Kunjungan Perdana Menteri Irak Haider Al-Abadi ke Moskow tak terlalu mendapat perhatian dunia karena bersamaan dengan maraknya pemberitaan mengenai serangan terbaru ISIS dan pendudukan kota Ramadi—ibukota dari provinsi yang krusial Anbar—oleh organisasi teroris tersebut. Frustrasi karena Presiden AS Barack Obama tak mengambil langkah tegas, Baghdad berbalik arah ke Moskow untuk mencari bantuan. Saat kunjungan Perdana Menteri Irak Haider Al-Abadi ke Moskow. [EPA]
Dengan menyebarkan pasukan elit Divisi Emas dan mengepung markas Brigade ke-8 yang berada di dekat Ramadi, militan ISIS membuktikan bahwa senjata dan semangat mereka tak memudar sedikit pun, malah sebaliknya justru lebih kuat dibanding pihak lawan. Tekad mereka untuk merealisasikan kekhalifahan Islam pun kian tak terbendung.
Menteri Dalam Negeri Irak Mohammed Ghabban mempermalukan pasukan bersenjata Irak yang dilatih AS dan menyebutkan kini Baghdad menaruh harapan pada kesiapan Moskow untuk memasok senjata dan amunisi bagi Irak. "Kami tak bisa bergantung hanya pada satu jenis senjata dari satu negara tertentu," kata Ghabban dalam wawancara dengan salah satu stasiun televisi Rusia. Ia juga mengakui bahwa Irak menyambut hangat rencana pelatihan untuk kepolisian dan militer Irak oleh Rusia untuk melawan ISIS.
Perdana Menteri Al-Abadi mendesak Rusia untuk meningkatkan keterlibatannya dalam memerangi ISIS. Permintaan tersebut sama seperti pesan Al-Abadi pada Washington ketika ia mengunjungi AS bulan lalu. Ia meminta AS untuk meningkatkan intensitas perlawanan terhadap para pasukan jihad. Al-Abadi mengaku sebelumnya ia mendapat tekanan sehingga ia tak mengacuhkan rencana untuk meminta bantuan Moskow. Namun kini, ia mengabaikan tekanan itu.
Seberapa benar kebijakan Rusia yang lebih asertif dan proaktif di Irak? Seberapa bijak langkah Rusia meningkatkan pasokan senjata dan amunisi untuk Baghdad? Ini adalah isu yang sangat politis yang ditanggapi beragam oleh para pakar Rusia.
Grigory Kosach, Profesor Studi Oriental di Russian State University for Humanities, dan kritikus setia kebijakan luar negeri Kremlin, menentang hasrat Moskow untuk memasok senjata pada rezim Irak saat ini. Ia menyampaikan pada Troika Report:
"Amerika Serikat dan negara-negara Barat lain selalu menyinggung buruknya rezim Baghdad terkait pelanggaran hak asasi manusia, kurangnya perwakilan Sunni di institusi pemerintahan, penyalahgunaan milisi Syiah, dan lain-lain. Rusia tak melakukan hal semacam itu. Rusia hanya menjual senjata untuk siapa saja di wilayah tersebut yang siap membayar dengan harga tinggi."
Namun, pandangan tersebut berbeda dengan opini Yevgeny Satanovsky, Presiden Institute of Middle East Studies yang berbasis di Moskow, yang menjelaskan nilai dari kerja sama militer teknis Rusia dengan Irak pada Troika Report sebagai berikut:
"Satu-satunya negara yang secara resmi mendukung Baghdad dengan memasok peralatan militer saat Irak menghadapi ancaman dari ISIS adalah Rusia. Hanya pesawat, artileri, dan tank Rusia yang saat ini digunakan untuk mencegah ISIS meluncurkan serangan ke area tertentu di Irak. Tak peduli siapa yang menggunakan senjata Rusia, baik Irak, Iran, atau Bashar al-Assad di Suriah, Rusia berkontribusi untuk melawan kelompok Islam radikal itu."
"Rusia adalah satu-satunya negara yang berjanji mendukung Irak dan benar-benar melakukannya."
Kunjungan Perdana Menteri Irak Al-Abadi ke Moscow tentu berjalan dengan baik sehingga membuat Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov memberi dukungan penuh untuk memerangi militan ISIS. "Kami akan mencoba untuk memenuhi semua permintaan Irak dalam memaksimalkan kapabilitas pertahanan mereka dan kemampuan untuk memerangi ISIS dan teroris lain di wilayah tersebut," kata Lavrov. Ia juga menyebutkan bahwa Rusia akan memasok senjata ke Irak tanpa syarat tertentu.
Tahun lalu, Rusia mengirim senjata dan amunisi senilai 1,7 miliar dolar AS untuk Irak, menyediakan unit artileri antipesawat Pantsir-S1, helikopter serang Mil Mi-35M, dan pesawat tempur Sukhoi Su-25 bagi pasukan bersenjata Irak.
Menanggapi permohonan Al-Abadi ke Moskow terkait pasokan senjata, juru bicara Kementerian Luar Negeri AS Marie Harf menyatakan Irak punya hak untuk membeli peralatan militer dari Rusia demi mempertahankan keamanan mereka.
