“Nenek moyangku seorang pelaut, gemar mengarungi luas samudera. Menerjang ombak tiada takut, baginya menempuh badai sudah biasa” Beginilah lirik lagu yang sering dengar saat menduduki bangku kanak-kanak. Sebuah gambaran potret kehidupan masa lampau Indonseia. [Jakartans]
INDONESIA yang di kenal oleh sejarah sebagai bangsa pengarung laut yang gagah berani dan pantang menyerah, tidak mengherankan jika di masa kerajaan Sriwijaya dan Majapahit, kedua kerajaan itu memiliki armada maritim yang sangat kuat. Sehingga disegani dan ditakuti oleh kerajaan lain pada masanya.
Posisi strategis negara kita berada di antara dua benua, Asia dan Australia serta diapit dua samudera, membuat kedua kerajaan beda generasi itu semakin berjaya bahkan wilayah kekuasaannya yang mencapai hampir seluruh Asia Tenggara. Seharusnya, sebagai bangsa yang mempunyai akar budaya maritim yang tangguh dan berani, pencaplokan wilayah di Negara ini tidak akan pernah terjadi. Namun, kondisi saat ini justru berbeda jauh dari kondisi masa lampau.
Pasca Pemerintahan Soekarno, perhatian Pemerintah terhadap sektor kelautan semakin menurun, bahkan cenderung di anak tirikan. Sarana dan fasilitas yang menjadi penunjang utama dalam mempertahankan tiap jengkal wilayah Indonesia masih sangat kurang. Komandan Gugus tempur Laut Armabar, Laksamana Pertama TNI Al A. Octavian, mengatakan “pertahanan kekuatan di wilayah perbatasan Indonesia masih sangat lemah. Dana yang terbatas menjadi kendala dalam memperkuat pertahanan keamanan wilayah kelautan Indonesia. Sehingga, mempengaruhi jumlah sarana yang dimiliki. Jumlah ideal kapal besar jenis freegate yang seharusnya dimiliki sebanyak 24 kapal untuk tiap-tiap daerah dalam satu tahun untuk menjamin keamanan wilayah karena negara kita kepulauan. Selain itu, fasilitas angkatan laut Indonesia yang sangat minim membuat banyaknya angka imigran gelap masuk melalui beberapa tempat di Indonesia, seperti pantai utara Jawa. Meskipun jumlah imigran yang masuk menurun dari tahun ke tahun,” katanya dalam acara ‘Final Preparation Conference Multilateral Naval Exercise Komodo 2014’, di Batam, beberapa waktu lalu.
Kondisi objektif pemerintahan Indonesia selama ini yang terlalu sibuk mengurusi bidang agraris, membuat gudang harta karun laut kita terabaikan. Luas wilayah Indonesia mencapai 7,7 juta kilometer persegi, terdiri dari 25 persen teritorial daratan (1,9 juta km2) dan 75 persen teritorial laut (5,8 juta km2). Dari luas wilayah laut tersebut, 2,8 juta km2 merupakan perairan nusantara (perairan kepulauan), 0,3 juta km2 laut teritorial, serta 2,7 juta km2 zona ekonomi eksklusif (ZEE). Jumlah pulau besar dan kecil mencapai lebih dari 17.504 buah. Sedangkan luas lahan pertanian semakin menyusut akibat pertumbuhan penduduk yang luar biasa besar. Tanpa maksud untuk mengesampingkan bidang agraris, sudah waktunya pemerintah memprioritaskan kebijakannya pada dunia kelautan.
Laksdya Desi Albert Mamahit yang merupakan Kalakhar Bakorkamla, pada saat acara focus group discussion dengan tema “Penjaga Poros Maritim dengan Sistem Deteksi Dini” di Batam, menyampaikan bahwa Indonesia dengan dua pertiga luas wilayahnya lautan, harus memperlakukan khusus berkaitan dengan keamanan laut dalam konteks concert civilization. Menurutnya, untuk mewujudkan negara maritim dan menjadikan poros maritim dunia, Indonesia wajib mewujudkan laut yang aman dari ancaman pelanggaran pihak luar, aman dari bahaya navigasi pelayaran, aman dari eksploitasi ilegal sumberdaya alam, pencemaran serta tindakan pelanggaran hukum. Oleh karena itu, unsur dukungan berupa armada niaga, kedinasan (Bakamla), logistik, angkatan laut dan angkatan pekerja maritim harus menjadi prioritas pemerintah.
Dalam pidato perdana yang disampaikan Jokowi pasca pelantikan Presiden dan Wakil Presiden di gedung DPR/MPR, senin (20/10/2014), pemerintahannya akan mengembalikan kejayaan maritim dengan menjadikan sebagai program prioritas nasional. Semoga pidato tersebut bukan pemanis politik belaka. Tapi kerja nyata yang mampu menjadi senjata pembangunan sarana pertahanan serta keamanan demi kemajuan bangsa dan negara Indonesia.(HA).
