaga kehormatan dan kedaulatan teritori NKRI. Kehadiran sejumlah KRI di Natuna diyakini mampu mengefisienkan biaya operasi patroli gugus keamanan laut atau gugus tempur laut karena dukungan logistik dan amunisi lebih dekat. Tidak seperti sekarang jika satuan patroli tadi melakukan tugasnya, jarak tempuh dan dukungan logistik dari Tanjung Pinang dan Jakarta menjadi bengkak karena jauhnya jarak dan harus isi ulang logistik. Demikian juga dalam hal kecepatan reaksi diperlukan waktu minimal 4 hari untuk sampai di Natuna.
Pergelaran milter dalam ukuran global ketika terjadi perang dingin antara NATO dan Pakta Warsawa, puluhan ribu prajurit dan alutsista di sepanjang garis perbatasan kedua blok cukup mencengangkan. Ribuan MBT, Artileri, Rudal, Jet Tempur, Kapal Perang pada siaga semuanya tapi toh tidak terjadi insiden apalagi konflik terbuka sampai akhirnya salah satu blok militer itu bubar jalan. Jadi gelar militer itu justru memberikan rasa enggan untuk memulai atau mengganggu. Natuna harus dilihat dalam perspektif itu. Perspektif lain adalah kandungan minyak dan gas bumi di kawasan itu yang sangat besar. Itu harus dilindungi.
Sebenarnya ada dua nilai tambah yang diperoleh dengan memperkuat Natuna sebagai basis militer gabungan setingkat brigade. Selain untuk menjaga kewibawaan teritori dari klaim Cina juga menjadi kekuatan yang mampu melakukan blokade militer dari pergerakan militer negara tetangga yang berkepentingan dengan klaim Ambalat. Pergerakan armada angkatan laut negara jiran yang hendak menuju Ambalat jika terjadi konflik terbuka akan mampu dihadang oleh armada barat TNI AL yang berada di Natuna dan Tanjung Pinang.
Perkuatan angkatan laut dengan membentuk tiga armada tempur tentu sangat diharapkan. Lebih dari itu pengisian KRI striking force adalah formula utamanya yang akan memberikan nilai kekuatan gebuk armada. Saat ini sedang disiapkan penambahan kekuatan. PT PAL dan galangan kapal swasta dalam negeri sedang membangun sedikitnya 20 kapal perang berbagai jenis. Dengan Belanda sedang dibangun 2-3 kapal perang jenis PKR, sementara 3 kapal perang second ex Brunai jenis korvet sedang dipoles sebelum datang di tanah air. Demikian juga dengan pengerjaan 3 kapal selam Changbogo di Korsel sedang dalam proses.
Sejalan dengan pengembangan armada angkatan laut dan pembentukan Kogabwilhan maka Natuna sangat diharapkan menjadi salah satu opsi untuk basis kekuatan militer dengan alutsista pemukulnya. Natuna diyakini akan masuk Kogabwilhan I dengan Sumatera sebagai induknya dan Medan sebagai “Mabesnya”. Lantamal yang ada di armada barat saat ini adalah Tanjung Pinang, Belawan, Padang dan Jakarta. Secara geografi posisi Tanjung Pinang adalah yang terdekat dengan Natuna meski masih harus berlayar sejauh 550 km jarak udara.
Oleh sebab itu diperlukan peningkatan status Natuna dengan menjadikannya sebagai pangkalan utama TNI AL. Kecepatan reaksi salah satu argumennya. Misalnya ada pergerakan armada angkatan laut negara asing di perairan utara Natuna maka satuan KRI yang ada di Lantamal Natuna lebih cepat mengantisipasinya. Itu aspek teknis operasionalnya. Lebih dari itu dari aspek strategis menempatkan satuan pemukul KRI, rudal SAM dan jet tempur di kawasan Natuna tentu memberikan nilai kewibawaan bagi bangsa ini. Sudah saatnya kita memperkuat Natuna dan TNI memang harus tampil gagah menjaga kewibawaan negeri ini.
Jagvane
● Kaskus
SETUJU BANGET
BalasHapus