SU35BM Flankers [defence24]☆
Pertarungan memperebutkan pasar jet tempur yang dibuka Indonesia semakin seru saja terutama sejak Amerika Serikat mengambil sikap serius untuk ikut meramaikan pasar alutsista jet tempur dengan satu pembeli, Indonesia. Sejak lama digadang-gadang bahwa jet tempur Sukhoi SU35 menjadi pilihan utama karena memiliki nilai debar dan getar yang membahana. Disamping itu untuk lebih memperkuat satuan alutsista Sukhoi yang sudah dimiliki Indonesia yaitu dari jenis SU27 dan SU30.
Pilihan terhadap Sukhoi SU35 dianggap memadai sebagai jawaban atas kedatangan jet tempur siluman F35 di Singapura dan Australia dalam waktu dekat. Memilih SU35 adalah dalam upaya menuju kesetaraan teknologi tempur udara. Menjaga wilayah udara RI yang luas, memang perlu jet tempur kelas berat, berteknologi tinggi dengan daya jelajah ribuan kilometer. Jika kita memilih dengan kebeningan nurani, tidak ada pembisik dan kecerdasan cara pandang maka sudah tentu Sukhoi SU35 memang pantas mengisi ruang udara negeri ini.
Pesaing Rusia yang perlu diawasi ketat oleh sales dan marketer Sukhoi adalah AS yang menawarkan jet tempur F16 blok 60. Marketing F16 tentu sangat lihai memainkan kartu tawar dan boleh jadi bisa menyalip di tikungan akhir grand prix jet tempur. Kita sudah akrab dengan jet tempur F16 sejak era akhir tahun delapan puluhan. Sakit hatinya kita terhadap alutsista AS dan sekutunya adalah pil pahit embargo satu dekade yang lalu. Mestinya kita harus mengambil pengalaman itu sebagai bagian dari analisis kurang lebih yang menjadi tolok ukur penawaran dan keputusan membeli.
Sesungguhnya teknologi Sukhoi adalah “mata rantai” yang terputus yang tidak bisa masuk dalam bingkai pantauan dan remote barat. Contoh dekatnya ketika kita diundang untuk membawa Sukhoi ke Pitch Black di Australia beberapa tahun lalu, pesta penyambutan khusus untuk tamu yang bernama Sukhoi sangat luar biasa, diikuti “rekam jejaknya” sejak masuk perairan Darwin. Mereka haus dengan informasi dan postur Sukhoi. Segala manuver diamati ketat termasuk dalam seri-seri latihan tempur di even yang diikuti AS dan Singapura itu. Jangan lupa mesti sifatnya latihan sesungguhnya shohibul bait sedang mengintip ketangguhan sekaligus kelemahan pesawat tempur Sukhoi untuk kemudian disimpan dalam bank data militer Australia. F16 Block 60 [F16.net]☆
Makanya mata rantai yang terputus itu justru menjadi kelebihan jika kita memilih Sukhoi. Paling tidak membuat rasa penasaran dan menebak-nebak kehebatan dan kelemahan teknologi Sukhoi terkini, sudah menjadi beban pikiran ahli strategi militer negara sekutu. Sebaliknya jika kita memilih F16 atau teknologi barat jelas “rekam jejaknya” bahkan remotenya sudah tersimpan di bank data militer AS. Kita perlu menambah kuantitas dan kualitas jet tempur Sukhoi, kalau hanya berharap dari 1 skuadron yang dimiliki saat ini jelas masih kurang.
Tetapi sesungguhnya kita bukan hanya sedang berupaya mengganti jet tempur F-5 Tiger. Dalam MEF 2 ini sesungguhnya kita masih perlu penambahan minimal 2 skuadron tempur diluar penggantian itu. Maka kalau melihat dari urutan kebutuhan skuadron tempur itu ada peluang untuk mengisi 3 skuadron. Oleh sebab itu jika memang ingin penyederhanaan “merek” alutsista ambil saja kedua-duanya, Sukhoi SU35 dan F16 blok 60. Sehingga nantinya kombinasi akhir kompetisi MEF2 kekuatan TNI AU dengan 2 skuadron Sukhoi family dan 4 skuadron F16 beserta skuadron tempur lainnya.