INDONESIA yang di kenal oleh sejarah sebagai bangsa pengarung laut yang gagah berani dan pantang menyerah, tidak mengherankan jika di masa kerajaan Sriwijaya dan Majapahit, kedua kerajaan itu memiliki armada maritim yang sangat kuat. Sehingga disegani dan ditakuti oleh kerajaan lain pada masanya.
Posisi strategis negara kita berada di antara dua benua, Asia dan Australia serta diapit dua samudera, membuat kedua kerajaan beda generasi itu semakin berjaya bahkan wilayah kekuasaannya yang mencapai hampir seluruh Asia Tenggara. Seharusnya, sebagai bangsa yang mempunyai akar budaya maritim yang tangguh dan berani, pencaplokan wilayah di Negara ini tidak akan pernah terjadi. Namun, kondisi saat ini justru berbeda jauh dari kondisi masa lampau.
Pasca Pemerintahan Soekarno, perhatian Pemerintah terhadap sektor kelautan semakin menurun, bahkan cenderung di anak tirikan. Sarana dan fasilitas yang menjadi penunjang utama dalam mempertahankan tiap jengkal wilayah Indonesia masih sangat kurang. Komandan Gugus tempur Laut Armabar, Laksamana Pertama TNI Al A. Octavian, mengatakan “pertahanan kekuatan di wilayah perbatasan Indonesia masih sangat lemah. Dana yang terbatas menjadi kendala dalam memperkuat pertahanan keamanan wilayah kelautan Indonesia. Sehingga, mempengaruhi jumlah sarana yang dimiliki. Jumlah ideal kapal besar jenis freegate yang seharusnya dimiliki sebanyak 24 kapal untuk tiap-tiap daerah dalam satu tahun untuk menjamin keamanan wilayah karena negara kita kepulauan. Selain itu, fasilitas angkatan laut Indonesia yang sangat minim membuat banyaknya angka imigran gelap masuk melalui beberapa tempat di Indonesia, seperti pantai utara Jawa. Meskipun jumlah imigran yang masuk menurun dari tahun ke tahun,” katanya dalam acara ‘Final Preparation Conference Multilateral Naval Exercise Komodo 2014’, di Batam, beberapa waktu lalu.
Kondisi objektif pemerintahan Indonesia selama ini yang terlalu sibuk mengurusi bidang agraris, membuat gudang harta karun laut kita terabaikan. Luas wilayah Indonesia mencapai 7,7 juta kilometer persegi, terdiri dari 25 persen teritorial daratan (1,9 juta km2) dan 75 persen teritorial laut (5,8 juta km2). Dari luas wilayah laut tersebut, 2,8 juta km2 merupakan perairan nusantara (perairan kepulauan), 0,3 juta km2 laut teritorial, serta 2,7 juta km2 zona ekonomi eksklusif (ZEE). Jumlah pulau besar dan kecil mencapai lebih dari 17.504 buah. Sedangkan luas lahan pertanian semakin menyusut akibat pertumbuhan penduduk yang luar biasa besar. Tanpa maksud untuk mengesampingkan bidang agraris, sudah waktunya pemerintah memprioritaskan kebijakannya pada dunia kelautan.
Laksdya Desi Albert Mamahit yang merupakan Kalakhar Bakorkamla, pada saat acara focus group discussion dengan tema “Penjaga Poros Maritim dengan Sistem Deteksi Dini” di Batam, menyampaikan bahwa Indonesia dengan dua pertiga luas wilayahnya lautan, harus memperlakukan khusus berkaitan dengan keamanan laut dalam konteks concert civilization. Menurutnya, untuk mewujudkan negara maritim dan menjadikan poros maritim dunia, Indonesia wajib mewujudkan laut yang aman dari ancaman pelanggaran pihak luar, aman dari bahaya navigasi pelayaran, aman dari eksploitasi ilegal sumberdaya alam, pencemaran serta tindakan pelanggaran hukum. Oleh karena itu, unsur dukungan berupa armada niaga, kedinasan (Bakamla), logistik, angkatan laut dan angkatan pekerja maritim harus menjadi prioritas pemerintah.
Dalam pidato perdana yang disampaikan Jokowi pasca pelantikan Presiden dan Wakil Presiden di gedung DPR/MPR, senin (20/10/2014), pemerintahannya akan mengembalikan kejayaan maritim dengan menjadikan sebagai program prioritas nasional. Semoga pidato tersebut bukan pemanis politik belaka. Tapi kerja nyata yang mampu menjadi senjata pembangunan sarana pertahanan serta keamanan demi kemajuan bangsa dan negara Indonesia.(HA).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.