Pernyataan yang terdengar positif tersebut dapat diintepretasikan sebagai penyesuaian antara Washington dan Moskow terkait ancaman regional dan global yang datang dari ISIS.
Dengan menyebarkan pasukan elit Divisi Emas dan mengepung markas Brigade ke-8 yang berada di dekat Ramadi, militan ISIS membuktikan bahwa senjata dan semangat mereka tak memudar sedikit pun, malah sebaliknya justru lebih kuat dibanding pihak lawan. Tekad mereka untuk merealisasikan kekhalifahan Islam pun kian tak terbendung.
Menteri Dalam Negeri Irak Mohammed Ghabban mempermalukan pasukan bersenjata Irak yang dilatih AS dan menyebutkan kini Baghdad menaruh harapan pada kesiapan Moskow untuk memasok senjata dan amunisi bagi Irak. "Kami tak bisa bergantung hanya pada satu jenis senjata dari satu negara tertentu," kata Ghabban dalam wawancara dengan salah satu stasiun televisi Rusia. Ia juga mengakui bahwa Irak menyambut hangat rencana pelatihan untuk kepolisian dan militer Irak oleh Rusia untuk melawan ISIS.
Perdana Menteri Al-Abadi mendesak Rusia untuk meningkatkan keterlibatannya dalam memerangi ISIS. Permintaan tersebut sama seperti pesan Al-Abadi pada Washington ketika ia mengunjungi AS bulan lalu. Ia meminta AS untuk meningkatkan intensitas perlawanan terhadap para pasukan jihad. Al-Abadi mengaku sebelumnya ia mendapat tekanan sehingga ia tak mengacuhkan rencana untuk meminta bantuan Moskow. Namun kini, ia mengabaikan tekanan itu.
Seberapa benar kebijakan Rusia yang lebih asertif dan proaktif di Irak? Seberapa bijak langkah Rusia meningkatkan pasokan senjata dan amunisi untuk Baghdad? Ini adalah isu yang sangat politis yang ditanggapi beragam oleh para pakar Rusia.
Grigory Kosach, Profesor Studi Oriental di Russian State University for Humanities, dan kritikus setia kebijakan luar negeri Kremlin, menentang hasrat Moskow untuk memasok senjata pada rezim Irak saat ini. Ia menyampaikan pada Troika Report:
"Amerika Serikat dan negara-negara Barat lain selalu menyinggung buruknya rezim Baghdad terkait pelanggaran hak asasi manusia, kurangnya perwakilan Sunni di institusi pemerintahan, penyalahgunaan milisi Syiah, dan lain-lain. Rusia tak melakukan hal semacam itu. Rusia hanya menjual senjata untuk siapa saja di wilayah tersebut yang siap membayar dengan harga tinggi."
Namun, pandangan tersebut berbeda dengan opini Yevgeny Satanovsky, Presiden Institute of Middle East Studies yang berbasis di Moskow, yang menjelaskan nilai dari kerja sama militer teknis Rusia dengan Irak pada Troika Report sebagai berikut:
"Satu-satunya negara yang secara resmi mendukung Baghdad dengan memasok peralatan militer saat Irak menghadapi ancaman dari ISIS adalah Rusia. Hanya pesawat, artileri, dan tank Rusia yang saat ini digunakan untuk mencegah ISIS meluncurkan serangan ke area tertentu di Irak. Tak peduli siapa yang menggunakan senjata Rusia, baik Irak, Iran, atau Bashar al-Assad di Suriah, Rusia berkontribusi untuk melawan kelompok Islam radikal itu."
"Rusia adalah satu-satunya negara yang berjanji mendukung Irak dan benar-benar melakukannya."
Kunjungan Perdana Menteri Irak Al-Abadi ke Moscow tentu berjalan dengan baik sehingga membuat Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov memberi dukungan penuh untuk memerangi militan ISIS. "Kami akan mencoba untuk memenuhi semua permintaan Irak dalam memaksimalkan kapabilitas pertahanan mereka dan kemampuan untuk memerangi ISIS dan teroris lain di wilayah tersebut," kata Lavrov. Ia juga menyebutkan bahwa Rusia akan memasok senjata ke Irak tanpa syarat tertentu.
Tahun lalu, Rusia mengirim senjata dan amunisi senilai 1,7 miliar dolar AS untuk Irak, menyediakan unit artileri antipesawat Pantsir-S1, helikopter serang Mil Mi-35M, dan pesawat tempur Sukhoi Su-25 bagi pasukan bersenjata Irak.
Menanggapi permohonan Al-Abadi ke Moskow terkait pasokan senjata, juru bicara Kementerian Luar Negeri AS Marie Harf menyatakan Irak punya hak untuk membeli peralatan militer dari Rusia demi mempertahankan keamanan mereka.
Pernyataan yang terdengar positif tersebut dapat diintepretasikan sebagai penyesuaian antara Washington dan Moskow terkait ancaman regional dan global yang datang dari ISIS.
♘ RBTH
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.