Dari Pasifik hingga Membombardir Nazi Patung Marsekal Muda (Anumerta) Abdul Halim Perdanakusuma di sekitar komplek Landasan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta (Foto: Randy Wirayudha) ☆
AWAL bulan ini, sempat mencuat nama seorang pemuda Indonesia, Irawan Soejono yang disebutkan ikut melawan Nazi Jerman di Perang Dunia II (PD II), sebagai bagian dari pergerakan bawah tanah Binnenlandsche Strijdkrachten. Namun Irawan bukan pemuda pribumi satu-satunya yang ikut berkonfrontasi dengan Jerman Nazi.
Namun masih ada satu nama lagi yang tentunya, tak kalah pengalaman mengecap “teater” Perang Eropa di pihak sekutu alias Belanda yang berperang kontra pasukan Der Führer, Adolf Hitler. Dialah Abdul Halim Perdanakusuma yang kemudian namanya diabadikan jadi basis pangkalan udara TNI di Jakarta, Lanud Halim Perdanakusuma.
Masa muda sosok kelahiran Sampang, Madura pada 18 November 1922 itu sempat dihabiskan dengan mengenyam pendidikan di MOSVIA (Middlebare Opleiding School voor Indlansche Ambtenaren), sekolah para pribumi bagi calon pegawai kolonial pamong praja Hindia-Belanda yang berada di Magelang, Jawa Tengah.
Tapi tak lama sekolah di MOSVIA, Halim ikut wajib militer Belanda dan mendapat pendidikan sebagai operator torpedo di kapal Koninklijke Marine atau Angkatan Laut Belanda. Arena Perang Pasifik dengan Jepang yang menyerbu ke Hindia-Belanda pun turut diikutinya, hingga kapalnya sempat dibombardir di perairan Cilacap.
“Namanya belum ajal, Halim yang terapung-apung di laut lepas, diselamatkan kapal Inggris. Untuk selanjutnya, dibawa ke Australia dan kemudian di India, di mana dia bertemu Panglima Komando Armada Asia Tenggara, Laksamana Lord Louis Mountbatten,” jelas penggiat sejarah komunitas Djokjakarta 1945, Agung Surono Karsonoseputro kepada Okezone.
Ditambahkan Agung, Laksamana Mountbatten pada suatu ketika pernah terkesan dengan keterampilan seni lukis Halim, hingga ditawarkan pendidikan militer di Inggris. Jadilah Halim masuk pendidikan RCAF atau Angkatan Udara (AU) Kanada dan kemudian RAF (AU Inggris).
“Selesai pendidikan RCAF, Halim kembali ke induk pasukannya dengan pangkat Letnan Penerbang (Kapten Udara) di RAF dan terlibat dalam puluhan misi. Halim bahkan sempat dianggap juru selamat dan digelari ‘The Black Mascot’, jimat hitam,” tambahnya.
Sebagai navigator, Halim kala itu sudah dianggap sebagai salah satu navigator jempolan yang disegani. Disebutkan Agung, Halim sempat terlibat dalam 44 misi serangan udara membombardir Nazi Jerman, baik di wilayah Prancis maupun di wilayah Jerman sendiri dengan pesawat pembom Avro Lancaster dan B-24 Liberator.
“Sasaran utamanya ialah pusat-pusat industri Jerman. Serangan-serangan itu dilakukan pada siang dan malam hari. Pernah terjadi dalam perbangan kembali ke pangkalannya, skadronnya dicegat pesawat-pesawat Focke-Wulf. Terjadilah duel udara yang seru. Sekutu kehilangan tiga Pesawat B-17 (Flying Fortress) karena tembakan roket (pesawat) Jerman,” tandasnya.
Pasca-PD II, Halim yang pulang ke tanah air direkrut dengan tugas sebagai Perwira Operasi oleh Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) yang di era revolusi, masih dibangun Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) pertama, Komodor Udara Soerjadi Soerjadarma.
Namun kontribusi dan pengabdian Halim terhadap AURI dan republik yang saat itu masih bayi, tak berlangsung lama.
Dalam sebuah misi pembelian perlengkapan ke Siam (kini Thailand) bersama Iswahyudi, Halim yang ketika itu berpangkat Komodor Muda tewas dalam sebuah kecelakaan.
Pesawat Avro Anson VH-BBY (RI-003) yang ditumpanginya bersama Iswahyudi, jatuh yang diduga akibat cuaca buruk di Pantai Tanjung Hantu, Perak, Malaysia. Jasadnya sempat dikebumikan di Kampung Gunung Mesah, Malaysia.
