Bagi saya memperingati 17 Agustus bukanlah sekadar upacara, lomba panjat pinang dan hura-hura, tapi juga soal harusnya kita mempertanyakan komitmen kita sebagai bangsa yang menghargai para pahlawannya. Ada berbagai hal yang membuat saya harus bertanya kembali soal ini.
Rumah saya di Cianjur dekat sekali jaraknya dengan Taman Makam Pahlawan. Begitu dekatnya, sehingga setiap ada tentara atau pejuang yang meninggal, gelegar tembakan salvo-nya dari rumah seolah terdengar di telinga. Saya ingat waktu kecil, jika ada pemakaman saya selalu berdiri di depan para prajurit penembak salvo, sekadar rebutan selongsong peluru yang dibuang usai pemakaman. Tentu saja bersama bocah-bocah lain juga Kakak perempuan saya yang paling besar setiap sore akan ke sana: memetik bunga-bunga kecil liar dan menjadikannya sebuah bando yang sangat manis.
Kami besar bersama Taman Makam Pahlawan itu. Jika senja tiba, kami senang berkumpul di depan tugunya, mengelilingi relief-relief yang ada di badan tugu dan membayangkan dengan kepala2 kecil kami tentang perjuangan orang-orang tua dulu yang tentunya berdarah-darah dan berurai air mata. Apalagi Ibu selalu cerita menjelang kami tidur: "Mereka yang ada di makam itu rela mati demi kita: anak dan cucunya. Mereka syahid dan masuk sorga".
"Bagaimana dengan orang yang kuburannya ada salibnya, Mah? Mereka juga masuk sorga?" tanya saya waktu itu.
Ibu saya tertegun sejenak. Tapi dengan tersenyum dan berkata mantap, ia bilang: "Ya mereka juga masuk sorga..." Saya lega waktu itu, karena tadinya saya membayangkan Ibu akan menjawab sebaliknya. Sungguh sayang jika mereka masuk neraka, pikir saya waktu itu .
Kemarin saya kembali berkunjung ke Taman Makam Pahlawan itu. Sedih rasanya. Saya ingat Bung Karno pernah bilang: "Bangsa yang besar adalah bangsa yang tau menghargai jasa pahlawan." Anehnya, saya tidak merasakan hal seperti itu kemarin: ketika suatu pagi yang ranum, saya berdiri di tengah deretan makam nan kusam dari orang-orang yang dianggap sebagai pahlawan di Cianjur,kota saya tercinta. Saya hanya merasa bahwa kita adalah bangsa yang kecil dalam jumlah besar, bangsa yang lebih tertarik memikirkan diri sendiri dan sibuk dalam intrik-intrik kotor demi kekuasaan. Saya ingat sekali seorang pejabat di kota saya pernah berkata dalam sebuah pidato memperingati Hari Pahlawan:"Kita ini orang Sunda adalah masyarakat terhormat, masyarakat yang tak pernah melupakan jasa-jasa mereka yang pernah berjuang buat kita..."
Hari ini di depan makam-makam kotor tak terawat itu, saya ingin kembali bertanya kepada diri saya dan kepada mereka semua: Bukankah hari-hari ini kita justru yang telah melupakan mereka? Bukankah hari-hari ini kita selalu memperlihatkan sikap pengecut, dengan bersikap tak mau tahu tentang apa yang terjadi dengan leluhur kita? Haruskah sejarah selalu berulang untuk dilupakan oleh seorang yang tak tahu malu? (hendijo)[Diposkan by Samuel Tirta]
★ Garuda Militer
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.