Isu LCS [AFP] ☆
Pemerintah Jepang berharap Indonesia lewat Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, bisa melakukan sesuatu yang lebih terkait isu Laut China Selatan (LCS) karena menyangkut kepentingan banyak negara ASEAN. Jepang menilai Indonesia terlalu pendiam terkait konflik tersebut, padahal Indonesia bisa memainkan peran penting untuk mengatur posisi ASEAN.
“Dua minggu lalu, Ibu Retno melakukan pidato kebijakan luar negeri. Dia dengan jelas mengatakan Pulau Natuna milik Indonesia. Itu saja, tidak lebih. Tidak ada pesan lagi terkait isu itu. Kami berharap ada lebih dari itu,” kata Wakil Duta Besar Jepang untuk Indonesia, Kozo Honsei, saat berkunjung ke kantor Berita Satu Media Holdings di Jakarta, Rabu (20/1).
Kozo mengatakan Indonesia memang bukan salah satu pihak yang bersengketa dalam LCS, tapi bukan tidak mungkin ekskalasi konflik meluas sampai Indonesia. Negara ASEAN yang terlibat langsung konflik itu antara lain Filipina dan Vietnam.
"Saya pikir, Indonesia tidak hanya punya sekretariat ASEAN di Jakarta, tapi juga kekuatan kebijakan luar negeri tradisional yang bisa dipakai untuk mengatur posisi kuat (ASEAN) dalam isu ini," kata Kozo, yang baru menempati jabatannya sebagai wakil dubes.
Dia menambahkan konflik LCS pertama kali didiskusikan di tataran ASEAN atas inisiatif Mantan Menlu RI Marty Natalegawa. Menurutnya, Marty kala itu bersikap lebih aktif untuk berkoordinasi dengan banyak bangsa ASEAN.
“Mungkin negara lain seperti Indonesia akan mengalami konflik seperti itu di masa depan jika mereka tidak melakukan apa pun,” katanya.
Kozo mengatakan Tiongkok sedang berusaha memperluas lautnya, sehingga nantinya kapal ikan Tiongkok pun bisa datang ke Indonesia. “Zona ekonomi eksklusif Indonesia bisa menjadi kawasan yang kontroversial,” ujarnya.
Menurutnya, Jepang mungkin saja membawa perselisihan LCS ke pengadilan internasional seperti yang dilakukan oleh Filipina. “Kami harus melakukan sesuatu,” tambahnya.
Sekretaris Kedua Bidang Informasi dan Kebudayaan Kedutaan Besar Jepang di Indonesia, Eriko Nakano, mengatakan Indonesia bisa memainkan peran penting untuk menjembatani ASEAN dan Tiongkok. Dia mengatakan isu LCS seharusnya tetap dibicarakan, meskipun hubungan ekonomi antara Indonesia dan Tiongkok sangat erat.
“Kami khawatir, Indonesia tetap pendiam tentang isu LCS ini. Tapi seharusnya melakukan sesuatu atau sikap lebih tegas, lebih jelas tentang isu ini,” kata Eriko, yang ikut mendampingi dalam kunjungan ke kantor Berita Satu.
Parlemen RI Lakukan Pertemuan Bilateral dengan Parlemen Tiongkok
Wakil Ketua DPR RI, Fadli Zon, bersama anggota BKSAP dari Fraksi Golkar, Dwi Aroem Hadiati, dan Dubes RI untuk Kanada, Teuku Faizasyah, saat melaksanakan pertemuan bilateral dengan Parlemen Tiongkok, di Vancouver, Kanada. (Beritasatu.com/Markus Junianto Sihaloho)
Delegasi Parlemen Indonesia melaksanakan pertemuan bilateral dengan Delegasi Parlemen Tiongkok yang dilaksanakan di sela-sela pelaksanaan Forum Parlemen Asia Pasifik atau Asia Pacific Parliamentary Forum (APPF) ke-24 di Hotel Westin, Vancouver.
Delegasi Indonesia dipimpin oleh Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon, ditemani legislator Fraksi Golkar, Dwi Aroem Hadiati. Dubes RI untuk Kanada, Teuku Faizasyah, juga ikut hadir di pertemuan itu.
Berbicara usai pertemuan yang tertutup itu, Rabu (20/1), Fadli Zon menjelaskan bahwa kedua belah pihak sama-sama sepakat akan pentingnya hubungan kedua negara.
