Desember 1999, saat melakukan suatu riset di daerah Kedu, Jawa
Tengah, saya sempat mendengar cerita menarik sekitar Perang Kemerdekaan
dari seorang veteran pejuang setempat. Katanya, dulu ada satu regu eks
tentara Jepang yang membelot dan bergabung dalam Bataliyon Achmad Yani
(yang kelak menjadi salah satu korban Gerakan 30 September 1965). Mereka
dikenal sangat berani dan ditakuti oleh serdadu Belanda.
Beberapa tahun kemudian cerita yang sama saya dapatkan dari sejumlah veteran Perang Kemerdekaan di Jawa Timur. Mereka bilang, saat perang melawan NICA berkecamuk ada sebuah kompi TNI yang sangat ditakuti oleh tentara Belanda. Namanya Pasukan Oentoeng Soerapati 18, yang dipimpin oleh seorang kapten bernama Sukardi.
Sukardi sejatinya orang Jepang totok. Sebelum ke Indonesia konon dia memiliki pengalaman gerilya di Guadalcanal, Morotai hingga Jawa. Namun begitu Jepang bertekuk lutut kepada Sekutu, ia yang katanya memiliki darah samurai menolak untuk menyerah dan memilih bergabung dengan gerilyawan republik di hutan-hutan Malang Selatan.
Sukardi juga mengajak sejumlah anak buahnya untuk bergabung dan membentuk pasukan sendiri. Mereka kemudian menjadi komandan-komandan seksi di kompi yang dipimpinnya.
Kompi Sukardi dikenal memiliki sistem organisasi dan sistem tempur yang sangat baik. Setiap kali rencana penyerangan kerap diperhitungkan matang, detail, serta selalu menyertakan rencana B, C, dan D-nya. Tak aneh jika dalam setiap aksinya, kompi ini kerap mencapai hasil maksimal dan paling sedikit jatuh korban.
Cerita soal para disersi ini ternyata menarik minat peneliti muda Jepang bernama Hayashi Eiichi. Menurutnya, selama 1945-1949 kurang lebih 1.000 serdadu Jepang memilih tinggal dan bahu membahu bersama pejuang Indonesia melawan Belanda.
“Di Jepang, mereka dikenal dengan istilah zanryu nihon hei (serdadu Jepang yang tetap tinggal).” tulis Hayashi dalam Zanryuu Nihon Hei no Shinjitsu atau Cerita Para Tentara Jepang yang Tetap Tinggal.
Foto yang ada di sini adalah foto yang dilansir oleh Imperial War Museum (IWM), yang memperlihatkan sejumlah gerilyawan-gerilyawan republik bermata sipit yang berhasil dibekuk oleh tentara NICA.(Hendi Johari)
Beberapa tahun kemudian cerita yang sama saya dapatkan dari sejumlah veteran Perang Kemerdekaan di Jawa Timur. Mereka bilang, saat perang melawan NICA berkecamuk ada sebuah kompi TNI yang sangat ditakuti oleh tentara Belanda. Namanya Pasukan Oentoeng Soerapati 18, yang dipimpin oleh seorang kapten bernama Sukardi.
Sukardi sejatinya orang Jepang totok. Sebelum ke Indonesia konon dia memiliki pengalaman gerilya di Guadalcanal, Morotai hingga Jawa. Namun begitu Jepang bertekuk lutut kepada Sekutu, ia yang katanya memiliki darah samurai menolak untuk menyerah dan memilih bergabung dengan gerilyawan republik di hutan-hutan Malang Selatan.
Sukardi juga mengajak sejumlah anak buahnya untuk bergabung dan membentuk pasukan sendiri. Mereka kemudian menjadi komandan-komandan seksi di kompi yang dipimpinnya.
Kompi Sukardi dikenal memiliki sistem organisasi dan sistem tempur yang sangat baik. Setiap kali rencana penyerangan kerap diperhitungkan matang, detail, serta selalu menyertakan rencana B, C, dan D-nya. Tak aneh jika dalam setiap aksinya, kompi ini kerap mencapai hasil maksimal dan paling sedikit jatuh korban.
Cerita soal para disersi ini ternyata menarik minat peneliti muda Jepang bernama Hayashi Eiichi. Menurutnya, selama 1945-1949 kurang lebih 1.000 serdadu Jepang memilih tinggal dan bahu membahu bersama pejuang Indonesia melawan Belanda.
“Di Jepang, mereka dikenal dengan istilah zanryu nihon hei (serdadu Jepang yang tetap tinggal).” tulis Hayashi dalam Zanryuu Nihon Hei no Shinjitsu atau Cerita Para Tentara Jepang yang Tetap Tinggal.
Foto yang ada di sini adalah foto yang dilansir oleh Imperial War Museum (IWM), yang memperlihatkan sejumlah gerilyawan-gerilyawan republik bermata sipit yang berhasil dibekuk oleh tentara NICA.(Hendi Johari)
☆ Intisari
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.