Angin bertiup lembut menyelusup pepohonan di kaki Gunung Pangrango. Melagukan nyanyian sunyi untuk para tentara Jerman yang beristirahat selamanya di sana. Mereka datang dari jauh, bertempur di dua samudera, dan gugur ribuan kilometer dari kampung halaman.
Barisan makam bernisan putih berderet rapi. Nisan mereka membentuk Eisernes Kreuz atau salib besi, lambang bala tentara Jerman. Ada 10 makam di sana. Di baris pertama, dua nisan bertuliskan unbekannt atau tak dikenal. Sementara sisanya berjejer rapi di baris belakang.
Kawasan seluas 1.000 meter di tengah Perkebunan Cikopo, Mega Mendung, Bogor itu kini dikenal sebagai Taman Makam Pahlawan Tentara Jerman. Dulunya merupakan perkebunan teh seluas 900 hektar milik Emil dan Theodor Hellferich, dua orang Jerman.
Lokasi perkebunan Cikopo tak jauh dari pintu tol Ciawi. Jalan terus menanjak menuju area pemakaman. Tapi kini tak ada satu pun pohon teh yang tersisa di sana. Perkebunan teh tinggal cerita. Kini Perkebunan Cikopo sudah jadi vila milik orang-orang kaya dari Jakarta.
Tahun 1914, Hellferich bersaudara mendirikan monumen untuk memperingati kematian Admiral Graf Spee yang tenggelam oleh tentara Inggris dalam pertempuran di Asia Tenggara. Sekaligus penghormatan terhadap armada Jerman. Sebagai penghargaan pada budaya lokal, mereka juga membangun patung Buddha dan patung Ganesha di kedua sisi monumen tersebut.
Salah satunya jenazah Letnan Satu Laut Friedrich Steinfeld, kapten kapal selam U-195 dari 16 April 1944 hingga 8 Mei 1945. Steinfeld gugur pada 30 November 1945 dan dimakamkan di perkebunan Cikopo, Bogor.
Penugasan kapal selam U-195 di Indonesia lebih sebagai kapal kargo. Torpedo andalan kapal selam ini dikeluarkan sehingga bisa memuat karet dan bahan baku industri lainnya. Sebuah tugas yang sebenarnya sangat memalukan bagi kapten kapal selam dan seluruh krunya.
Ada juga malam Letnan Satu Laut Willi Schlummer dan Letnan Insinyur Wilhelm Jens yang terbunuh di Bogor oleh pejuang kemerdekaan Indonesia, 12 Oktober 1945. Lalu makam Letnan Laut W Martens yang terbunuh dalam kereta api dari Jakarta ke Bogor.
"Saya ingat banyak tentara Angkatan laut Jerman, seragamnya warna coklat khaki tapi lebih muda. Mereka dimakamkan dengan upacara militer. Warga menonton upacara itu" ujar Munir, seorang warga Cikopo menggambarkan kejadian puluhan tahun silam.
Munir lahir di perkebunan teh Cikopo tahun 1938. Ayahnya buruh perkebunan teh, sementara ibunya menjadi pembantu di rumah pejabat perkebunan. Dia banyak berkisah soal cerita lampau di sini.
"Dulu ada gedung kantor Jerman dekat makam ini. Satunya lagi di atas bukit. Tapi sekarang sudah tak ada," katanya.
Di pemakaman ini juga beristirahat Kopral Satu Willi Petschow. Meninggal karena sakit di Cikopo. Letnan Kapten Herman Tangermann meninggal 23 Agustus 1945 karena kecelakaan.
Di pojok paling kiri, makam Letnan Satu Dr Ir H. Haake, meninggal saat kapal selamnya terkena ranjau di Selat Sunda 30 November 1944. Lalu ada Eduard Onnen, tukang kayu kapal yang meninggal 15 April 1945.
Areal pemakaman bersih dan tertata rapi, sama sekali tak ada sampah. Pemerintah Jerman memang merawat makam para pahlawannya. Ada seorang kuncen yang ditunjuk mengurusi makam-makam itu. Nyai (52), namanya. Tinggal persis di samping komplek pemakaman Jerman.
"Dulu ayah saya yang merawat, sekarang saya. Tugas saya membersihkan makam dan merawatnya," kata nyai kepada merdeka.com.
Gaji Nyai dirapel sekaligus untuk enam bulan. Jumlahnya tak terlalu besar, tapi dia mengaku tak masalah. Baginya merupakan kebanggaan merawat makam para pahlawan itu.
Setiap hari Minggu bulan ketiga November, Pemerintah Jerman selalu menggelar upacara kemiliteran di komplek makam itu. Namun tahun ini tak ada upacara. Penyebabnya Dubes Jerman untuk Indonesia sibuk memberi bantuan bagi Filipina yang diterjang topan.
"Saya sih sudah siap. Makam sudah dicat dan dirapikan. Tapi katanya tak ada upacara tahun ini, mungkin tahun depan," kata Nyai.
Maka tak ada terompet, lagu sendu dan iringan doa bagi para pahlawan Jerman yang dikubur ribuan kilometer dari kampung halamannya. Nyai mengaku belum pernah ada yang berziarah ke makam Jerman tersebut selain pihak Kedutaan Besar Jerman di Indonesia.