"Dari pihak Tiongkok menyampaikan bagaimana pentingnya hubungan kedua negara. Bahwa Tiongkok juga mitra penting Indonesia karena kerja sama bidang ekonomi dan infrastruktur makin banyak. Terutama investasi Tiongkok kan banyak sekali di Indonesia," kata Fadli.
Ditekankan juga bahwa hubungan perdagangan dan politik, sejarah dan budaya, membuktikan Tiongkok adalah mitra penting Indonesia dan ASEAN.
"Kita sampaikan kita sepakat. Bahkan kita mendukung Bank Infrastruktur Asia yang diinisiasi Tiongkok. Selain itu gagasan poros maritim abad 21 digagas Tiongkok juga kita akui," kata Fadli.
Di pertemuan itu, Parlemen Indonesia menekankan bahwa Indonesia ingin melihat ada peningkatan nilai perdagangan Indonesia ke Tiongkok. Karena selama ini, Indonesia selalu memiliki defisit neraca perdagangan dengan Tiongkok.
Pada kesempatan itu, DPR RI juga berjanji akan memenuhi undangan berkali-kali dari Parlemen Tiongkok untuk berkunjung ke negara itu. "Mereka sudah dua kali mengundang secara resmi. Mereka sudah berkali-kali ke Indonesia. Kita belum sempat menghadiri. Nanti akan dijadwal kembali untuk kunjungan delegasi resmi DPR ke Tiongkok," jelasnya.
Menurut Fadli, dari hasil pertemuan dengan Parlemen China itu, Pemerintah harus bersedia mengakui bahwa Indonesia cukup tergantung pada Tiongkok. Maka Indonesia perlu ada keseimbangan.
"Kita harus tingkatkan juga investasi negara lain di Indonesia seperti dari Jepang, Eropa, dan AS. Harus ada diversifikasi. Sehingga ketika ada apa-apa dengan salah satu negara, kita masih aman," jelas Fadli.
Sementara soal isu Laut China Selatan, diakui Fadli bahwa hal itu tak terlalu disinggung di dalam pertemuan bilateral itu. "Sejauh ini, tentu leading diplomacy ada di Kementerian Luar Negeri RI. Saya kira sudah banyak usaha-usaha untuk melobi soal itu. Yang pasti DPR berharap Indonesia harus slebih proaktif, terutama jangan sampai ada konflik," ujarnya.
Pemerintah Jepang berharap Indonesia lewat Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, bisa melakukan sesuatu yang lebih terkait isu Laut China Selatan (LCS) karena menyangkut kepentingan banyak negara ASEAN. Jepang menilai Indonesia terlalu pendiam terkait konflik tersebut, padahal Indonesia bisa memainkan peran penting untuk mengatur posisi ASEAN.
“Dua minggu lalu, Ibu Retno melakukan pidato kebijakan luar negeri. Dia dengan jelas mengatakan Pulau Natuna milik Indonesia. Itu saja, tidak lebih. Tidak ada pesan lagi terkait isu itu. Kami berharap ada lebih dari itu,” kata Wakil Duta Besar Jepang untuk Indonesia, Kozo Honsei, saat berkunjung ke kantor Berita Satu Media Holdings di Jakarta, Rabu (20/1).
Kozo mengatakan Indonesia memang bukan salah satu pihak yang bersengketa dalam LCS, tapi bukan tidak mungkin ekskalasi konflik meluas sampai Indonesia. Negara ASEAN yang terlibat langsung konflik itu antara lain Filipina dan Vietnam.
"Saya pikir, Indonesia tidak hanya punya sekretariat ASEAN di Jakarta, tapi juga kekuatan kebijakan luar negeri tradisional yang bisa dipakai untuk mengatur posisi kuat (ASEAN) dalam isu ini," kata Kozo, yang baru menempati jabatannya sebagai wakil dubes.
Dia menambahkan konflik LCS pertama kali didiskusikan di tataran ASEAN atas inisiatif Mantan Menlu RI Marty Natalegawa. Menurutnya, Marty kala itu bersikap lebih aktif untuk berkoordinasi dengan banyak bangsa ASEAN.
“Mungkin negara lain seperti Indonesia akan mengalami konflik seperti itu di masa depan jika mereka tidak melakukan apa pun,” katanya.
Kozo mengatakan Tiongkok sedang berusaha memperluas lautnya, sehingga nantinya kapal ikan Tiongkok pun bisa datang ke Indonesia. “Zona ekonomi eksklusif Indonesia bisa menjadi kawasan yang kontroversial,” ujarnya.
