Senin, 07 Oktober 2013

Komandan RPKAD marah dilucuti Tjakrabirawa di Bali

Bali tahun 1965 jauh dari kata indah, tak ada kedamaian di sana. Setelah ratusan tahun, baru saat itu tak ada turis di Pulau Dewata. Teror terjadi di mana-mana. Orang-orang yang dicap Partai Komunis Indonesia (PKI) dibantai dengan kejam.

Wartawan Senior Hendro Subroto melukiskan peristiwa itu dalam buku 'Perjalanan Seorang Wartawan Perang' yang diterbitkan Pustaka Sinar Harapan.

"Bulan Desember 1965, tak seorangpun wisatawan terlihat di Pantai Kuta. Jalan-jalan sunyi mirip hari raya Nyepi. Sepanjang jalan banyak rumah yang telah menjadi puing-puing, akibat pengrusakan atau dibakar massa," beber Hendro.

Saat itu satu kompi pasukan RPKAD dipimpin Kolonel Sarwo Edhie Wibowo tiba di Bali. Operasi militer di Jawa Tengah berbeda dengan di Bali.

"Di Jawa Tengah, RPKAD menggalang masyarakat agar bersama-sama dengan ABRI melawan G30S/PKI. Di Bali, RPKAD harus mencegah masyarakat yang bergerak sendiri-sendiri yang melawan G30S/PKI secara agresif sehingga menimbulkan jatuh korban," kata Kolonel Sarwo Edhie pada Hendro.

Saat itu Kolonel Sarwo Edhie berniat meninjau istana Tampaksiring yang merupakan tempat peristirahatan Presiden Soekarno. Istana tersebut dijaga anggota Resimen Tjakrabirawa. Perwira jaga meminta semua senjata milik pasukan RPKAD diserahkan di pos penjagaan.

Sarwo Edhie yang ramah dan simpatik berubah marah. Dia membentak perwira jaga.

"Baret merah tidak kenal dilucuti. Tahu kamu!" bentak Sarwo Edhie. Anak buah Sarwo langsung siaga dengan senjata masing-masing.

Melihat itu Tjakrabirawa di pos jaga langsung berdiri dengan sikap sempurna. Wajah mereka pucat pasi-pasi. RPKAD saat itu merasa sedang melakukan operasi militer di Bali. Karena itu mereka tak terima dilucuti. Padahal memang keharusan jika tentara menyerahkan senjata saat akan memasuki istana.

Di Bali juga Hendro melihat seorang tahanan PKI yang melarikan diri dan menolak menyerah. Tahanan yang ternyata seorang kapten itu tewas diberondong RPKAD dan polisi militer. Ada 56 peluru bersarang di tubuhnya.

Hendro ternyata mengenal orang itu. Sang kapten menikahi adik guru Hendro. Hendro juga yang memotret orang itu saat menikah. Di kitab suci yang ditinggalkan tahanan tewas itu ada satu pesan untuk istri tercinta.

"Djeng, dina iki aku ngadep marang Gusti..." artinya kira-kira, "Dik, hari ini aku menghadap Tuhan."

  ● Merdeka  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...