Rusia adalah sahabat kita, sementara AS juga demikian meski lebih suka mendikte. Tapi kalau mau jujur sesungguhnya AS banyak membantu kita terutama dalam bidang kemanusiaan dan bencana alam. Kalau kita ingin bermain cantik maka gaulilah keduanya dengan cerdas sementara dengan Cina mulailah pasang kuda-kuda secara militer meski secara diplomasi tetap harus pasang muka senyum. Arogansi militer Cina di Laut Cina Selatan semakin hari semakin membuat kita antipati dan sekaligus waspada. Meski saat ini kita netral tapi bisa saja demi solidaritas ASEAN kita harus memilih kawan yang sebenarnya.
Dalam rangka berhadapan dengan Cina itulah kita harus memperkuat AL dan AU kita. Pilihan terhadap Sukhoi dan F16 adalah penggambaran sikap tidak harus setia pada satu hati tetapi juga dalam rangka penyederhanaan jenis pesawat. Itu sebabnya kita tidak memasukkan Gripen dan Typhoon dalam analisis ini karena penyederhanaan merek dan pengalaman memakai 2 jet tempur Sukhoi dan F16 tentu menjadi nilai tambah keduanya. Tetapi sekali lagi bisa saja Gripen dan Typhoon yang memenangi pertarungan ini di putaran akhir. Semua tergantung siapa yang membawanya, siapa yang dibelakangnya, siapa negara dibelakangnya, dan siapa yang mampu meyakinkan. Dan yang diyakinkan yakin seyakin-yakinnya bukan yakin karena ada yang mau diyakinkan.
****
Jagarin Pane / 04 Feb 2015
Pertarungan memperebutkan pasar jet tempur yang dibuka Indonesia semakin seru saja terutama sejak Amerika Serikat mengambil sikap serius untuk ikut meramaikan pasar alutsista jet tempur dengan satu pembeli, Indonesia. Sejak lama digadang-gadang bahwa jet tempur Sukhoi SU35 menjadi pilihan utama karena memiliki nilai debar dan getar yang membahana. Disamping itu untuk lebih memperkuat satuan alutsista Sukhoi yang sudah dimiliki Indonesia yaitu dari jenis SU27 dan SU30.
Pilihan terhadap Sukhoi SU35 dianggap memadai sebagai jawaban atas kedatangan jet tempur siluman F35 di Singapura dan Australia dalam waktu dekat. Memilih SU35 adalah dalam upaya menuju kesetaraan teknologi tempur udara. Menjaga wilayah udara RI yang luas, memang perlu jet tempur kelas berat, berteknologi tinggi dengan daya jelajah ribuan kilometer. Jika kita memilih dengan kebeningan nurani, tidak ada pembisik dan kecerdasan cara pandang maka sudah tentu Sukhoi SU35 memang pantas mengisi ruang udara negeri ini.
Pesaing Rusia yang perlu diawasi ketat oleh sales dan marketer Sukhoi adalah AS yang menawarkan jet tempur F16 blok 60. Marketing F16 tentu sangat lihai memainkan kartu tawar dan boleh jadi bisa menyalip di tikungan akhir grand prix jet tempur. Kita sudah akrab dengan jet tempur F16 sejak era akhir tahun delapan puluhan. Sakit hatinya kita terhadap alutsista AS dan sekutunya adalah pil pahit embargo satu dekade yang lalu. Mestinya kita harus mengambil pengalaman itu sebagai bagian dari analisis kurang lebih yang menjadi tolok ukur penawaran dan keputusan membeli.
