F-22 Raptor dari Lockheed Martin, Amerika Serikat. Bisa dibilang inilah pesawat tempur dengan biaya pengembangan dan pembuatan termahal di dunia hingga saat ini, yaitu di atas 120 juta dolar Amerika Serikat perunit kosong. Teknologi terkini dan state-of-the-art dibenamkan ke dalam pesawat tempur yang tidak dibuat versi kursi gandanya. (en.wikipedia.org) ☆
Laporan Pentagon menyatakan, Angkatan Udara Amerika Serikat bisa kesulitan memenuhi keperluan pesawat tempurnya pasca 2021 jika pola penyediaan anggaran tidak berubah.
Sejalan dengan pengetatan anggaran, Angkatan Udara Amerika Serikat dipaksa memensiunkan lebih banyak pesawat tempurnya ketimbang yang bisa dibeli.
Laporan itu, sebagaimana dilansir www.defensenews.com, Kamis, menyatakan bahwa titik terendah ketersediaan armada pesawat tempur Angkatan Udara Amerika Serikat terjadi pada 2031.
Laporan itu bersandar pada rencana pembiayaan, laporan daftar inventaris, dan laporan tahunan Pentagon pada kurun tahun fiskal 2017-2046.
Pada tahun lalu, Kongres memberi mandat kepada Angkatan Udara Amerika Serikat untuk memelihara 1.900 pesawat tempur berbagai tipe, kelas, dan varian, hingga sesudah 2021.
Tetapi Angkatan Udara Amerika Serikat tidak memiliki cukup biaya untuk memenuhi mandat itu. Hingga saat ini, Angkatan Udara Amerika Serikat memiliki 1.971 pesawat tempur, termasuk A-10 Warthog, F-15 Eagle, F-16 Fighting Falcon, F-22 Raptor, dan F-35A Lightning II.
Jika kekuatan satu skuadron udara adalah 16 unit pesawat terbang, maka jumlah itu sama dengan sekitar 120 skuadron udara.
Laporan itu menyebutkan, Angkatan Udara Amerika Serikat berencana memensiunkan A-10 Warthog pada tahun fiskal 2018 hingga 2022, walau masih disebutkan “bisa berubah”.
Kongres juga mendesak Angkatan Udara Amerika Serikat segera mengoperasikan F-22 Raptor buatan Lockheed Martin, yang biaya pembuatannya terus membengkak, satu hal sangat serius bagi mereka.
Angkatan Udara Amerika Serikat juga memerlukan ratusan pesawat latih lanjut tempur, yang ditenderkan kepada berbagai pihak, di antaranya konsorsium Boeing dan Saab dari Swedia.
Laporan Pentagon menyatakan, Angkatan Udara Amerika Serikat bisa kesulitan memenuhi keperluan pesawat tempurnya pasca 2021 jika pola penyediaan anggaran tidak berubah.
Sejalan dengan pengetatan anggaran, Angkatan Udara Amerika Serikat dipaksa memensiunkan lebih banyak pesawat tempurnya ketimbang yang bisa dibeli.
Laporan itu, sebagaimana dilansir www.defensenews.com, Kamis, menyatakan bahwa titik terendah ketersediaan armada pesawat tempur Angkatan Udara Amerika Serikat terjadi pada 2031.
Laporan itu bersandar pada rencana pembiayaan, laporan daftar inventaris, dan laporan tahunan Pentagon pada kurun tahun fiskal 2017-2046.
Pada tahun lalu, Kongres memberi mandat kepada Angkatan Udara Amerika Serikat untuk memelihara 1.900 pesawat tempur berbagai tipe, kelas, dan varian, hingga sesudah 2021.
Tetapi Angkatan Udara Amerika Serikat tidak memiliki cukup biaya untuk memenuhi mandat itu. Hingga saat ini, Angkatan Udara Amerika Serikat memiliki 1.971 pesawat tempur, termasuk A-10 Warthog, F-15 Eagle, F-16 Fighting Falcon, F-22 Raptor, dan F-35A Lightning II.
Jika kekuatan satu skuadron udara adalah 16 unit pesawat terbang, maka jumlah itu sama dengan sekitar 120 skuadron udara.
Laporan itu menyebutkan, Angkatan Udara Amerika Serikat berencana memensiunkan A-10 Warthog pada tahun fiskal 2018 hingga 2022, walau masih disebutkan “bisa berubah”.
Kongres juga mendesak Angkatan Udara Amerika Serikat segera mengoperasikan F-22 Raptor buatan Lockheed Martin, yang biaya pembuatannya terus membengkak, satu hal sangat serius bagi mereka.
Angkatan Udara Amerika Serikat juga memerlukan ratusan pesawat latih lanjut tempur, yang ditenderkan kepada berbagai pihak, di antaranya konsorsium Boeing dan Saab dari Swedia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.