Tapi kemudian dipulangkan dan dimakamkan kembali di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Kala itu, Halim yang secara anumerta diberi pangkat Marsekal Muda, masih berusia 25 tahun dan meninggalkan seorang istri, Koessadalina dan seorang putra, Ian Santoso. (raw)
AWAL bulan ini, sempat mencuat nama seorang pemuda Indonesia, Irawan Soejono yang disebutkan ikut melawan Nazi Jerman di Perang Dunia II (PD II), sebagai bagian dari pergerakan bawah tanah Binnenlandsche Strijdkrachten. Namun Irawan bukan pemuda pribumi satu-satunya yang ikut berkonfrontasi dengan Jerman Nazi.
Namun masih ada satu nama lagi yang tentunya, tak kalah pengalaman mengecap “teater” Perang Eropa di pihak sekutu alias Belanda yang berperang kontra pasukan Der Führer, Adolf Hitler. Dialah Abdul Halim Perdanakusuma yang kemudian namanya diabadikan jadi basis pangkalan udara TNI di Jakarta, Lanud Halim Perdanakusuma.
Masa muda sosok kelahiran Sampang, Madura pada 18 November 1922 itu sempat dihabiskan dengan mengenyam pendidikan di MOSVIA (Middlebare Opleiding School voor Indlansche Ambtenaren), sekolah para pribumi bagi calon pegawai kolonial pamong praja Hindia-Belanda yang berada di Magelang, Jawa Tengah.
Tapi tak lama sekolah di MOSVIA, Halim ikut wajib militer Belanda dan mendapat pendidikan sebagai operator torpedo di kapal Koninklijke Marine atau Angkatan Laut Belanda. Arena Perang Pasifik dengan Jepang yang menyerbu ke Hindia-Belanda pun turut diikutinya, hingga kapalnya sempat dibombardir di perairan Cilacap.
“Namanya belum ajal, Halim yang terapung-apung di laut lepas, diselamatkan kapal Inggris. Untuk selanjutnya, dibawa ke Australia dan kemudian di India, di mana dia bertemu Panglima Komando Armada Asia Tenggara, Laksamana Lord Louis Mountbatten,” jelas penggiat sejarah komunitas Djokjakarta 1945, Agung Surono Karsonoseputro kepada Okezone.
Ditambahkan Agung, Laksamana Mountbatten pada suatu ketika pernah terkesan dengan keterampilan seni lukis Halim, hingga ditawarkan pendidikan militer di Inggris. Jadilah Halim masuk pendidikan RCAF atau Angkatan Udara (AU) Kanada dan kemudian RAF (AU Inggris).
“Selesai pendidikan RCAF, Halim kembali ke induk pasukannya dengan pangkat Letnan Penerbang (Kapten Udara) di RAF dan terlibat dalam puluhan misi. Halim bahkan sempat dianggap juru selamat dan digelari ‘The Black Mascot’, jimat hitam,” tambahnya.
Sebagai navigator, Halim kala itu sudah dianggap sebagai salah satu navigator jempolan yang disegani. Disebutkan Agung, Halim sempat terlibat dalam 44 misi serangan udara membombardir Nazi Jerman, baik di wilayah Prancis maupun di wilayah Jerman sendiri dengan pesawat pembom Avro Lancaster dan B-24 Liberator.
“Sasaran utamanya ialah pusat-pusat industri Jerman. Serangan-serangan itu dilakukan pada siang dan malam hari. Pernah terjadi dalam perbangan kembali ke pangkalannya, skadronnya dicegat pesawat-pesawat Focke-Wulf. Terjadilah duel udara yang seru. Sekutu kehilangan tiga Pesawat B-17 (Flying Fortress) karena tembakan roket (pesawat) Jerman,” tandasnya.
Pasca-PD II, Halim yang pulang ke tanah air direkrut dengan tugas sebagai Perwira Operasi oleh Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) yang di era revolusi, masih dibangun Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) pertama, Komodor Udara Soerjadi Soerjadarma.
Namun kontribusi dan pengabdian Halim terhadap AURI dan republik yang saat itu masih bayi, tak berlangsung lama.
Dalam sebuah misi pembelian perlengkapan ke Siam (kini Thailand) bersama Iswahyudi, Halim yang ketika itu berpangkat Komodor Muda tewas dalam sebuah kecelakaan.
Pesawat Avro Anson VH-BBY (RI-003) yang ditumpanginya bersama Iswahyudi, jatuh yang diduga akibat cuaca buruk di Pantai Tanjung Hantu, Perak, Malaysia. Jasadnya sempat dikebumikan di Kampung Gunung Mesah, Malaysia.
Tapi kemudian dipulangkan dan dimakamkan kembali di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Kala itu, Halim yang secara anumerta diberi pangkat Marsekal Muda, masih berusia 25 tahun dan meninggalkan seorang istri, Koessadalina dan seorang putra, Ian Santoso. (raw)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.