Sesungguhnya teknologi Sukhoi adalah “mata rantai” yang terputus yang tidak bisa masuk dalam bingkai pantauan dan remote barat. Contoh dekatnya ketika kita diundang untuk membawa Sukhoi ke Pitch Black di Australia beberapa tahun lalu, pesta penyambutan khusus untuk tamu yang bernama Sukhoi sangat luar biasa, diikuti “rekam jejaknya” sejak masuk perairan Darwin. Mereka haus dengan informasi dan postur Sukhoi. Segala manuver diamati ketat termasuk dalam seri-seri latihan tempur di even yang diikuti AS dan Singapura itu. Jangan lupa mesti sifatnya latihan sesungguhnya shohibul bait sedang mengintip ketangguhan sekaligus kelemahan pesawat tempur Sukhoi untuk kemudian disimpan dalam bank data militer Australia. F16 Block 60 [F16.net]☆
Makanya mata rantai yang terputus itu justru menjadi kelebihan jika kita memilih Sukhoi. Paling tidak membuat rasa penasaran dan menebak-nebak kehebatan dan kelemahan teknologi Sukhoi terkini, sudah menjadi beban pikiran ahli strategi militer negara sekutu. Sebaliknya jika kita memilih F16 atau teknologi barat jelas “rekam jejaknya” bahkan remotenya sudah tersimpan di bank data militer AS. Kita perlu menambah kuantitas dan kualitas jet tempur Sukhoi, kalau hanya berharap dari 1 skuadron yang dimiliki saat ini jelas masih kurang.
Tetapi sesungguhnya kita bukan hanya sedang berupaya mengganti jet tempur F-5 Tiger. Dalam MEF 2 ini sesungguhnya kita masih perlu penambahan minimal 2 skuadron tempur diluar penggantian itu. Maka kalau melihat dari urutan kebutuhan skuadron tempur itu ada peluang untuk mengisi 3 skuadron. Oleh sebab itu jika memang ingin penyederhanaan “merek” alutsista ambil saja kedua-duanya, Sukhoi SU35 dan F16 blok 60. Sehingga nantinya kombinasi akhir kompetisi MEF2 kekuatan TNI AU dengan 2 skuadron Sukhoi family dan 4 skuadron F16 beserta skuadron tempur lainnya.
Rusia adalah sahabat kita, sementara AS juga demikian meski lebih suka mendikte. Tapi kalau mau jujur sesungguhnya AS banyak membantu kita terutama dalam bidang kemanusiaan dan bencana alam. Kalau kita ingin bermain cantik maka gaulilah keduanya dengan cerdas sementara dengan Cina mulailah pasang kuda-kuda secara militer meski secara diplomasi tetap harus pasang muka senyum. Arogansi militer Cina di Laut Cina Selatan semakin hari semakin membuat kita antipati dan sekaligus waspada. Meski saat ini kita netral tapi bisa saja demi solidaritas ASEAN kita harus memilih kawan yang sebenarnya.
Dalam rangka berhadapan dengan Cina itulah kita harus memperkuat AL dan AU kita. Pilihan terhadap Sukhoi dan F16 adalah penggambaran sikap tidak harus setia pada satu hati tetapi juga dalam rangka penyederhanaan jenis pesawat. Itu sebabnya kita tidak memasukkan Gripen dan Typhoon dalam analisis ini karena penyederhanaan merek dan pengalaman memakai 2 jet tempur Sukhoi dan F16 tentu menjadi nilai tambah keduanya. Tetapi sekali lagi bisa saja Gripen dan Typhoon yang memenangi pertarungan ini di putaran akhir. Semua tergantung siapa yang membawanya, siapa yang dibelakangnya, siapa negara dibelakangnya, dan siapa yang mampu meyakinkan. Dan yang diyakinkan yakin seyakin-yakinnya bukan yakin karena ada yang mau diyakinkan.
****
Jagarin Pane / 04 Feb 2015
♖ Analisaalutsista
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.