Mereka berlayar menempuh dua samudera. Bertarung demi negara, dan akhirnya gugur di negara asing. Nyanyian sendu bagi para prajurit.(mdk/ian)
Barisan makam bernisan putih berderet rapi. Nisan mereka membentuk Eisernes Kreuz atau salib besi, lambang bala tentara Jerman. Ada 10 makam di sana. Di baris pertama, dua nisan bertuliskan unbekannt atau tak dikenal. Sementara sisanya berjejer rapi di baris belakang.
Kawasan seluas 1.000 meter di tengah Perkebunan Cikopo, Mega Mendung, Bogor itu kini dikenal sebagai Taman Makam Pahlawan Tentara Jerman. Dulunya merupakan perkebunan teh seluas 900 hektar milik Emil dan Theodor Hellferich, dua orang Jerman.
Lokasi perkebunan Cikopo tak jauh dari pintu tol Ciawi. Jalan terus menanjak menuju area pemakaman. Tapi kini tak ada satu pun pohon teh yang tersisa di sana. Perkebunan teh tinggal cerita. Kini Perkebunan Cikopo sudah jadi vila milik orang-orang kaya dari Jakarta.
Tahun 1914, Hellferich bersaudara mendirikan monumen untuk memperingati kematian Admiral Graf Spee yang tenggelam oleh tentara Inggris dalam pertempuran di Asia Tenggara. Sekaligus penghormatan terhadap armada Jerman. Sebagai penghargaan pada budaya lokal, mereka juga membangun patung Buddha dan patung Ganesha di kedua sisi monumen tersebut.
Salah satunya jenazah Letnan Satu Laut Friedrich Steinfeld, kapten kapal selam U-195 dari 16 April 1944 hingga 8 Mei 1945. Steinfeld gugur pada 30 November 1945 dan dimakamkan di perkebunan Cikopo, Bogor.
Penugasan kapal selam U-195 di Indonesia lebih sebagai kapal kargo. Torpedo andalan kapal selam ini dikeluarkan sehingga bisa memuat karet dan bahan baku industri lainnya. Sebuah tugas yang sebenarnya sangat memalukan bagi kapten kapal selam dan seluruh krunya.
Ada juga malam Letnan Satu Laut Willi Schlummer dan Letnan Insinyur Wilhelm Jens yang terbunuh di Bogor oleh pejuang kemerdekaan Indonesia, 12 Oktober 1945. Lalu makam Letnan Laut W Martens yang terbunuh dalam kereta api dari Jakarta ke Bogor.
"Saya ingat banyak tentara Angkatan laut Jerman, seragamnya warna coklat khaki tapi lebih muda. Mereka dimakamkan dengan upacara militer. Warga menonton upacara itu" ujar Munir, seorang warga Cikopo menggambarkan kejadian puluhan tahun silam.
Munir lahir di perkebunan teh Cikopo tahun 1938. Ayahnya buruh perkebunan teh, sementara ibunya menjadi pembantu di rumah pejabat perkebunan. Dia banyak berkisah soal cerita lampau di sini.
"Dulu ada gedung kantor Jerman dekat makam ini. Satunya lagi di atas bukit. Tapi sekarang sudah tak ada," katanya.
Di pemakaman ini juga beristirahat Kopral Satu Willi Petschow. Meninggal karena sakit di Cikopo. Letnan Kapten Herman Tangermann meninggal 23 Agustus 1945 karena kecelakaan.
Di pojok paling kiri, makam Letnan Satu Dr Ir H. Haake, meninggal saat kapal selamnya terkena ranjau di Selat Sunda 30 November 1944. Lalu ada Eduard Onnen, tukang kayu kapal yang meninggal 15 April 1945.
Areal pemakaman bersih dan tertata rapi, sama sekali tak ada sampah. Pemerintah Jerman memang merawat makam para pahlawannya. Ada seorang kuncen yang ditunjuk mengurusi makam-makam itu. Nyai (52), namanya. Tinggal persis di samping komplek pemakaman Jerman.
"Dulu ayah saya yang merawat, sekarang saya. Tugas saya membersihkan makam dan merawatnya," kata nyai kepada merdeka.com.
Gaji Nyai dirapel sekaligus untuk enam bulan. Jumlahnya tak terlalu besar, tapi dia mengaku tak masalah. Baginya merupakan kebanggaan merawat makam para pahlawan itu.
Setiap hari Minggu bulan ketiga November, Pemerintah Jerman selalu menggelar upacara kemiliteran di komplek makam itu. Namun tahun ini tak ada upacara. Penyebabnya Dubes Jerman untuk Indonesia sibuk memberi bantuan bagi Filipina yang diterjang topan.
"Saya sih sudah siap. Makam sudah dicat dan dirapikan. Tapi katanya tak ada upacara tahun ini, mungkin tahun depan," kata Nyai.
Maka tak ada terompet, lagu sendu dan iringan doa bagi para pahlawan Jerman yang dikubur ribuan kilometer dari kampung halamannya. Nyai mengaku belum pernah ada yang berziarah ke makam Jerman tersebut selain pihak Kedutaan Besar Jerman di Indonesia.
Mereka berlayar menempuh dua samudera. Bertarung demi negara, dan akhirnya gugur di negara asing. Nyanyian sendu bagi para prajurit.(mdk/ian)
♞ Merdeka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.