Alan Dupont, Profesor Keamanan Internasional di Universitas New South Wales, berpendapat hubungan Indonesia dan Australia harus segera diperbaiki, karena ongkos yang ditanggung kedua negara terlalu besar jika "perang dingin" ini terus berlangsung. Berikut wawancara Bunga Manggiasih dari Tempo dengan Alan Dupont usai ia menjadi pembicara diskusi soal imigran ilegal dan revitalisasi hubungan Indonesia-Australia di Hotel Four Seasons, Jakarta, Rabu 19 Februari 2014:
Bagaimana cara mengatasi masalah imigran ilegal yang membuat hubungan Indonesia dan Australia memburuk?
Tidak ada jawaban mudah. Dan ini bukan hanya masalah Indonesia dan Australia. Tapi kita bisa memperbaiki sejumlah aspek dalam hubungan ini.
Pertama, kedua negara harus melanjutkan kerja sama bilateral yang beberapa di antaranya sekarang sedang dihentikan. Salah satu caranya ialah pemimpin kedua negara harus mengirimkan gestur politik yang menunjukkan Indonesia dan Australia sama-sama ingin memperbaiki hubungan. Bali Process, konferensi sejumlah negara untuk mengatasi imigran ilegal yang digagas Indonesia dan Australia, adalah salah satu hal yang penting untuk dilanjutkan. Tapi ada ruang besar juga untuk inisiatif bilateral Indonesia dan Australia. Karena, ini masalah Indonesia juga, bukan cuma masalah Australia, meski ada orang yang melihat ini cuma problem Australia.
Indonesia merasa hanya jadi korban karena imigran gelap itu sebetulnya melintasi Indonesia dalam perjalanan menuju Australia. Apa pendangan Anda soal pandangan seperti itu?
Kita semua bisa berargumen menjadi korban, baik Indonesia, Australia, maupun orang-orang malang yang diselundupkan. Tapi kalau kita terus berpikir diri sendiri sebagai korban, kita tidak membuat kemajuan. Saya memilih tidak mendiskusikannya dalam kerangka pemikiran seputar korban, tapi respons konstruktif apa yang bisa kita berikan untuk problem kompleks tersebut. Tidak ada solusi mudah di sini.
Memang ada yang melihat ini masalah Australia. Tapi kalau kita lihat secara objektif, Indonesia dirugikan juga oleh problem ini. Saya harap teman-teman di Indonesia bisa melihatnya. Kami tentu tidak berharap Indonesia punya tongkat ajaib yang bisa digunakan untuk menyelesaikan masalah. Kami ingin Indonesia membantu menyelesaikan masalah untuk kebaikan kedua negara.
Menurut Anda, apakah sejauh ini respons Indonesia terhadap masalah ini sudah cukup kooperatif?
Saya pikir, sebelum masalah penyadapan terungkap, ada kerja sama yang cukup erat di antara kedua negara.
Misalnya, ada kerja sama antara polisi, tentara, dan sebagainya. Kita sudah berjalan ke arah yang benar sampai semuanya terhenti karena terkuaknya kasus penyadapan beberapa bulan lalu. Yang diuntungkan adalah para penyelundup manusia (people smugglers), karena tekanan terhadap mereka malah berkurang. Saya sarankan kerja sama keamanan Indonesia dan Australia yang kini terhenti, dilanjutkan untuk mencegah para imigran ilegal.
Saya rasa salah satu masalah Indonesia adalah Anda tidak punya pemahaman menyeluruh tentang jumlah orang yang memasuki Indonesia secara ilegal, Anda mungkin tak punya kapasitas cukup dalam pengawasan (surveillance) dan intelijen untuk mengetahui berapa jumlah mereka, mengapa mereka datang dan tinggal di Indonesia, siapa saja penyelundup manusia ini dan bagaimana mereka beroperasi. UNHCR menyediakan data soal imigran ilegal, tapi sepertinya itu hanya sebagian kecil dari jumlah orang yang sebenarnya memasuki Indonesia. Ribuan orang masuk ke sini, dan tak semuanya bisa dikategorikan sebagai pengungsi. Banyak yang mungkin hanya mencari kesempatan ekonomi yang lebih baik. Misalnya, imigran dari Iran kebanyakan dari kelas menengah yang secara ekonomi cukup baik, dan mereka mencari tempat yang lebih bagus. Mereka tentu bukan pengungsi, dan kita perlu mendiferensiasi mana yang pengungsi, pencari suaka, dan migran lainnya, serta bagaimana menanganinya.
Yang jelas, kita tak bisa menunggu sampai pemilihan umum Indonesia selesai untuk memperbaiki hubungan kedua negara. Ongkosnya terlalu besar baik untuk Indonesia maupun Australia.
Apakah langkah-langkah itu bisa mengurangi imigran ilegal yang memasuki Australia?
Seharusnya begitu. Australia sebetulnya negara yang relatif terbuka untuk imigran. Saya juga imigran. Seperempat penduduk Australia adalah imigran, tidak dilahirkan di Australia. Kami menerima orang baru, tapi harus mengikuti proses, tidak semua bisa diterima. Sama seperti Indonesia, warga negara adalah prioritas bagi Australia. Kami mencoba menerima pencari suaka sebanyak mungkin, sebanyak kemampuan kami, tapi kami tidak bisa menerima semuanya.
Anda mengatakan pemerintah Australia secara berkelanjutan punya kebijakan menghentikan perahu imigran ilegal, hanya metodenya saja berbeda. Tapi metode terakhir yang Australia pakai, mengirimkan mereka dengan perahu ke Indonesia, sangat berbeda...
Memang benar pemerintah Australia sekarang mengambil posisi lebih keras terhadap imigran ilegal. Tapi kebijakan utamanya tetap sama dengan pemerintah beberapa dekade terakhir. Indonesia maupun Australia setuju kita harus menyetop perahu mereka, tapi berbeda pendapat soal caranya.
Menurut Anda, apakah itu tidak melanggar hukum internasional, termasuk Konvensi PBB tahun 1951 tentang Pengungsi?
Ada yang bilang pemerintahan Tony Abbott melanggar hukum di sana. Saya bukan ahli hukum internasional, tapi saya berdiskusi dengan mereka dan mereka bilang itu tidak melanggar hukum internasional apapun. Memang tidak semua pengacara sepakat soal itu, tapi pengacara memang tak mungkin sepakat soal semuanya. Apa yang dilakukan Australia tidak ilegal. Anda bisa bilang itu salah secara moral, tapi itu tidak ilegal.
Antara masalah imigran ilegal dan penyadapan, mana yang harus diprioritaskan penyelesaiannya untuk memperbaiki hubungan kedua negara?
Saya pikir akan selalu ada masalah dalam hubungan antarnegara. Tapi kalau Anda fokus pada satu masalah dengan risiko mengorbankan hubungan secara keseluruhan, maka kita akan berjalan mundur. Anda harus mengutamakan keutuhan hubungan itu di atas masalah-masalah yang ada. Di masa lalu, tiap ada satu masalah, hubungan Indonesia-Australia kolaps, seperti saat jurnalis Australia di tahun 1986 mengkritik Soeharto. Hubungan baru pulih setelah tujuh tahun. Kita tidak bisa mengalami hal serupa lagi. Hubungan ini seperti dalam keluarga, harus diselesaikan karena orang-orangnya tetap ada di dalamnya. Akan selalu ada ketegangan dalam hubungan itu, tapi kita seharusnya mencari solusi, bukan memanasi isu tertentu, itu akan lebih konstruktif.
♞ Tempo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.