Ilustrasi ★
Wakil Ketua Komisi I DPR, Asril Tanjung, mengatakan, kesepakatan DPR dan pemerintah membeli satelit pertahanan negara yang pengadaannya paling lambat 2018 ini tercapai. Pembelian satelit pertahanan sangat penting.
"Intinya selama ini kita memakai satelit asing untuk kepentingan keamanan negara. Itu seharusnya kita bisa punya sendiri yang bisa kita atur operasionalnya secara bebas karena ini menyangkut ketahanan dan pertahanan negara," kata Tanjung, di Jakarta, Rabu (28/9).
Dia mengatakan, kesepakatan itu diambil berdasarkan rapat kerja yang beberapa kali diadakan, dan semua pihak menyetujui pengadaannya baik itu menteri keuangan selaku pengucuran dananya dan menteri komunikasi dan informatika selaku pengatur hak patennya.
Menurut dia, apabila masih menyewa satelit pertahanan dari negara lain maka negara lain yang mengoperasikannya dan tentu akan berbahaya untuk keamanan nasional Indonesia.
"Perlu dipercepat pengadaannya agar Indonesia tidak kehilangan orbit satelit," ujarnya.
Selama ini Indonesia meminjam negara lain seperti Australia dan Amerika Serikat dengan sistem sewa dan selain itu, kerap kali Indonesia memanfaatkan satelit komunkasi Garuda-1 milik Asia Cellular Satellite buatan Lockheed Martin, Amerika Serikat.
Namun satelit Garuda-1 kini telah digeser dengan alasan ada sistemnya yang tidak beres sehingga harus segera diisi yang baru.
"Oleh karena itu ini perlu dipercepat supaya kita tidak kehilangan hak atas orbit 123 bujur timur karena itu kami kebut pertemuan rapat dengar pendapat termasuk dengan sekjen Kemenkeu," katanya.
Asril mengatakan, pengadaan satelit ini dari aspek strategis juga tidak bisa ditawar karena sesuai aturan Internasional Telekomunikasi Dunia atau ITU sejak satelit Indonesia, Garuda-1, dinyatakan de-orbit Januari 2015, maka Indonesia harus mengisi slot orbit 123 Bujur Timur dengan satelit L-band paling lambat Januari 2018.
Menurut politikus Partai Gerindra itu, apabila tidak dilakukan, Indonesia akan kehilangan hak atas alokasi spektrum L-band tersebut selama-lamanya.
"Nantinya Indonesia bisa amankan negara atas kemauan sendiri dan pihak Kementerian Pertahanan yang akan mengoperasikannya. Pengadaan ini perlu mengingat negara-negara lain pun sudah memiliki satelit pertahanan sendiri sebab memang sudah seharusnya seperti itu karena bersifat rahasia," ujarnya.
Menurut dia, persoalannya saat ini ada di pendanaan, untuk itu dirinya berharap adanya kearifan dari Kementerian Keuangan untuk segera merealisasikan ajuan anggarannya.
Selain itu, anggaran sempat tidak disetujui untuk pengajuan pengadaan satelit pertahanan karena masalah harga.
Kementerian Pertahanan saat ini mengajukan anggaran sebesar 699 Juta dollar AS dari semula diajukan sebesar 849 juta dolar Amerika Serikat. (Ant/Sik)
Wakil Ketua Komisi I DPR, Asril Tanjung, mengatakan, kesepakatan DPR dan pemerintah membeli satelit pertahanan negara yang pengadaannya paling lambat 2018 ini tercapai. Pembelian satelit pertahanan sangat penting.
"Intinya selama ini kita memakai satelit asing untuk kepentingan keamanan negara. Itu seharusnya kita bisa punya sendiri yang bisa kita atur operasionalnya secara bebas karena ini menyangkut ketahanan dan pertahanan negara," kata Tanjung, di Jakarta, Rabu (28/9).
Dia mengatakan, kesepakatan itu diambil berdasarkan rapat kerja yang beberapa kali diadakan, dan semua pihak menyetujui pengadaannya baik itu menteri keuangan selaku pengucuran dananya dan menteri komunikasi dan informatika selaku pengatur hak patennya.
Menurut dia, apabila masih menyewa satelit pertahanan dari negara lain maka negara lain yang mengoperasikannya dan tentu akan berbahaya untuk keamanan nasional Indonesia.
"Perlu dipercepat pengadaannya agar Indonesia tidak kehilangan orbit satelit," ujarnya.
Selama ini Indonesia meminjam negara lain seperti Australia dan Amerika Serikat dengan sistem sewa dan selain itu, kerap kali Indonesia memanfaatkan satelit komunkasi Garuda-1 milik Asia Cellular Satellite buatan Lockheed Martin, Amerika Serikat.
Namun satelit Garuda-1 kini telah digeser dengan alasan ada sistemnya yang tidak beres sehingga harus segera diisi yang baru.
"Oleh karena itu ini perlu dipercepat supaya kita tidak kehilangan hak atas orbit 123 bujur timur karena itu kami kebut pertemuan rapat dengar pendapat termasuk dengan sekjen Kemenkeu," katanya.
Asril mengatakan, pengadaan satelit ini dari aspek strategis juga tidak bisa ditawar karena sesuai aturan Internasional Telekomunikasi Dunia atau ITU sejak satelit Indonesia, Garuda-1, dinyatakan de-orbit Januari 2015, maka Indonesia harus mengisi slot orbit 123 Bujur Timur dengan satelit L-band paling lambat Januari 2018.
Menurut politikus Partai Gerindra itu, apabila tidak dilakukan, Indonesia akan kehilangan hak atas alokasi spektrum L-band tersebut selama-lamanya.
"Nantinya Indonesia bisa amankan negara atas kemauan sendiri dan pihak Kementerian Pertahanan yang akan mengoperasikannya. Pengadaan ini perlu mengingat negara-negara lain pun sudah memiliki satelit pertahanan sendiri sebab memang sudah seharusnya seperti itu karena bersifat rahasia," ujarnya.
Menurut dia, persoalannya saat ini ada di pendanaan, untuk itu dirinya berharap adanya kearifan dari Kementerian Keuangan untuk segera merealisasikan ajuan anggarannya.
Selain itu, anggaran sempat tidak disetujui untuk pengajuan pengadaan satelit pertahanan karena masalah harga.
Kementerian Pertahanan saat ini mengajukan anggaran sebesar 699 Juta dollar AS dari semula diajukan sebesar 849 juta dolar Amerika Serikat. (Ant/Sik)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.