Menurutnya, Jepang mungkin saja membawa perselisihan LCS ke pengadilan internasional seperti yang dilakukan oleh Filipina. “Kami harus melakukan sesuatu,” tambahnya.
Sekretaris Kedua Bidang Informasi dan Kebudayaan Kedutaan Besar Jepang di Indonesia, Eriko Nakano, mengatakan Indonesia bisa memainkan peran penting untuk menjembatani ASEAN dan Tiongkok. Dia mengatakan isu LCS seharusnya tetap dibicarakan, meskipun hubungan ekonomi antara Indonesia dan Tiongkok sangat erat.
“Kami khawatir, Indonesia tetap pendiam tentang isu LCS ini. Tapi seharusnya melakukan sesuatu atau sikap lebih tegas, lebih jelas tentang isu ini,” kata Eriko, yang ikut mendampingi dalam kunjungan ke kantor Berita Satu.
Parlemen RI Lakukan Pertemuan Bilateral dengan Parlemen Tiongkok
Wakil Ketua DPR RI, Fadli Zon, bersama anggota BKSAP dari Fraksi Golkar, Dwi Aroem Hadiati, dan Dubes RI untuk Kanada, Teuku Faizasyah, saat melaksanakan pertemuan bilateral dengan Parlemen Tiongkok, di Vancouver, Kanada. (Beritasatu.com/Markus Junianto Sihaloho)
Delegasi Parlemen Indonesia melaksanakan pertemuan bilateral dengan Delegasi Parlemen Tiongkok yang dilaksanakan di sela-sela pelaksanaan Forum Parlemen Asia Pasifik atau Asia Pacific Parliamentary Forum (APPF) ke-24 di Hotel Westin, Vancouver.
Delegasi Indonesia dipimpin oleh Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon, ditemani legislator Fraksi Golkar, Dwi Aroem Hadiati. Dubes RI untuk Kanada, Teuku Faizasyah, juga ikut hadir di pertemuan itu.
Berbicara usai pertemuan yang tertutup itu, Rabu (20/1), Fadli Zon menjelaskan bahwa kedua belah pihak sama-sama sepakat akan pentingnya hubungan kedua negara.
"Dari pihak Tiongkok menyampaikan bagaimana pentingnya hubungan kedua negara. Bahwa Tiongkok juga mitra penting Indonesia karena kerja sama bidang ekonomi dan infrastruktur makin banyak. Terutama investasi Tiongkok kan banyak sekali di Indonesia," kata Fadli.
Ditekankan juga bahwa hubungan perdagangan dan politik, sejarah dan budaya, membuktikan Tiongkok adalah mitra penting Indonesia dan ASEAN.
"Kita sampaikan kita sepakat. Bahkan kita mendukung Bank Infrastruktur Asia yang diinisiasi Tiongkok. Selain itu gagasan poros maritim abad 21 digagas Tiongkok juga kita akui," kata Fadli.
Di pertemuan itu, Parlemen Indonesia menekankan bahwa Indonesia ingin melihat ada peningkatan nilai perdagangan Indonesia ke Tiongkok. Karena selama ini, Indonesia selalu memiliki defisit neraca perdagangan dengan Tiongkok.
Pada kesempatan itu, DPR RI juga berjanji akan memenuhi undangan berkali-kali dari Parlemen Tiongkok untuk berkunjung ke negara itu. "Mereka sudah dua kali mengundang secara resmi. Mereka sudah berkali-kali ke Indonesia. Kita belum sempat menghadiri. Nanti akan dijadwal kembali untuk kunjungan delegasi resmi DPR ke Tiongkok," jelasnya.
Menurut Fadli, dari hasil pertemuan dengan Parlemen China itu, Pemerintah harus bersedia mengakui bahwa Indonesia cukup tergantung pada Tiongkok. Maka Indonesia perlu ada keseimbangan.
"Kita harus tingkatkan juga investasi negara lain di Indonesia seperti dari Jepang, Eropa, dan AS. Harus ada diversifikasi. Sehingga ketika ada apa-apa dengan salah satu negara, kita masih aman," jelas Fadli.
Sementara soal isu Laut China Selatan, diakui Fadli bahwa hal itu tak terlalu disinggung di dalam pertemuan bilateral itu. "Sejauh ini, tentu leading diplomacy ada di Kementerian Luar Negeri RI. Saya kira sudah banyak usaha-usaha untuk melobi soal itu. Yang pasti DPR berharap Indonesia harus slebih proaktif, terutama jangan sampai ada konflik," ujarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.